Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hak Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Domestik di Rusia Dibungkam Budaya
24 Januari 2023 9:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rei Pradha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kian hari, korban kekerasan domestik di Rusia kian meningkat, namun hal ini tidak berjalan beriringan dengan mekanisme perlindungan terhadap korban
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang menganut sistem patriarki, seperti banyak negara lainnya, Rusia memiliki sejarah yang panjang akan eksistensi praktik yang melanggengkan normalisasi kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut Carol P. Christ dalam artikel jurnalnya yang berjudul ‘A New Definition of Patriarchy: Control of Women’s Sexuality, Private Property, and War’ (2016), apa yang dimaksud sebagai patriarki adalah suatu sistem dominasi yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan melalui kontrol akan seksualitas perempuan .
Lebih lanjut, Christ mengungkapkan bahwa akar dari sistem patriarki merupakan etos peperangan yang melegitimasi kekerasan serta disucikan oleh simbol-simbol agama.
Budaya patriarki telah berkembang sejak sangat lama dalam masyarakat Rusia. Sebelum terjadinya revolusi pada 1917, peranan perempuan terbagi menjadi dua.
ADVERTISEMENT
Pada kelas atas, perempuan dipandang semata-mata sebagai harta dan ‘piala’ dalam rumah tangga, sedangkan perempuan kelas petani harus bekerja sama kerasnya dengan kaum laki-laki. Meski begitu, kaum perempuan masih harus selalu berlaku subordinat pada suami, ayah, dan saudara mereka.
Pada era Uni Soviet, terdapat perkembangan di mana perempuan akhirnya diberikan hak untuk terlibat di masyarakat. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan formal dan bekerja, bahkan untuk melakukan pemilihan umum pada 1917 (lebih awal dibandingkan kebanyakan negara).
Akan tetapi, bahkan setelah 70 tahun berkuasanya Uni Soviet dan berdirinya Negara Federasi Rusia, budaya patriarki masih terus mendominasi dan menghambat cita-cita akan terwujudnya kesetaraan gender, sehingga sudah menjadi fakta yang tidak terelakkan bahwa perempuan Rusia seringkali termarjinalkan oleh lingkungannya sendiri.
Berlakunya sistem patriarki dalam kehidupan masyarakat Rusia tentu memberikan berbagai dampak buruk bagi kehidupan kaum perempuan Rusia, salah satunya adalah terjadinya kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan terhadap perempuan berupa kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Council of Europe mengungkapkan bahwa pandangan patriarki dan seksis melegitimasi kekerasan untuk memastikan dominasi dan superioritas laki-laki. Pandangan ini didorong oleh tradisi agama dan sejarah yang mengatur konsep hukuman fisik terhadap perempuan, dipengaruhi oleh gagasan akan hak dan kepemilikan terhadap tubuh perempuan.
Konsep kepemilikan inilah yang kemudian mendorong adanya legitimasi kontrol akan seksualitas perempuan. Lebih lanjut, Council of Europe menjelaskan bahwa seksualitas erat kaitannya dengan apa yang dianggap sebagai kehormatan dalam masyarakat dan norma-norma tradisional ini juga memperbolehkan dilakukannya kekerasan terhadap perempuan yang dicurigai mencemarkan kehormatan keluarga.
Budaya hidup masyarakat Rusia sejak lama sangat kental dipengaruhi oleh nilai-nilai agama kristen ortodoks. Nadieszda Kizenko, dosen sejarah Rusia di University at Albany menyebutkan dalam artikel jurnalnya yang berjudul 'Feminized Patriarchy? Orthodoxy and Gender in Post-Soviet Russia' bahwa kehidupan beragama di Rusia menghadirkan paradoks yang akrab dengan agama patriarki lainnya: perempuan memenuhi gereja Ortodoks bahkan ketika agama yang mereka anut mendukung nilai-nilai, praktik, dan kebijakan sosial yang tampaknya menempatkan kaum perempuan pada posisi subordinat.
Budaya patriarki yang dipengaruhi oleh tradisi agama dan sejarah ini sangat terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Rusia. Hal ini dapat dilihat melalui cara pemerintah Rusia menangani kasus kekerasan berbasis gender berupa kekerasan dalam rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Di Rusia, kasus kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai permasalahan internal yang seharusnya tidak dicampuri oleh pihak lain. Adanya penerapan nilai-nilai tradisional yang didorong gereja ortodoks terhadap sistem peradilan Rusia menyulitkan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan keadilan.
Mengutip dari Harvard International Review, banyak tokoh dari gereja dan politik Rusia menganggap kriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga akan bertentangan dengan nilai-nilai ortodoks. Dalam tradisi Ortodoks Rusia, keluarga dianggap sebagai ‘gereja kecil,’ yang berarti bahwa campur tangan negara dalam masalah keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga sama saja dengan membatasi hak beragama.
Pada tahun 2017, badan legislatif Rusia yang dikenal sebagai Duma melakukan amandemen dengan mengesahkan undang-undang yang kemudian dikenal sebagai ‘slapping law’.
ADVERTISEMENT
Undang-undang ini mendekriminalisasi serangan pertama yang tidak diperberat, artinya adalah ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga untuk pertama kalinya dan peristiwa tersebut tidak mengakibatkan luka yang serius, maka hal tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran administratif alih-alih tindak kriminal.
Hingga saat ini, bahkan masih belum ada prosedur perlindungan yang memadai untuk korban dalam penegakan hukum dan sistem peradilan Rusia.
Dilansir dari situs resmi Human Rights Watch, pada tahun 2019, diperkenalkan rancangan undang-undang yang membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga, namun undang-undang tersebut masih belum mumpuni dalam memberikan definisi yang komprehensif akan kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan terhadap para korban.