Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kelapa Sawit : Komoditas Berbalut Konflik nan Pelik
26 Desember 2023 15:46 WIB
Tulisan dari Retno Wijayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Ulasan Buku Kehampaan Hak : Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia)
Industri kelapa sawit sebagai salah satu pilar pendapatan negara menjadikannya sebagai komoditas strategis bagi Indonesia. Akan tetapi dibalik “sukses”nya komoditi ini mengantarkan wajah Indonesia ke mata dunia sebagai pengekspor kelapa sawit terbesar, masih menyisakan persoalan yang berkepanjangan hingga saat ini, bahkan cenderung pelik dan rumit. Konsekuensi pesatnya permintaan akan komoditas ini berimbas pada ekspansi perkebunan sawit yang pada prakteknya menimbulkan perseteruan antara perusahaan dan warga masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Buku Kehampaan Hak : Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia mengulas tentang pola umum terjadinya konflik, cara komunitas memprotes perusahaan sawit, latar belakang masyarakat melakukan protes, dan tingkat keberhasilan dalam memperoleh solusi atas tuntutan mereka yang berfokus di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat. Tidak adanya perlindungan hukum yang efektif akan kepentingan warga yang disebut sebagai kehampaan hak inilah yang menyebabkan konflik antara komunitas pedesaan di Indonesia dan perusahaan kelapa sawit, bahkan praktek intimidasi dan kriminalisasi mewarnai perlawanan ini.
Secara garis besar, ada tigal hal yang mendasari perlawanan yang dilakukan masyarakat. Pengambilalihan lahan yang dilakukan tanpa persetujuan, realisasi bagi hasil atau yang dikenal dengan istilah plasma tidak sesuai yang diharapkan, dan adanya dugaan pelanggaran izin yang dilakukann oleh perusahaan menjadi alasan para buruh tani sawit ini melakukan protes. Hanya saja dalam perkembangannya, situasi tersebut akhirnya direspon dengan cara pragmatis, masyarakat lebih memilih menaikkan kompensasi finansial sebagai alternatif penyelesaian sengketa daripada melindungi kepentingan mereka dalam pengelolaan kebun kelapa sawit. Mereka lebih memilih untuk melakukan negosiasi upah ataupun negosiasi harga sawit mentah daripada menuntut hak mereka seutuhnya. Selain itu, sebagian besar upaya resolusi konflik masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan karena hak-hak masyarakat masih belum diberikan. Pembatasan kepemilikan tanah, indikasi permainan hukum, serta adanya kolusi bisnis politik tidak lepas dari konteks kehampaan hak. Upaya lain yang dilakukan masyarakat yaitu melalui mediasi dengan bantuan pihak ketiga yaitu LSM, membawa kasus ini ke ranah hukum, maupun dukungan dari RSPO. Namun, cara-cara yang ditempuh tersebut belum dapat menyelesaikan konflik yang terjadi. Perjuangan hak masyarakat terhambat dengan adanya sistem hukum yang terindikasi praktek kolusi oleh pejabat pemerintah maupun keberpihakan lembaga terhadap perusahaan. Secara lebih lanjut, penulis buku berpendapat bahwa konflik berkepanjangan ini tidak hanya mengancam kesejahteraan masyarakat tetapi juga masa depan industri kelapa sawit ke depannya. Pentingnya sektor industri kelapa sawit Indonesia sebagai salah satu penunjang perekonomian rakyat akan sulit dijadikan argumen apabila produksinya justru terus-menerus menggerus kesejahteraan masyarakat.
Pada Kegiatan Pekan Riset Sawit Indonesia Tahun 2023 yang berlangsung baru-baru ini, Indonesia berpotensi untuk turut berkontribusi pada upaya pengurangan emisi gas rumah kaca menuju target net zero emission. Sebuah kabar baik tentunya terhadap industri kelapa sawit disinyalir mengancam kelestarian lingkungan baik degradasi maupun deforestasi hutan. Artinya, hilirisasi industri kelapa sawit akan tetap menjadi grand design pembangunan di Indonesia. Kalimantan Tengah contohnya, dengan mengekspor beberapa komoditas yang salah satunya adalah kelapa sawit, nilai ekspornya mengalami kenaikan hingga mencapai 8,53% pada Bulan Juni 2023 (BPS, 2023). Akan tetapi di balik kesuksesan tersebut, perjuangan hak masyarakat penghasil komoditas kelapa sawit masih terus bergulir.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang saya respon setelah membaca buku ini. Pertama, yaitu tentang pembangunan yang didorong oleh pasar erat kaitannya dengan prinsip self determination, dalam hal ini adalah self determination petani lokal. Proses demokrasi di Indonesia seyogyanya memungkinkan adanya komunikasi maupun konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk mempunyai wewenang pengambilan keputusan atas kepemilikan lahan yang mereka miliki (Urano, 2020). Akan tetapi pada prakteknya, terjadi hambatan komunikasi atau bahkan penghindaran komunikasi secara lebih mendalam. Pada buku ini dijelaskan bahwa komunikasi yang dibangun perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat tidak berjalan dengan serius. Misalnya saja ketiadaan bukti konsultasi dengan warga terdampak setelah melakukan eksekusi lahan. Selain itu, banyak perusahaan yang lebih memilih untuk berkomunikasi dengan segelintir tokoh masyarakat dibandingkan membangun komunikasi menyeluruh pada seluruh masyarakat atau petani terdampak. Asumsi perusahaan bahwa tokoh masyarakat yang mereka ajak bicara sudah mewakili perorangan ternyata tidak tepat sehingga menyebabkan masyarakat merasa tidak pernah ada konsultasi dari pihak perusahaan. Hal tersebut akhirnya membentuk respon komunitas terhadap perampasan tanah.
