Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kajian Filsafat Ilmu terhadap Terapi Perilaku pada Anak Autisme
11 November 2023 19:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari S Retna Pangesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Filsafat berkaitan dengan pencarian pengetahuan, sedangkan ilmu berarti memahami sesuatu. Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat tentang hakikat ilmu. Kemampuan pemahaman seorang terapis terhadap filsafat ilmu (hakikat) untuk terapi perilaku pada anak autisme diharapkan mampu membuat anak berkembang menjadi lebih baik dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku. Mendekati akhir abad ke-19, psikologi mulai tumbuh sebagai sebuah ilmu empiris. Laboratorium psikologis juga pertama dibentuk oleh Wundt di Jerman dan William James di Amerika Serikat. Mereka mendefinisikan psikologi sebagai suatu studi atas kesadaran, bukan studi atas pikiran atau jiwa.
Mereka berpendapat karena manusia menyadari kondisi kesadaran diri sendiri, maka manusia dapat menggambarkan kesadaran tersebut melalui instrospeksi yang dapat menghasilkan data empiris bagi psikologi.
Pada periode selanjutnya, J.B. Watson (1978) menyatakan bahwa masalah utama psikologi seharusnya lebih pada tingkah laku manusia, bukan pada kesadaran. Watson terkenal sebagai pendiri Gerakan Behavioris dalam psikologi.
Tingkah laku binatang dan manusia mulai diamati secara luas sehingga laporan-laporan dan deskripsi-deskripsi tingkah laku di bawah kondisi-kondisi yang diobservasi dan dikontrol dapat mencapai persetujuan yang lebih umum karena menghasilkan data objektif bagi analisis. B.F. Skinner (1904), seorang profesor psikologi Universitas Harvard, menjadikan program eksperimen Watson menjadi standar baru bagi ketepatan teknis dan menjadi salah seorang psikolog eksperimental paling berpengaruh dalam generasinya (Santosa dan Pasaribu, 2001).
ADVERTISEMENT
Psikologi sebagai suatu ilmu lebih menekankan pada aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai suatu organisme, yang kadang tidak bersetuhan dengan pengalaman-pengalaman subjektif, spiritual, dan eksistensial sebagaimana terdapat pada pendekatan behavioristik.
Lantas, bagaimana dengan hakikat manusia itu sendiri? Apa peran filsafat ilmu terhadap teori tentang perilaku manusia? Filsafat ilmu mempelajari masalah ilmu sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi ilmu.
Terdapat pertanyaan pokok yang menyangkut masalah tentang apa yang ingin diketahui (ontotogi), bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut (epistomologi), dan apa nilai kegunaannya (aksiologi).
Penerapan dari teori behavioristik dapat dipakai untuk penanganan anak yang mengalami gangguan perkembangan autisme. Dalam International Classification of Disease revisi ke 10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013): Autism Spektrum Disorder (ASD)/Gangguan Spektrum Autism merupakan gangguan neurodevelopmental dengan karakteristik defisit kemampuan interaksi dan komunikasi sosial di berbagai konteks sosial.
ADVERTISEMENT
Seperti respons perilaku dan komunikasi sosial yang dibutuhkan untuk menjalin interaksi sosial, mengembangkan, mempertahankan, dan memahami suatu relasi. Kondisi ini disertai dengan adanya perilaku repetitif, minat, dan aktivitas yang terbatas (Sadarjoen, dkk.,2021).
Hakikat terapi perilaku (ontologi) menjelaskan bahwa istilah terapi perilaku mencakup sejumlah metode terapeutik yang didasarkan pada prinsip belajar dan pengkondisian. Ahli terapi perilaku berpendapat bahwa perilaku maladaptif merupakan cara yang dipelajari untuk mengatasi perilaku bermasalah.
Sebagian teknik yang dikembangkan dalam penelitian eksperimental tentang belajar dapat digunakan untuk mengganti respons yang lebih tepat. Terapi perilaku tidak memahami konflik masa lalu yang mempengaruhi tingkah laku, tetapi lebih fokus pada perilaku bermasalah itu sendiri.
