Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Macet dan Hal yang tak Terhindarkan
6 April 2025 10:45 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Dan segalanya menjadi lambat, terhenti, ketika waktu tak lagi berlari, tetapi menunggu."
ADVERTISEMENT
Macet, lebih dari sekadar barisan kendaraan yang mengantre dan bersenggolan di jalan-jalan. Ia adalah tentang keterjebakan. Seperti Sisyphus yang terus-menerus mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke bawah. Macet adalah gambaran yang sama saban tahun: terhenti di tengah jalan hanya untuk pulang, berjumpa, dan merayakan. Sebuah bentuk kebuntuan. Seakan-akan, di antara klakson dan keluh kesah, ada tangan tak kasatmata yang menahan. Berhentilah, lihatlah, rasakanlah. Macet adalah jeda. Sebuah waktu saat manusia diajari untuk berhenti, berjalan pelan, dan tak terburu-buru.

Dalam perjalanan yang tersendat itu, ada pelajaran kecil yang tersembunyi. Waktu tidaklah mekanis, akhirnya tidak bisa dihitung seperti detak jam, melainkan dirasakan. Pada situasi kemacetan sebenarnya kita sedang memasuki wilayah di mana hitungan kilometer tak lagi berarti, dan satu jam bisa terasa seperti seumur hidup. Yang, barangkali di sinilah kesabaran diuji, saat batas kesadaran dipaksa menyesuaikan dengan realitas yang tak bisa terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Kita memang manusia modern yang terbiasa dengan "ilusi" kecepatan. Dari internet hingga kereta cepat, dari pesawat supersonik hingga sistem pembayaran instan, semuanya menuntut efisiensi. Manusia yang "terburu-buru" itu akhirnya kehilangan keheningan, kehilangan dirinya sendiri. Macet mengembalikan kita pada keterbatasan tubuh dan waktu. Ia menciptakan ruang bagi kita untuk kembali mendengar detak jantung, merasakan kehadiran sesama yang tertutup oleh rutinitas harian.
Hanya saja, di tengah itu, kemacetan juga adalah potret dari gagalnya sistem. Ketika jalanan menjadi lautan kendaraan yang saling berdesakan, di sana sebenarnya terlihat bahwa negara tidak cukup mahir dalam menata ruang hidup warganya. Infrastruktur yang tidak memadai, kota yang tumbuh tanpa rencana. Kemacetan bukan semata tentang mobil yang berhenti, tetapi juga tentang kebijakan yang mandek.
ADVERTISEMENT
Macet dari tahun ke tahun jadi bahasan yang jadi kebiasaan, ia tak terhindarkan. Padahal, jalan tol dibangun, jalan diperlebar, tapi kendaraan yang mengisinya pun terus bertambah. Memang peradaban terus bergerak. Kemajuan seperti malaikat yang terbang mundur, melihat puing-puing masa lalu yang menumpuk. Kita berbangga dengan jalan tol baru, tetapi lupa bahwa kemacetan adalah bagian dari sejarah yang terus berulang. Bahwa di Roma kuno, di London abad ke-19, bahkan di pusat-pusat modern seperti Tokyo dan New York, manusia selalu mengalami stagnasi di tengah pergerakan yang mereka ciptakan sendiri.
Dalam kemacetan, di antara suara mesin yang meraung dan hawa panas yang menyelimuti, ada ruang untuk bertanya: Mengapa kita begitu gelisah dengan keterlambatan? Mengapa kita tak bisa menerima waktu yang melambat? Mengapa kita takut pada diam?
ADVERTISEMENT
Kita hidup dalam dunia yang mendewakan efisiensi, tetapi lupa bahwa kehidupan sejatinya adalah irama yang naik turun. Seperti dalam perjalanan sufistik, ada saatnya berlari, ada saatnya menunggu. Dalam bahasa Emha Ainun Najib, harus tahu kapan waktunya "ngegas" dan kapan waktunya "ngerem". Lalu merelakan diri untuk berhenti. Dalam jeda, dalam kesabaran, mungkin kita menemukan yang selama ini kita lupakan: bahwa waktu bukanlah sesuatu yang harus selalu kita kejar, tetapi sesuatu yang harus kita nikmati dan hayati. [ ]