Konten dari Pengguna

Sepeda Bike Share Untuk (Si)Apa?

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
24 Oktober 2020 7:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran sepeda berbasis sewa (bicycle sharing system/BSS) belakangan mulai terjadi juga di Indonesia. Sebelumnya, sepeda sewa ini sudah menjadi pemandangan biasa di kota-kota yang menjadi andalan destinasi wisata. Sebut saja Washington DC, Mexico City, Melbourne, Paris, London, Guangzhou, Amsterdam, Singapura, dan masih banyak lagi. Mereka saling berlomba menawarkan pengalaman bersepeda kepada warga setempat dan turis tanpa harus memiliki sepeda.
ADVERTISEMENT
Meski terlambat dibandingkan banyak negara lain di dunia, Indonesia kini mulai ikut terjun ke demam sepeda sewa. Bandung, Jakarta, dan Bali adalah tiga kota yang akan menjadi percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia.
Boseh dan Gowes.
zoom-in-whitePerbesar
Boseh dan Gowes.
BSS di Bandung yang dinamakan Bike on the Street Everybody Happy (Boseh) ini disponsori oleh Pemerintah Provinsi. Jika diucapkan, lafal ē terdengar seperti logat orang Sunda, sehingga dari namanya sudah cukup akrab bagi Urang Sunda. Program yang diluncurkan sejak tahun 2017 ini menerapkan konsep pembayaran nontunai menggunakan kartu debit beberapa bank pemerintah yang telah bekerja sama dengan Pemerintah Jawa Barat.
Boseh tidak sama persis dengan program BSS di luar negeri. Boseh masih menggunakan petugas untuk membantu warga yang ingin menyewa karena penyewa diharuskan menunjukkan KTP dan membuat kartu anggota. KTP juga bisa digantikan dengan tanda pengenal lainnya, misalnya kartu pelajar, SIM, atau paspor.
ADVERTISEMENT
Warga tidak punya kartu nontunai dibuat mudah. Mereka bisa membelinya di gerai di mana sepeda ditempatkan, sehingga secara tidak langsung sekaligus memasarkan metode pembayaran nontunai kepada masyarakat. Karena gerai dijaga oleh petugas, maka jam buka mengikuti jam kantor.
Salah satu stasiun Boseh di Bandung. Foto: Jurnalpos
Konsep BSS di Jakarta dan Bali sedikit berbeda. Perusahaan swasta baru dirintis (start up) yang menjalankan bisnis ini menamakannya Gowes. Dengan peningkatan animo 10 kali lipat pada warga Jakarta, menurut Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Gowes diharapkan mampu terus menumbuhkan kecintaan warga pada sepeda.
Program Gowes yang baru diluncurkan Juli 2018 ini menerapkan konsep yang mirip dengan beberapa negara di luar negeri. Penyewa diharuskan memiliki aplikasi Go-Wes di ponsel mereka, lalu para pengguna akan membayar tagihan sepeda menggunakan pulsa ponsel mereka. Cara seperti ini dinilai lebih adil karena tidak mengharuskan warga untuk memiliki suatu kartu debit bank tertentu, yang penting memiliki aplikasi Go-Wes sudah bisa berjalan-jalan keliling Jakarta dan Bali. Saat ini, lokasi bike dock Gowes belum terlalu banyak. Utamanya di sekitar stasiun MRT di sepanjang Jl. Sudirman dan sekitar Monas untuk di Jakarta. Sedangkan di Bali tersedia di area Pantai Kuta dan Legian.
Peta dan iklan Gowes di Bali.
Kedua model BSS di Bandung, Bali, dan Jakarta memiliki kesamaan dalam hal tarif dan kemudahan pengembalian. Masing-masing memiliki tarif yang sangat murah dan dihitung per jam, bukan berdasarkan jarak. Penyewa pun dapat mengembalikan sepeda di stasiun tempat penyewaan (di luar negeri disebut bike shelter atau bike dock) mana saja, tidak harus di tempat asal menyewa. Penyewa Boseh bisa mengembalikan sepeda di salah satu dari 30 bike dock yang ada. Begitu juga dengan penyewa Gowes, bisa mengembalikannya di bike dock mana pun yang mereka sukai.
ADVERTISEMENT

