Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seandainya Saya Jadi M. Rizki
29 Juni 2022 15:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Reza Aditya Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepertinya sudah hampir 10 tahun gue jadi wartawan yang benar wartawan. Maksudnya 'benar' itu yang kerja di media nasional. Sebelumnya, waktu zaman kuliah, ya hanya menjadi 'tuyul' dari beberapa media lokal di Bandung. Jangan tanya honor, karena sangat menyakitkan yang hanya cukup untuk beli lauk pauk di Hipotesa.
ADVERTISEMENT
Hipotesa maksudnya ini warung makan murah meriah di Jatinangor . Bukan pemahaman yang berasal dari bahasa Yunani yakni hupo dan thesis.
Gue nggak perlu menceritakan pengalaman kerja sebelum di kumparan, karena terlalu bertele-tele dan katanya tidak sesuai piramida terbalik dalam jurnalistik. Lagi juga sepertinya ya begitu-begitu saja.
Cerita-cerita susahnya tembus narasumber dan diomelin redaktur hingga bos pasti sering. Menurut gue itu bukan sesuatu hal yang harus diceritain lagi. Ya, soalnya bagian dari dinamika bekerja sebagai wartawan.
Singkat ceritanya, gue gabung di kumparan ini sejak 2018. Tugasnya dipercayai mengkoordinasikan beberapa berita daerah.
Tentunya, tugas gue ini tidak sendiri, dibantu sahabat yang pernah membuat gue sakit tifus, efek makan nasi goreng di Palmerah yang air cucian piringnya jadi kubangan tikus.
ADVERTISEMENT
Dia adalah Muhammad Rizki. Nama bekennya Gaga. Gue nggak pernah nanya Gaga itu nama dari mana. Bisa jadi dia terinpirasi dari merek sarden ternama.
Sepertinya, soal Rizki ini tidak perlu diceritakan panjang lebar. Kalian bisa lihat dan cari tahu tentang dia di Instagram dan profile user story di kumparan.
Rizki ini sejatinya senior gue waktu kami masih kerja di salah satu media yang headquarternya di Palmerah. Sebenarnya kalau dibilang senior enggak juga, soalnya antara gue dan beliau, itu jarak masuknya hanya 6 bulan saat di Palmerah.
Dia juga senior gue di kumparan karena dia masuknya lebih dulu. Kalau nggak salah, dia masuk tahun 2016.
Oke lanjut lagi soal Rizki. Rizki ini menjadi salah satu wartawan terbaik saat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tahun 2018. Jenjangnya bahkan utama. Bisa dibilang udah dewa lah. Pencapaiannya itu, menginspirasi gue.
ADVERTISEMENT
"Kelak gue juga akan bisa menjadi Rizki, wartawan terbaik saat tes UKW," begitu bunyi isi hati gue.
Sebelumnya, waktu di Palmerah, gue sama Rizki ini sepertinya tidak peduli dengan adanya kompetensi atau sertifikasi beginian.
Gue padahal udah mau sertifikasi saat masih jadi reporter di Palmerah. Namun karena bisikan dari salah satu rekan senior pada saat itu tentang nama besar sebuah perusahaan yang membuat kita tak perlu uji kompetensi, akhirnya gue urung.
Hingga akhirnya gue tahu betapa pentingnya sertifikasi itu. Ibarat kata, wartawan adalah kerja profesi, sama seperti dokter. Itu sebabnya butuh ujian kompetensi.
Melihat kesuksesan Rizki, yang belum pernah uji kompetensi tapi bisa tembus jenjang utama sebagai wartawan terbaik, akhirnya gue terpacu untuk ikutan.
Beruntung gue masih dekat dengan berbagai narasumber top level, karena syarat UKW ini salah satunya adalah telepon narasumber.
ADVERTISEMENT
Meski memang, narasumber seperti sejumlah menteri, ketua lembaga, kepala daerah yang gue punya dan akrab itu ada juga yang udah lost contact karena mereka ditangkap KPK.
Tapi setidaknya, gue masih dekatlah dengan narasumber top level dan bisa seperti Rizki saat uji kompetensi.
Waktu terus berjalan dan rutinitas membuat gue lupa bahwa ingin uji kompetensi. Akhir 2019, ada pandemi. Seketika rencana uji kompetensi itu berangsur-angsur redup hingga akhir 2021.
Di awal 2022, bosku terbaik Ikhwanul Habibi, memberi kabar bahwa akan ada lagi uji kompetensi. Yeay, gue bersemangat. Memori ingin menjadi wartawan terbaik jenjang utama seperti Rizki terpacu lagi. Gue ini masuk kumparan di 2018 setelah Rizki selesai UKW. Jadinya gue masuk agak telat juga dan tidak bisa UKW bareng Rizki.
Tapi, ada hal yang mengganjal. "UKW tahun ini karena ada keputusan dari Dewan Pers, yang belum ikut, nggak bisa akselerasi langsung jenjang utama dan madya, jadi jenjang muda dulu," kata Habibi.
ADVERTISEMENT
Sejenak gue termenung. Di dalam hatiku berkata "Apa salahku udah berkarier hampir 10 tahun jadi wartawan tapi UKW masih jenjang muda?".
Di sisi lain, hati kecil gue juga berkata, “Tak hina juga jenjang muda tapi pengalaman sudah sok mendunia, karena gue pernah lobi langsung wawancara NATO dan PBB (bukan Partai Bulan Bintang)”.
Meski jenjang UKW muda dan beda dua tingkat dari Rizki yang utama, setidaknya ini menjadikan semangat buat gue untuk lebih baik lagi ke depannya. Dan bahkan, bisa menjadi motivasi gue agar tidak hanya bisa lobi wawancara NATO dan PBB doang.
Oh iya buat kalian yang baca ini dan masih bingung soal jenjang muda, utama yang gue sebut di atas soal tes UKW, bisa baca di sini. ada penjelasannya. Singkat penjelasan dari gue, jadi UKW itu ada tiga level. Muda, Madya, Utama. Sebenarnya tingkatan awalnya disesuaikan dengan masa kerja dan pengalaman. Tapi tidak buat gue.
Tapi setelah dipikir-pikir, beruntung juga masih ikutan tes UKW jenjang muda. Karena ini semakin menjadikan gue semangat untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang berkualitas. Mungkin ada benarnya juga gue berada di jenjang muda karena itu buat pecutan agar semakin lebih baik.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi kalau gue langsung utama, meski mampu, pastinya gue akan jemawa. Dan ya merasa puas dengan pencapaian yang ibarat kata baru segitu.
Dengan pencapaian yang baru segitu dan udah jemawa, ya gue mungkin bakal diketawain oleh Rosiana Silalahi yang sudah bisa wawancara George W. Bush dan tokoh lain sekaliber Ahmadinejad. Bahkan Amarzan Lubis yang bisa wawancarai Ho Chi Minh sambil merokok di tangga Istana di Hanoi pun masih rendah hati saat gue berbincang dengannya beberapa tahun lalu sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Buat gue, wartawan itu ada beberapa kriteria: pertama bisa menghasilkan karya jurnalistik investigasi yang berpengaruh luas ke kebijakan suatu negara dan memenangi berbagai penghargaan kelas dunia dan lokal, lalu yang kedua bisa wawancara dengan tokoh-tokoh internasional yang jadi sorotan. Ketiga ya wartawan perang yang tulisan dan fotonya bisa menggugah dunia. Bahkan bisa menghentikan perang itu.
ADVERTISEMENT
Gue belum memenuhi tiga kriteria di atas. Maka, wajar kalau gue masih di jenjang wartawan muda.