Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Salah Kaprah Pemahaman Keselamatan
19 Juni 2022 11:20 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah kaprah pemahaman keselamatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Sebagai orang Indonesia, kerap kali kita menemukan ungkapan "Untung saya selamat", padahal kendaraannya hancur karena kecelakaan. Dalam peristiwa berbeda, ada juga ungkapan "Semua sudah takdir", mengomentari kepergian anggota keluarganya yang meninggal akibat kecelakaan. Ada juga yang mengatakan "Sudah puluhan tahun saya lakukan ini tidak ada masalah". Contoh kalimat yang sering kita temui tersebut sangat berbahaya untuk terus-menerus diwariskan pada generasi muda karena masuk kategori salah kaprah. Salah kaprah pemahaman keselamatan sangat berbahaya!
Salah kaprah
ADVERTISEMENT
Di banyak negara maju, misalnya Australia dan Selandia Baru , standar keselamatan dalam berbagai aspek kehidupan mereka pada umumnya jauh lebih tinggi daripada di negara kita. Sebagai contoh, penyeberang jalan harus berjalan di zebra cross, pejalan kaki difasilitasi trotoar, dan pengendara kendaraan bermotor harus memprioritaskan pejalan kaki. Pada saat yang sama, regulator dan fasilitator fasilitas publik juga dituntut menyediakan fasilitas dengan suatu standar yang detail. Jadi, semua pihak yang terlibat memainkan peran yang jelas dan tegas.
ADVERTISEMENT
Penyebab Nyaman dengan Celaka
Setidaknya, ada dua faktor yang menyebabkan orang Indonesia memiliki sikap "suka berdamai dengan celaka". Pertama, standar keselamatan yang rendah. Lagi-lagi, contoh dalam bidang transportasi. Bisa kita lihat di sekitar kita, trotoar yang terpisah dari jalan hanya sedikit sekali di kota-kota besar. Jika dikatakan bahwa anggaran untuk membuat trotoar mahal, bukan itu alasan utamanya. Bagaimana trotoar bisa dibangun jika tidak ada area khusus untuk trotoar? Yang ada biasanya hanya jalan, minggir sedikit langsung bangunan. Tidak ada area yang dikhususkan untuk pejalan kaki, baik berupa trotoar pada umumnya atau sekedar jalan setapak yang masih berupa tanah.
Kalau kita gali lebih jauh mengapa tidak ada area khusus untuk trotoar di sisi jalan, jawabannya sederhana. Karena tidak ada aturan yang mengharuskan demikian. Singkatnya, sistem keselamatan transportasi tidak memasukkan dengan lengkap berbagai hal penting ke dalam suatu standar keselamatan. Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan jalan di negara lain, jelas standar kita di bawah. Sampai di sini, masalah ada di sistem. Artinya, perbaikannya harus dari sistem, bukan berharap dari luar sistem.
Kedua, paradigma keselamatan yang rendah. Faktor kedua bagi sebagian orang adalah buah dari faktor pertama. Tidak salah, memang. Tapi dalam hal ini, jika kita cermati lebih mendalam, ada kaitan erat antara tingkat literasi (kecerdasan) dan tingkat keselamatan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat negara maju menganggap bahwa harga manusia itu cukup mahal. Contoh mudah, asuransi bagi penumpang pesawat. Jika meninggal, ahli waris penumpang pesawat mendapatkan santunan Rp 1,25 milyar . Bandingkan dengan ahli waris penumpang kendaraan di jalan raya, kereta, atau kapal yang santunannya hanya Rp 50 juta . Tingginya santunan untuk penumpang pesawat karena mengikuti standar internasional.
Kebanyakan orang Indonesia menganggap tidak selamat adalah bagian dari takdir. Sebagian berpikir bahwa tidak ada sesuatu pun yang tidak terkait dengan takdir. Paradigma ini sebagian besar dimotori oleh pemahaman agama yang tidak utuh, lalu dipraktekkan secara serampangan. Padahal, agama tidak mengajarkan untuk bunuh diri. Bahkan menyakiti diri pun dilarang. Di agama Islam, misalnya, jika ada hujan deras membolehkan untuk menjamak, jika sakit kulit/keras boleh untuk tayamum, bahkan air yang terlalu panas pun dilarang untuk wudhu.
ADVERTISEMENT
Paradigma yang tidak tepat ini harusnya diberantas secara sistematis melalui lembaga pendidikan formal dan berbagai komunitas keagamaan. Kematian memang suatu takdir, tapi bagaimana cara manusia mendapatkan kematian itu yang harus diupayakan sendiri oleh manusia, bukan justru pasrah dan mengatakan "sudah takdir".
Literasi rendah tentang statistika juga termasuk di dalam kontributor paradigma keselamatan yang menyesatkan. Dalam keselamatan, celaka 100X belum tentu lebih buruk daripada yang celaka 1X. Dalam dunia keselamatan, frekuensi (frequency) adalah salah satu komponen saja. Komponen lain yang juga pokok adalah keparahan (severity).
Bisa saja suatu kecelakaan yang jarang terjadi, tapi sekalinya kecelakaan bisa merenggut jumlah korban lebih banyak daripada kurun waktu 10 tahun. Ini disebut katastropik. Dalam versi berbeda, bisa saja yang meninggal sangat sedikit dari suatu kecelakaan, tapi konsekuensi ekonominya menimpa banyak orang yang mana orang banyak tersebut kebanyakan tidak menyadarinya.
ADVERTISEMENT
Tanpa kecerdasan tentang keselamatan, kita tidak akan memahami tentang nilai keselamatan.