Penerapan terapi perilaku sangat luas, namun pada anak autisme penerapannya menunjukkan hasil yang menggembirakan. Salah satu metode yang berdasar pada paham Behavioristik adalah metode Lovaas atau yang disebut sebagai Applied Behavioral Analysis (ABA).
ADVERTISEMENT
Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan mengenai apakah sumber-sumber pengetahuan, apakah hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup pengetahuan. Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan itu dan sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin ditangkap manusia (Suriasumantri, 2001).
Tujuan utama terapi perilaku adalah untuk mengurangi perilaku yang berlebihan atau tidak wajar dan mengajarkan perilaku yang bisa diterima oleh lingkungan. Bila dipahami lebih jauh terapi ini sebenarnya lebih difokuskan pada intervensi terapis untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak autism akan aturan.
Dengan memberi konsekuensi positif atas perilaku yang baik, perilaku tersebut akan menguat. Hal itu penting sekali memecah tugas belajar menjadi target perilaku yang hampir pasti memungkinkan anak memperoleh konsekuensi positif, lalu memperkuat kemungkinan berulangnya perilaku tersebut. Bila tugas belajar tidak dipecah dalam komponen yang bisa ditangani anak, anak akan cenderung cepat frustrasi dan berperilaku negatif.
ADVERTISEMENT
Apakah nilai kegunaan terapi perilaku pada anak autisme (Aksiologi)? Terdapat manfaat dan kelebihan pada terapi perilaku dibanding dengan terapi yang lain. Langkah-langkah dalam terapi perilaku dapat direncanakan terlebih dahulu. Perincian pelaksanaan dapat diubah selama perlakuan atau terapi berlangsung disesuaikan kebutuhan.
Bila dari hasil monitoring suatu teknik gagal menimbulkan perubahan, hal tersebut dapat dideteksi dan diusahakan dengan teknik pengganti. Teknik-teknik dapat diterangkan dan diatur secara rasional. Hasil perlakuan dapat diramalkan dan dievaluasi secara objektif dan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan lebih singkat dari pada menggantungkan perubahan yang terjadi pada insight yang diperoleh subjek (Sukadji, 1983).
Adapun kelemahan dan kritik terhadap terapi perilaku yaitu terapi perilaku dan penerapannya merupakan pendekatan behavioral yang dikembangkan dalam laboratorium hewan. Terdapat perbedaan organisma antara manusia dan hewan. Ada yang tidak sependapat bila dikatakan bahwa terdapat proses yang sama antara manusia dan hewan, walaupun dalam hal mekanisme sistem pencernaan dan sirkulasi darah terdapat kesamaan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam hal tidur, makan, dan seks tidak dapat disamakan. Manusia tidak tidur di sembarang tempat, manusia makan tidak hanya karena lapar, manusia tidak kawin seperti halnya hewan, tetapi menikah dan merencanakan masa depannya.
Etika dan tanggung jawab kita terletak di mana? Kenyataannya, pada beberapa kasus terjadi bahkan memberikan efek samping yang negatif atau tidak diinginkan. Adanya proses terapi yang disertai dengan bentakan, emosi negatif, ekspresi wajah menakutkan dan nada suara yang tinggi.
Bila terapi dirasa kurang berhasil, terapis menerapkan hukuman yang di luar skenario ABA. Kondisi ini dapat menimbulkan persoalan baru bagi anak autisme dan orang tuanya. Anak menjadi trauma untuk mengikuti terapi dan orang tua tidak rela ketika anaknya diterapi seperti itu (Hamidah, 2003).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, permasalahan dalam penerapan terapi perilaku pada anak autisme justru terletak pada bagaimana seorang terapis mampu melakukan penatalaksanaan dengan baik dan benar, serta menjunjung tinggi hakikat manusia, etika atau moral dan bertanggung jawab terhadap klien selama proses terapi berlangsung.
Dengan demikian, nilai sebuah terapi perilaku terletak pada tujuan terapi yaitu untuk memperbaiki perilaku anak menjadi lebih baik dan dapat mengatasi perilaku yang bermasalah serta tidak menimbulkan efek negatif bagi anak yang diterapi.