Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sia-sia Belajar dari X-Press Pearl yang Terbakar
9 Juni 2021 6:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari MarineTraffic.com, X-Press Pearl bertolak dari Pelabuhan Hazira, India pada tanggal 15 Mei 2021 dan dijadwalkan tiba di Pelabuhan Kolombo pada lima hari berikutnya. Namun kenyataan berbeda, kapal yang dimiliki oleh Eos Ro Pte Ltd sebagai registered owner di Singapura itu hingga kini masih belum tiba. Naas, kapal ini terbakar hebat di perairan Sri Lanka!
Kapal berbendera Singapura sepanjang 186 m yang mengalami kecelakaan kali ini bukanlah kapal bekas atau tua. X-Press Pearl yang baru selesai dibangun Februari tahun ini terbilang baru, masih gres. Bahkan, kapal ini diklaskan pada klasifikasi kapal DNV (Norwegia) dan ABS (Amerika) sekaligus.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa pelajaran penting dan sangat mahal dari kecelakaan mengerikan dari kapal dengan GT lebih dari 30.000 ini. Tentunya, Indonesia perlu menjadikannya pelajaran bersama tanpa perlu mengalaminya kembali setelah kecelakaan tumpahan minyak mentah di Teluk Balikpapan tahun 2018 silam.
Tidak ada teknologi yang benar-benar aman
Teknologi apapun yang diciptakan bertujuan mengurangi dampak. Kecelakaan dari muatan di dalam peti kemas yang ada di atas kapal X-Press Pearl memberikan pesan bahwa kapal standar Singapura yang diklaskan standar Norwegia dan Amerika sekalipun bisa mengalami kecelakaan.
Muatan di dalam peti kemas cukup sulit penanganannya ketika sesuatu yang buruk terjadi di tengah laut. Terlebih, jika peti kemas yang menjadi asal api/panas berada di tumpukan bawah dan tengah. Sangat sulit untuk menjangkau dan memadamkan api yang terselip di antara ratusan atau ribuan peti kemas lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi ini, kejujuran pemilik barang dan ekspedisi memainkan peran vital. Jika ada barang beracun dan berbahaya (B3) dimuat dalam pengemasan yang tidak tepat, potensi terjadinya ledakan/kebakaran bisa tinggi. Ada jenis substrat tertentu yang jika diletakkan dalam wadah berbahan tertentu menjadi bereaksi, meski lambat tapi pasti. Ada juga yang membutuhkan pendinginan konstan sepanjang waktu. Yang ekstrem, ada muatan tidak stabil yang memang harus ditangani khusus dengan menerapkan jarak di samping pengemasan yang ekstra aman. Semua sebenarnya sudah diatur dalam Kode Muatan Berbahaya (IMDG Code).
Dilansir dari The Associated Press, kapal berjenis Container Ship (Fully Cellular) ini tengah mengangkut 1.500 peti kemas, termasuk 81 peti berkategori muatan B3. Saat ini, investigasi oleh pihak berwenang di Sri Lanka masih berlangsung. Belum ada kesimpulan yang ditarik dalam kecelakaan ini, namun ada dugaan bahwa kebocoran muatan asam nitrat sebanyak 25 ton sejak tanggal 11 Mei menjadi penyebabnya. Api sendiri diketahui mulai berkobar sejak tanggal 20 Mei 2021.
ADVERTISEMENT
Kecepatan dan ketepatan respons menjadi kunci keselamatan
Ketika api sudah membesar, pada saat itu dapat dikatakan terlambat. Upaya pemadaman ketika api sudah membesar ibarat tinggal menunggu abu. Api akan menyebar lebih cepat dengan bantuan angin laut dan terus menyebar ke peti kemas lainnya ke berbagai arah. Dalam upaya penanganan kebakaran, sebisa mungkin awak kapal harus mengetahui adanya panas di luar normal sedini mungkin.