Kedua, peran tokoh adat terkait perjuangan hak akan industri kelapa sawit. Kepemimpinan informal atau headship diartikan sebagai kepemimpinan turun-temurun dan tidak mempunyai legalitas yang sah, salah satunya yaitu pemimpin adat. Adapun pemimpin adat berfungsi untuk mengurus ketentuan dalam hukum adat, menyangkut tanah ulayat atau tanah bersama milik masyarakat (Mashuri et al., 2021). Misalnya, dalam perjuangan hak yang dilakukan warga Desa Senama Nenek selama lebih kurang dua puluh tiga tahun, keberhasilan yang dicapai tidak lepas dari peran tokoh adat. Masyarakat berhasil memulihkan lahan mereka dan berhasil memperoleh kepemilikan tanah secara resmi. Perorganisasian yang gigih menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan ini. Tokoh adat mereka berupaya untuk melibatkan tokoh negara dalam keberhasilan perjuangan masyarakat. Selain peran tokoh adat, hal yang perlu menjadi perhatian adalah cara yang ditempuh menuju keberhasilan tersebut yaitu bukan karena tercapainya status hukum yang masyarakat klaim, akan tetapi melalui upaya informal dengan cara melobi pejabatan pemerintah di semua tingkatan. Di sinilah letak kegagalan mekanisme penyelesaian konflik. Cara yang ditempuh tersebut belum dapat dijadikan representasi oleh masyarakat yang memiliki konflik serupa.
ADVERTISEMENT
Ketiga, diskursus tentang industri kelapa sawit sebagai pilihan pembangunan berkelanjutan bagi Indonesia. Integrasi industri kelapa sawit Indonesia ke arah komoditas global dan meningkatkan permintaan akan komoditas ini, menimbulkan tantangan bagi masyarakat yang terdampak dari proses produksi, termasuk permasalahan sengketa lahan. Penerimaan sosial menjadi gagasan terkait konsep keberlanjutan yang dimaksud. Perampasan lahan yang terjadi menjadi pertimbangan adanya pengembangan kerangka peraturan sehingga lebih dapat diterima secara sosial (Bissonnette, 2016). Saya setuju dengan rekomendasi yang diberikan penulis tentang transparansi HGU yang diberikan kepada perusahaan kelapa sawit, baik lokasi dan perincian lain dari konsesi yang diberikan. Aktor ataupun pejabat negara perlu memperbaiki hubungan dengan warga terdampak yang tujuannya untuk membangun kembali persepsi terkait ketidakpercayaan masyarakat desa terhadap hukum. Indikasi keberpihakan aktor atau pejabat negara kepada perusahaan inilah yang menyebabkan ketidakpercayaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagai studi literatur, buku ini menjadi bacaan esensial untuk mengetahui proses, hasil dan konsekuensi yang diterima masyarakat dalam memperjuangkan hak mereka terhadap industri kelapa sawit. Data-data terkait ragam peristiwa maupun statistik dijabarkan secara rinci dalam buku ini. Penulis juga memberikan alternatif percepatan penyelesaian konflik baik di level pemerintah maupun perusahaan. Di sisi lain, kompleksitas data yang disajikan serta aspek yang dibahas mungkin membutuhkan penekanan tentang bagaimana kehampaan hak tersebut terjadi sehingga di setiap bab akan dibahas kembali.
Judul Buku : Kehampaan Hak : Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia
Penulis : Ward Berenschot, Ahmad Dhiaulhaq, Afrizal, Otto Hospes
Penerjemah : Taufiq Hanafi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Terbit : Juli, 2023
ADVERTISEMENT
Jumlah Halaman : x + 331 halaman
ISBN : 978-623-321-219-9
Sumber Referensi :
Bissonnette, J. F. (2016). Is oil palm agribusiness a sustainable development option for Indonesia? A review of issues and options. In Canadian Journal of Development Studies (Vol. 37, Issue 4, pp. 446–465). Routledge. https://doi.org/10.1080/02255189.2016.1202101
Urano, M. (2020). Why the principle of informed self-determination does not help local farmers facing land loss: a case study from oil palm development in East Kalimantan, Indonesia. Globalizations, 17(4), 593–607. https://doi.org/10.1080/14747731.2019.1654703
Mashuri, P. :, Putra, A., Islam, U., Sultan, N., & Kasim, S. (2021). Kepemimpinan dan Peranan Tokoh Adat dalam Pembangunan di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Afiliasi: conditions of the Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License-(CC-BY-SA). Jurnal Terapan Pemerintahan Minangkabau, 1(2), 135–143. https://doi.org/10.33701/jtpm.v1i1.2099
ADVERTISEMENT