Konten dari Pengguna

Hidup dalam Kubangan Jakarta Sialan

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law.
16 Oktober 2024 8:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva.
ADVERTISEMENT
Sejak tiba di Jakarta untuk pertama kalinya, seorang pemudi dari luar Pulau Jawa merasakan kekaguman sekaligus kegelisahan. Kota besar yang ia bayangkan sebagai tempat mewujudkan impian kini berdiri megah dengan gedung pencakar langit yang menjanjikan masa depan. Namun, di balik gemerlap dan hiruk-pikuk Jakarta, ia merasa sesuatu hilang—sesuatu yang tak tergantikan oleh kilau lampu jalanan.
ADVERTISEMENT
Di kampung halamannya, gotong royong adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap kali ada kegiatan, seluruh desa turut serta, bekerja tanpa pamrih. Solidaritas antarwarga begitu kuat, menjadi perekat hubungan yang hangat. Ruang terbuka penuh tawa anak-anak dan orang dewasa berkumpul berbagi cerita. Kebersamaan inilah yang memberikan makna pada hidup. Di sana, pintu rumah selalu terbuka untuk menyambut siapa saja, menghadirkan rasa aman dan nyaman.
Namun Jakarta berbeda. Di kota ini, segala sesuatu dipatok harga. Kebijakan pemerintah mempersempit ruang publik, membuat Jakarta terasa sempit dan dingin. Taman-taman terbuka yang gratis hampir tidak ada. Setiap jengkal tanah seolah dikomersialisasi oleh kapitalis rakus. Ruang bermain dan berkumpul menjadi langka, hanya bisa diakses mereka yang mampu membayar. Kesibukan kota membuat orang-orang lupa untuk bersua dengan orang terdekat, seakan terjebak dalam rutinitas yang melelahkan.
ADVERTISEMENT
Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), penduduk Jakarta bekerja rata-rata 9 jam sehari, lebih lama dari rata-rata nasional. Mereka yang tinggal di pinggiran bahkan harus menambah waktu tempuh 3-4 jam sehari. Waktu ini mengurangi kesempatan untuk sekadar berbincang dari hati ke hati dengan keluarga atau tetangga. Di Jakarta, interaksi sosial menjadi barang mewah. Kesibukan siang dan malam membuat hubungan antarorang semakin renggang.
Yang paling menyakitkan adalah hilangnya kebersamaan. Jakarta memisahkan manusia dari sesamanya. Hubungan yang dulu hangat di kampung kini terasa dingin dan formal. Masing-masing individu sibuk dengan hidup mereka sendiri. Bahkan untuk menyapa tetangga pun sulit karena tembok-tembok beton yang memisahkan kehidupan perkotaan. Di kota ini, manusia menjadi mesin yang diatur oleh kapitalisme—sibuk, produktif, namun terasing.
ADVERTISEMENT
Kehidupan cepat ini membuat pemudi tersebut merasa semakin kesepian. Meskipun dikelilingi oleh ribuan orang, ia merasa semakin terasing. Ketika malam tiba dan lampu-lampu kota bersinar, kesunyian justru semakin menghantui. Duduk sendirian di kosan kecil, memandang lautan lampu, ia merasakan hampa. Kesedihan dan keputusasaan mulai menghantui pikirannya, mengalir seperti air mata yang tak tertahan. Depresi semakin menghantuinya, terperangkap dalam rutinitas yang melelahkan.
Banyak pemuda Jakarta merasakan hal yang sama. Mereka terjebak dalam lingkaran kesepian yang menyakitkan, di mana dukungan sosial yang dulu ada kini sirna. Jakarta menawarkan kemajuan, tetapi memisahkan orang dari diri mereka sendiri dan sesamanya. Keterasingan ini membunuh semangat yang dibawa dari kampung. Ia bertanya-tanya, apakah ini harga yang harus dibayar untuk mengejar masa depan di kota besar? Harapan yang ia bawa dari kampung tampak semakin jauh, terseret oleh arus kapitalisme yang tanpa kompromi.
ADVERTISEMENT
Krisis kesehatan mental di kalangan generasi muda semakin mengkhawatirkan. Banyak yang terjebak dalam kemiskinan dan berjuang melawan stigma sosial. Menurut Project Multatuli, banyak pemuda hidup dalam keadaan "woke" namun tertekan, memperjuangkan keadilan sosial, tapi terperangkap dalam kehidupan yang minim dukungan emosional. Depresi dan gangguan mental meningkat, bukan hanya karena tekanan ekonomi, tapi juga karena hilangnya ruang untuk berbagi.
Krisis iklim pun memperburuk situasi. Jakarta, salah satu kota paling rentan terhadap perubahan iklim, mengalami banjir yang semakin parah, merusak infrastruktur dan kesejahteraan sosial. Menurut WALHI Jakarta, buruknya tata ruang kota dan pengabaian terhadap lingkungan memperburuk krisis ini. Pemudi yang datang ke Jakarta untuk mencari peluang kini menghadapi tantangan sosial dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Hari demi hari berlalu, dan ia merasakan beratnya hidup di Jakarta. Setiap langkah semakin meyakinkannya bahwa kota ini adalah medan pertempuran, bukan hanya melawan sepi, tetapi juga melawan sistem yang memisahkan manusia dari manusia lainnya. Rindu akan tawa teman-teman dan perbincangan hangat di teras rumah semakin dalam. Keterasingan ini membuat hidupnya terasa hampa. Setiap malam ia terbangun, terjebak dalam pikirannya, menyesali keputusan meninggalkan kampung yang penuh kehangatan.
Di Jakarta, tidak ada ruang untuk bernafas. Waktu untuk merasakan dan berbagi kebahagiaan atau kesedihan nyaris hilang. Pemuda di kota ini menjadi korban dari sistem yang tak peduli pada kesehatan mental mereka. Jakarta adalah labirin kapitalisme yang menyimpan kesepian, siap menghancurkan jiwa-jiwa muda yang penuh harapan.
ADVERTISEMENT
Kota ini, yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya mimpi, kini menjadi penjara bagi banyak orang. Dalam kesunyian dan kepedihan, ia berharap menemukan cahaya di ujung terowongan gelap yang terus membayanginya. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu semakin kabur, tertelan oleh kesibukan yang tak berujung dan rasa sepi yang tak kunjung hilang. Selamat menikmati depresif-nya Jakarta.