Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Marlina, Suzzanna, dan Perempuan yang Melawan
19 November 2017 14:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Review Sinema tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kisah perempuan yang melawan kebiadaban laki-laki sebetulnya sudah banyak diangkat di film Indonesia. Hanya saja, narasi itu lebih sering hadir dalam wujud film horor.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, tokoh perempuan dalam film horor Indonesia kerap digambarkan sebagai korban pemerkosaan. Tokoh perempuan tersebut dibunuh, sementara para pelakunya melenggang tanpa dosa.
Hukum absen. Seorang perempuan digambarkan harus memperoleh keadilan lewat tangannya sendiri. Namun, jalan keadilan bagi perempuan hanya datang saat ia menjadi setan.
Dengan menjadi setan, perempuan berdaya. Para begundal mati mengenaskan di tangannya.
Penggambaran yang demikian tidaklah cukup memberdayakan perempuan.
Terlebih, setelah adegan balas dendam selesai, tokoh ustaz selalu muncul, menyalahkan tingkah si tokoh perempuan. Seakan-akan, setelah jadi setan pun, seorang perempuan tetap harus patuh.
Semua tentu jenuh dengan keberdayaan (setan) perempuan versi film horor macam itu.
Maka, perlu ada film dengan narasi serupa yang menggunakan logika cerita nyata—bukan mistik. Kalau bisa, napas perlawanannya jauh lebih lantang daripada film-film seperti Berbagi Suami, Siti, dan Athirah.
ADVERTISEMENT
Di situlah kemudian, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak tiba.
Perlawanan dalam Marlina adalah perlawanan yang riil.
Tokoh utama kita, Marlina (Marsha Timothy), berada dalam situasi terdesak, saat sejumlah laki-laki datang untuk memperkosanya. Alih-alih pasrah pada situasi, Marlina memilih melawan.
Sup ayam beracun ciptaan Marlina membuat para begundal berjatuhan. Mati. Namun, Marlina tak berhenti di situ.
Ia sadar bahwa ia berada di negara hukum. Alhasil, Marlina pergi ke kantor polisi, membawa kepala salah seorang begundal yang ia tebas.
Inilah kemudian yang membuat perlawanan Marlina berbeda dengan perlawanan tokoh-tokoh yang Suzzanna perankan.
Perlawanan Marlina terjadi di dunia yang riil. Bukan dunia klenik. Dengan begitu, yang menanti Marlina kemudian adalah hukum. Bukan surat pendek dari Pak Ustaz.
ADVERTISEMENT
Di film-film Suzzanna mungkin kita bisa mengatakan bahwa hukum yang absen menyebabkan setan main hakim sendiri. Namun, setelah menyaksikan Marlina, terlihat kemudian bahwa yang salah bukan hanya hukum semata, melainkan sistem sosial secara keseluruhan.
Perjalanan Marlina memberikan kita sebuah potret mengenai posisi perempuan di negeri yang patriarkis ini.