Ketika awak kapal mengetahui adanya kondisi abnormal, upaya penanganan bisa dilakukan jika memang muatan di dalam peti kemas diketahui dan terdapat manual penanganannya. Jika tidak ada, di sini menjadi krusial. Dalam banyak kasus, kebakaran diakibatkan oleh bahan kimia atau minyak (dan produk turunannya) malah disemprot dengan air, baik air laut atau air sungai.
ADVERTISEMENT
Minyak dan jenis kimiawi tertentu memiliki sifat tidak bisa dicampur dengan air. Ada pepatah mengatakan “ibarat air dan minyak” yang artinya memang sudah takdirnya tidak bisa disatukan. Yang menjadi masalah adalah ketika otoritas setempat melakukan upaya pemadaman menggunakan air saja. Yang terjadi bukanlah pemadaman, tapi sebenarnya memecah belah api. Bisa dibayangkan, api yang awalnya terpusat di satu lokasi lalu disemprot air, maka substansi yang tidak bercampur dengan air itu akan memisahkan diri dari air. Akibatnya, mereka menyebar ke mana-mana. Jadilah titik api semakin banyak. Seiring berjalan waktu, titik-titik api itu menjadi besar dan kebakaran semakin menghebat.
Dengan demikian, kecepatan dan ketepatan respons menjadi kunci dalam upaya pemadaman. Kadang memang ditemukan kejadian dalam waktu kurang dari satu jam, api “berhasil” dipadamkan menggunakan air saja, padahal yang terbakar muatan minyak di kapal. Perlu diluruskan bahwa padamnya api belum tentu karena upaya penyemprotan air, tapi sangat dimungkinkan karena minyaknya memang habis terbakar.
ADVERTISEMENT
X-Press Pearl sendiri sudah terbakar selama 13 hari hingga akhirnya dia “duduk” di dasar laut berkedalaman sekitar 21 meter akibat terus-menerus disemprot air laut. Beruntung, dalam kejadian ini belum ada laporan api melebar atau menyebar ke arah kapal yang melakukan pemadaman. Namun satu yang perlu dicatat adalah muatan biji plastik tersebar ke area pantai Sri Lanka sepanjang kurang lebih 80 km. Otoritas setempat pun sudah melarang nelayan lokal untuk mencari ikan di lokasi terdampak.
Publikasi kontak darurat harus eksis
Para pelaut di dunia biasanya mengandalkan suatu publikasi global bernama buku British Admiralty sebagai panduan berlayar. Di dalamnya juga memuat berbagai kontak darurat hampir semua negara pantai. Ketika terjadi suatu kecelakaan, negara pantai di sekitar lokasi kejadian harus bisa segera dihubungi.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya cara agar bisa dihubungi secara cepat adalah kontak darurat negara pantai harus bisa ditemukan. Memang di dunia pelayaran terdapat konsensus kanal 16 untuk panggilan radio darurat (emergency radio channel). Namun demikian, beberapa otoritas lokal menggunakan kanal yang berbeda, misalnya Vessel Traffic Service atau VTS (otoritas pengatur lalu lintas perairan kurang lebih seperti ATC di bandara).
Setelah diketahui adanya kondisi berbahaya, awak kapal X-Press Pearl segera memberitahukan angkatan laut Sri Lanka. Merespons pemberitahuan, dua kapal patroli segera diberangkatkan untuk memberikan bantuan dan penanganan awal.
Berkaca pada kejadian X-Press Pearl, luasnya wilayah perairan Republik Indonesia menuntut adanya rasio yang seimbang antara armada laut dan jumlah kapal yang melintas. Tidak perlu dipungkiri, jumlah armada akan sangat menentukan dalam penanganan suatu kecelakaan di samping kontak darurat yang terdaftar di dalam publikasi global.
ADVERTISEMENT
Dari semua aspek di atas, tidak ada gunanya jika kita tidak bersiap menghadapi kondisi seperti kejadian X-Press Pearl. Dalam konsep keselamatan, kondisi terburuk justru harus dihitung. Pemikiran ini sangat berlawanan dengan pola pikir "Omongan itu doa, jangan mikirin yang buruk', "Itu sudah takdir, ikhlaskan saja", atau "Biarlah musibah ini menjadi penghapus dosa".