Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kiamat Kebakaran di Pemukiman Padat
19 April 2021 6:45 WIB
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika melihat suatu berita kebakaran di pemukiman padat, biasanya kita akan bergumam sambil mengucapkan “Kasihan.” Betapa tidak, kebakaran jenis ini biasanya akan berujung pada suatu kondisi yang umum, tapi mengenaskan, yaitu puluhan rumah terbakar habis dan sulit untuk dikendalikan. Penting bagi kita memahami mengapa kejadian seperti ini selalu berulang. Apakah ada keterkaitan dengan peralatan pemadam kebakaran di Indonesia yang pada umumnya tidak mengalami peningkatan atau ada hal lain yang lebih serius?
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada dua penyebab besar kegagalan pemadaman di pemukiman padat yang semuanya sukses menghambat proses pemadaman, yaitu faktor akses jalan dan budaya masyarakat. Jalan terkait dengan desain suatu daerah, sedangkan budaya masyarakat adalah salah satu bentuk keunikan masyarakat kita yang mengarah negatif.
Akses jalan
Jika kita coba cari aturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lebar jalan minimal untuk pemukiman, niscaya akan berakhir dengan keputusasaan. Mulai dari Undang-Undang sampai Peraturan Daerah tidak ada peraturan yang secara tegas mengatur lebar minimal suatu gang.
Ketidakjelasan peraturan lebar minimal ini selanjutnya menghasilkan realita “suka-suka”. Sangat mudah kita temukan di mana suatu pemukiman memiliki gang yang hanya bisa dimasuki sepeda motor, bahkan ada yang hanya bisa diakses pejalan kaki saja. Bisa dibayangkan betapa repotnya ketika proses pembangunan rumah atau pindahan.
Adapun daerah yang sudah memiliki Perda tentang Tata Ruang, dirasa sulit untuk merealisasikan aturan yang memberikan akses kemudahan pada petugas pemadam kebakaran. Perlu dicatat, kondisi ini juga turut memberikan andil sulitnya penanganan medis, termasuk pelayanan jenazah, karena mobil atau bajaj sekalipun tidak bisa masuk ke area padat tersebut.
ADVERTISEMENT
Budaya menonton
Menonton kebakaran, saking membudayanya, sempat dijadikan bahan lelucon. “Mau ke mana lo?” Dijawab, “Nonton kebakaran!” Ini bukan fiksi, tapi realita mengenaskan di tengah-tengah masyarakat kita. Tidak bisa dipungkiri, keingintahuan lebih besar dan mengalahkan akal sehat kesadaran memberikan akses pada petugas pemadam kebakaran. Lagi-lagi, hal ini berkontribusi pada kegagalan ambulans mengakses suatu lokasi secara cepat.
Budaya menonton suatu tragedi atau musibah di masyarakat kita bisa dikatakan sudah mendarah daging. Seakan ada kepuasan tersendiri ketika sudah berhasil menonton kebakaran dari jarak dekat, apalagi ditambah dengan keberhasilan mengambil foto/video dan mengunggahnya ke aplikasi media sosial.
Namun hal ini patut kita tanyakan ke sanubari kita kembali. Apakah tindakan berkerumun menonton kebakaran termasuk perbuatan yang mendukung penanganan keadaan darurat atau justru sebaliknya? Apakah rumah-rumah yang semakin banyak terbakar itu akibat kita berkerumun di jalan untuk menonton?
ADVERTISEMENT
Boleh saja kita berkilah, “Ah, saya hanya mengikuti orang-orang yang sudah duluan datang.” Apakah jika suatu perbuatan salah diikuti banyak orang, lalu kita pantas menjadi follower tindakan tersebut? Bagaimana jika salah satu rumah yang terbakar itu adalah rumah kita?
Apa yang bisa kita lakukan
Kedua faktor di atas memiliki dua pendekatan solusi yang berbeda. Untuk peraturan lebar jalan minimal, ini persoalan kompleks. Ketika diterapkan suatu aturan bahwa pemukiman harus memiliki lebar minimal sekian, tentunya akan meningkatkan harga jual rumah tersebut karena semakin kecil luas bangunan yang bisa dibangun. Dan untuk menerapkan hal ini pada pemukiman yang sudah ada (existing buildings), hal ini sangat sulit.
Namun demikian, hal ini bukan tidak mungkin. Rumah-rumah di Eropa pun pada beberapa abad yang lalu padat seperti di Indonesia. Namun demikian, dengan konsistensi dan upaya ekstra keras, hal ini bisa diatasi. Butuh kerja sama antara Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, Badan Informasi Geospasial (BIG) serta sejumlah Kementerian/Lembaga terkait lainnya. Lain ceritanya jika tidak ada upaya sama sekali.
ADVERTISEMENT
Faktor budaya, hanya dapat dilawan dengan rekayasa budaya. Budaya antre, misalnya, harus dibentuk. Tidak ada manusia yang setelah lahir langsung sadar budaya antre, kecuali diajarkan. Begitu juga dengan budaya memberi akses.
Pelajaran budaya memberi akses jalan harus senantiasa diberikan di sekolah, bahkan sejak jenjang Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat negara maju memiliki kepekaan tinggi pada akses darurat ketika suatu kondisi darurat terjadi. Jika kita ingin semaju mereka, yang kita perlu lakukan hanya meniru budaya positif mereka, tidak perlu dengan membeli barang bermerek mereka.