Fasilitas yang Kurang

Dalam hal fasilitas, sayangnya belum ada lajur khusus sepeda (bike lane) yang melingkupi semua bike dock. Kalaupun ada, hanya sebagian area bike dock saja. Logikanya, tidak mungkin warga yang menyewa diharuskan berada di lajur sepeda saja, pasti akan ke jalan yang tidak ada lajur sepedanya.
Hal krusial yang belum dipersiapkan pemerintah selaku regulator lokal untuk BSS adalah masalah keselamatan. Pemilik sepeda terlihat belum menyediakan helm sebagai bagian dari fasilitas sewa di ketiga kota tersebut. Dengan demikian, konsep BSS di Kota Kembang dan Ibu Kota masih berharap pada kesadaran mandiri penyewa untuk menyediakan helm masing-masing. Jika bersepeda hanya di dalam kawasan Monas atau kawasan tertutup tanpa kendaraan bermotor lainnya, memang tidak masalah. Faktanya, bike dock ditempatkan di pinggir jalan-jalan yang ramai kendaraan bermotor. Dengan kata lain, yang ingin mencoba keberuntungan, silakan sewa sepeda, tapi risiko tanggung sendiri.
ADVERTISEMENT
Lampu juga menjadi hal yang luput dari perhatian pemerintah. Kedua kota tidak membatasi jam penggunaan sepeda, tapi tidak menyediakan atau mewajibkan penggunaan lampu. inilah bahaya (hazard) yang perlu diantisipasi. Tidak perlu satu-dua orang tewas akibat tertabrak kendaraan bermotor karena tidak ada lampu sepeda untuk menjadi pemantik kebijakan ini.
Masalah keamanan juga harus dipertimbangkan secara matang. Maling di Indonesia terkenal agresif. Sepeda motor dikunci ganda dengan alarm saja bisa hilang, apalagi sepeda. Masalahnya, penyewaan sepeda Gowes dan Boseh sama-sama tidak menyediakan gembok sepeda. Hal ini jelas menghalangi penyewa untuk berhenti transit dan meninggalkan sepedanya, misalnya membeli es krim sebentar, kecuali memang sudah selesai menyewa. Jika hilang, penyewa akan berurusan dengan masalah hukum. Tentunya hal ini memberatkan penyewa.
ADVERTISEMENT

Bike Share untuk Wisata atau Transportasi?

Di banyak kota di dunia, mayoritas BSS memang untuk turis mancanegara. Orang Indonesia yang mengunjungi Melbourne, misalnya, dapat berkeliling kota dengan menyewa sepeda berikut helm dan gemboknya. Cara pembayaran yang mudah, rute sepeda turis dibuat semenarik mungkin, dan mudah digunakan (tourist friendly) menjadi daya tariknya. Namun demikian, sejumlah kota mulai bergeser untuk menyediakan sepeda yang juga sebagai alat transportasi warganya, tidak sekedar untuk turis saja.
Penyediaan sepeda BSS sebagai alat transportasi berbeda dengan sebagai wahana wisata, meski ada irisan dalam beberapa hal. Jika sebagai wahana wisata, sepeda diletakkan di tempat-tempat yang banyak dikunjungi wisatawan. Selain itu, wisatawan juga harus dibuat semudah mungkin untuk dapat menyewanya. Pembayaran dengan kartu kredit atau aplikasi ponsel merupakan salah satu solusinya. Cara lain adalah dengan membuat gerai penyewaan.
ADVERTISEMENT
Jika diperhatikan, konsep BSS di kota-kota tersebut lebih condong pada sepeda wisata. Cirinya antara lain adalah penempatan bike dock dengan jumlah terbatas di pusat kota atau area yang banyak dikunjungi wisatawan. Jumlah sepeda juga tidak banyak tersedia.
Sebenarnya, jika BSS di Indonesia diarahkan untuk menjadi kota ramah sepeda, konsep bisa diekskalasi menjadi sepeda sebagai alat transportasi. Sepeda bisa ditempatkan di stasiun-stasiun CL mulai dari Tebet sampai Jakarta Kota. Dengan cara ini, akan mewujudkan penyelesaian masalah transportasi dengan konsep multi-modal transport network design (Shui dan Szeto 2020).
Model pengembalian sepeda juga tidak sepenuhnya memudahkan penyewa. Saat ini, penyewa harus mengembalikannya ke salah satu bike dock. Yang agak aneh, bike dock Gowes ditempatkan di sekitar stasiun MRT. Harusnya sepeda bisa dilkembalikan di mana pun mereka suka atau istilahnya user-friendly collection/drop-off system (Malandri 2019). Jika tidak mungkin, bike dock harus diperbanyak, misalnya per 200 m ada titik pengembalian.
ADVERTISEMENT
Dengan kewajiban mengembalikan sepeda di bike dock, hal itu gagal merangsang warga untuk bersepeda. Lucunya lagi, pengguna MRT sebagian besar adalah yang berkantor di sepanjang Jl. Sudirman. Untuk apa lagi disediakan sepeda Gowes, jika mereka sudah bisa sampai ke kantor masing-masing dengan berjalan kaki?
Bayangkan jika BSS ini diperluas menjadi konsep sepeda sebagai media mobilitas sebagaimana diminta oleh Menteri Perhubungan bulan lalu. Tentunya akan terjadi pergeseran tren yang cukup masif (Mamrayeva dan Tashenova 2017).
Labih jauh, Jäppinenac, Toivonen, dan Salonena (2013) menyebutkan bahwa BSS tidak akan pernah bisa sukses jika hanya mengandalkan Pemerintah Daerah saja. Harus ada upaya terstruktur dari Pemerintah Pusat menggandeng Pemerintah Daerah agar kebijakan saling dukung untuk menjadikan BSS sebagai transportasi publik, tidak sekedar wahana wisata.
ADVERTISEMENT
Salah satu manifestasi dukungan antara Pemerintah Pusat dan daerah adalah penyediaan lajur sepeda. Adanya pengaman bagi mereka yang sadar pentingnya bersepeda akan meningkatkan kepercayaan akakn keamanan warga untuk bersepeda. Sepeda bukanlah pertanda orang misquen, tapi indikator tingginya kesadaran lingkungan dan kesehatan.