Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rapor Minus Edukasi Keselamatan
30 Oktober 2022 19:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah pembaca mengeluhkan (atau bahkan sumpah serapah) tentang betapa cueknya orang-orang sampai berkesimpulan bahwa sistem pendidikan kita gagal memberikan edukasi keselamatan? Jika pernah, pembaca bukan satu-satunya orang yang berpikir seperti itu.
Hampir setiap hari kita temukan perilaku sembrono, seolah-olah berpikir bahwa jika mengalami kecelakaan, lalu game over, tapi bisa hidup lagi dengan insert coin. Pemikiran seperti di gim ini tidak selayaknya dibawa ke dalam dunia nyata di mana kesehatan tidak bisa di-upgrade dengan pil dan nyawa tidak bisa ditambah dengan mengambil poin tertentu.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari kita mendengar adanya kecelakaan yang dilakukan oleh pelajar belia. Paling sering kita dengar, yang terlibat adalah mereka yang duduk di bangku SMA. Sebagian kecil adalah pelajar SMP. Namun demikian, kadang peristiwa nahas juga menimpa pelajar SD/SMP yang mana pelajar bukanlah pelaku, namun korban.
Pemahaman Keselamatan
Kepedulian dan pemahaman adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seseorang yang peduli kesehatan, misalnya, dia akan mentaati protokol kesehatan (prokes), meskipun tidak ada yang mengawasinya.
Pun demikian dengan keselamatan. Orang yang paham tentang selamat, dapat dipastikan bahwa orang tersebut paham dengan sebenarnya tentang arti keselamatan. Pemahaman yang baik bisa bersumber pada dua hal, yaitu pengalaman dan pendidikan. Pengalaman yang dijadikan sebagai media pembelajaran sebisa mungkin dihindari karena meski dampaknya sangat kuat, tapi kadang berakibat traumatik.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, orang yang pernah terlibat kecelakaan lalu lintas (lakalantas), lalu terkapar di aspal, tapi selamat, cenderung akan menghindari segala faktor yang mengakibatkan peristiwa buruk tersebut. Dia tidak berani naik motor tanpa helm, selalu pasang sabuk keselamatan, bahkan menjadi cerewet pada keluarga dan temannya untuk mengingatkan agar tidak ada orang lain yang mengalami hal serupa. Tapi metode ini berbahaya, konsekuensinya antara lulus (hidup) dan tidak lulus (meninggal).
Sedangkan jika seseorang memahami keselamatan dari pendidikan, dia bisa meningkatkan perilaku dan kualitas hidupnya tanpa harus mengalami peristiwa hampir celaka (near miss) atau celaka (incident/accident). Orang-orang yang memahami keselamatan melalui cara ini biasanya adalah orang yang menghormati ilmu pengetahuan. Di banyak negara maju, masyarakat yang tingkat pendidikannya sudah tinggi dan merata, cenderung mudah untuk mengenalkan dan memberikan pemahaman keselamatan.
ADVERTISEMENT
Selamat vs Budaya
Istilah like father, like son atau "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" adalah nyata. Berita tentang tewasnya siswa ketika kegiatan sekolah akibat kurangnya penilaian keselamatan (risk assessment) adalah salah satu contoh nyata yang menarik untuk dikaji.
Banyak orang berpikir salah kaprah tentang keselamatan . Tidak celaka dianggap sebagai bukti otentik keselamatan. Padahal, dalam ilmu keselamatan, frekuensi bukan satu-satunya aspek yang harus kita perhatikan. Ada juga keparahan/dampak (severity). Kecelakaan pelajar terseret arus sungai/ombak, misalnya, tidak terlepas dari kurangnya mitigasi dalam perencanaan kegiatan.
Budaya masyarakat Indonesia cenderung berdamai dengan celaka. Ketika ada yang meninggal/tewas pun dianggap suratan takdir, harus ikhlas dengan ketentuan yang ada. Pemahaman seperti ini pada dasarnya menyalahi konseps takdir di dalam agama Islam karena menghindari ikhtiar. Kita sudah pakai helm, berkecepatan aman, di lajur yang benar, menjaga jarak, dan fokus berkendara itulah yang pantas untuk disebut ikhtiar.
Ketika para siswa melihat bahwa para pendidik tidak menganggap tindakan tidak selamat (unsafe act) dan/atau kondisi tidak selamat (unsafe condition) sebagai suatu masalah, pada saat itulah para siswa belajar bahwa tidak selamat bukanlah masalah. Pola pikir seperti ini yang harus dibenahi terlebih dahulu, baru kita bisa membereskan pada tingkat yang lebih praktis.
Hal yang sama juga terjadi ketika para penerus bangsa ini melakukan tindakan berbahaya di jalan raya. Hal paling mungkin yang mendorong mereka melakukannya adalah karena mereka dipertontonkan setiap hari kondisi tersebut, tanpa adanya counter doctrine bahwa hal yang mereka lihat adalah salah.
ADVERTISEMENT
Semakin sering generasi muda ini melihat kesalahan, semakin hilang kepekaan mereka pada kondisi tidak selamat. Pada akhirnya, mereka akan memandang kebut-kebutan (speeding) sebagai hal lumrah, bahkan bagian dari kegagahan.
Sampai di sini, kita sepakat bahwa perubahan pola pikir harus melibatkan institusi pendidikan. Tanpa memberikan pemahaman yang benar tentang keselamatan, mustahil anak-anak muda tersebut memahami keselamatan sesuai definisi sebenarnya. Tentunya, harus ad grand design tentang bagaimana kurikulum yang ada bisa mengakomodir kebutuhan pemahaman tentang keselamatan. Tidak bisa hanya dengan keterpaksaan "asal ada" atau "yang penting ada bunyi keselamatan" di dalam kurikulum nasional.
Di samping itu, peran para orang tua dan tenaga pendidik sebagai teladan keselamatan jelas menjadi ujung tombak keselarasan antara apa yang dipelajari siswa di sekolah tentang konsep keselamatan dengan praktek keselamatan di dunia nyata. Mari ajari keselamatan sejak dini!
ADVERTISEMENT