Konten dari Pengguna

Prekariat dan Nasib Kelas Menengah

Reza Fauzi Nazar
Santri - Alumni Lirboyo Kediri - Kadang Ngajar "Seolah-Olah" Akademisi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
22 September 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 30 September 2024 8:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrasi: pekerjaan untuk makan. sumber: StockCake
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi: pekerjaan untuk makan. sumber: StockCake
Marx bicara perjuangan kelas. Di abad ke-19 para buruh bergerak. Jika dulu perjuangan kelas dipahami sebagai konflik antara buruh dan pemilik modal, hari ini situasi dihadapkan pada fenomena baru yang tak kalah rumit: munculnya "prekariat" dan keterombang-ambingan kelas menengah. Dunia semakin kompleks, lantas di manakah letak janji stabilitas yang pernah diemban oleh kelas menengah? Dan bagaimana nasib prekariat yang terus hidup dalam ketidakpastian?
ADVERTISEMENT
Prekariat, adalah istilah yang dikenalkan Guy Standing, merujuk pada kelas sosial baru yang tumbuh di era globalisasi dan ekonomi neoliberal. Prekariat hidup dalam kondisi pekerjaan yang tidak pasti, tidak tetap, dan tanpa jaminan sosial. Jika kelas menengah di masa lalu identik dengan stabilitas ekonomi dan sosial, prekariat hadir sebagai antitesis dari semua itu: kelompok yang terjebak di antara pekerjaan temporer, kontrak kerja, hidup di bawah bayang ketidakpastian. Mereka bukan lagi buruh pabrik yang menghadapi risiko langsung dari perbudakan modern, melainkan kaum pekerja yang tersebar di berbagai sektor, dari pengemudi ojek online, kurir, hingga freelancer di industri kreatif.
Dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011), Standing menguraikan bahwa prekariat bukan hanya soal kelas sosial, tetapi juga sebuah kondisi psikologis. Ketidakpastian yang dialami oleh mereka membuat kehidupan sehari-hari menjadi penuh kecemasan. Bayangan ketidakpastian ini tak hanya terkait dengan hilangnya pekerjaan, tetapi juga hilangnya identitas sosial yang stabil. Mereka yang hidup dalam kondisi ini tidak memiliki akar yang kuat di masyarakat; mereka berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, dari satu tempat tinggal ke tempat lain, tanpa kepastian akan masa depan.
ADVERTISEMENT
Jika prekariat adalah wajah baru dari ketidakpastian sosial, kelas menengah—yang dahulu dianggap sebagai tulang punggung ekonomi dan agen perubahan sosial—kini berada di persimpangan jalan. Kelas menengah Indonesia, yang tumbuh pesat pasca-reformasi dan didorong oleh ledakan konsumsi, seolah mulai kehilangan pijakan. Dengan tingginya biaya hidup di perkotaan, inflasi yang mencekik, dan lonjakan harga kebutuhan pokok, harapan akan stabilitas ekonomi bagi mereka semakin menjauh.
John Kenneth Galbraith, dalam The Affluent Society (1958), menggambarkan bagaimana konsumerisme di masyarakat modern menciptakan ilusi kemakmuran. Kelas menengah modern, yang terdorong oleh keinginan untuk terus naik tangga sosial, terjebak dalam lingkaran konsumsi. Mereka membeli barang-barang mewah, rumah di pinggiran kota, dan mobil mahal, sering kali bukan karena kebutuhan nyata, tetapi karena tekanan sosial untuk tampil "berhasil." Di Indonesia, fenomena ini terlihat dalam budaya konsumtif masyarakat urban. Merek-merek fashion mewah, gadget terbaru, dan liburan ke luar negeri menjadi simbol status yang diidolakan.
ADVERTISEMENT
Namun di balik kemewahan itu, ada kenyataan lain yang jarang dibicarakan: utang rumah tangga yang terus meningkat. Di banyak kota besar, utang konsumer yang diambil untuk membiayai gaya hidup mewah sering menjadi beban berat bagi kelas menengah. Mereka yang pada awalnya merasa aman secara finansial mulai merasakan ketidakpastian yang sama dengan prekariat. Dengan kata lain, batas antara kelas menengah dan prekariat mulai kabur. Keduanya hidup di bawah ancaman ketidakpastian ekonomi, meski dalam bentuk yang berbeda.
Dalam konteks ini, Slavoj Žižek menawarkan tawaran perspektif. Dalam karyanya yang penuh provokasi, Žižek menyoroti bagaimana sistem kapitalisme global kini justru memproduksi ketidakstabilan di segala lini kehidupan. "We live in apocalyptic times," tulisnya. Kapitalisme, menurut Žižek, telah menciptakan masyarakat yang terperangkap dalam logika konsumsi dan ketidakpastian permanen. Pada akhirnya, baik kelas menengah maupun prekariat sama-sama menjadi korban dari sistem ekonomi yang mereka sendiri tak kuasai.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, meski kelas menengah dan prekariat sama-sama berada di bawah bayang ketidakpastian, keduanya ini sering kali dipertentangkan satu sama lain. Di media sosial, kita sering melihat narasi yang menyalahkan kelas menengah atas ketidakadilan sosial yang dialami kaum prekariat. Sementara itu, kelas menengah merasa cemas dengan semakin tipisnya "buffer zone" antara mereka dan ketidakpastian hidup yang dialami oleh prekariat. Mereka takut kehilangan apa yang telah mereka capai dan terjerumus dalam jurang ketidakpastian ekonomi.
Namun, bukankah keduanya adalah korban dari narasi besar yang sama? Dalam buku Capitalism, Alone (2019), Branko Milanović menguraikan bahwa ketimpangan global yang semakin melebar bukan hanya hasil dari kebijakan ekonomi yang salah, tetapi juga produk dari sebuah sistem yang secara inheren menguntungkan segelintir orang—sekelompok elit. Ketimpangan ini membuat kelas menengah semakin terpinggirkan, sementara prekariat terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit ditembus.
ADVERTISEMENT
Apa yang bisa kita lakukan di tengah situasi ini? Kelas menengah, yang sering dianggap sebagai aktor perubahan sosial, kini dihadapkan pada pilihan yang sulit: terus bergulat untuk mempertahankan status mereka, atau membangun solidaritas dengan kaum prekariat. Mungkin kita bisa belajar dari teori Pierre Bourdieu tentang "habitus" dan "modal sosial". Bourdieu mengingatkan bahwa kelas sosial tidak hanya ditentukan oleh kekayaan ekonomi, tetapi juga oleh modal sosial, budaya, dan simbolik yang dimiliki oleh individu. Kelas menengah, dengan segala modal simbolik dan kulturnya, memiliki potensi untuk menciptakan ruang-ruang solidaritas dengan prekariat, bukan untuk mempertahankan status quo, tetapi untuk mengupayakan perubahan struktural yang lebih adil.
Tentu, ini bukan tugas yang mudah. Namun, seperti yang pernah ditulis oleh Albert Camus, "The struggle itself... is enough to fill a man's heart." Di tengah ketidakpastian, mungkin harapan terbesar adalah kemampuan untuk terus berjuang—tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk sebuah masyarakat yang lebih adil dan setara.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, prekariat dan kelas menengah adalah dua sisi dari koin yang sama, sama-sama berjuang di bawah bayang ketidakpastian sistemik. Keduanya perlu dipandang bukan sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian dari dinamika kelas yang lebih besar, kita mampu mulai merumuskan strategi untuk keluar dari krisis. Perlu dimulai memikirkan cara-cara baru untuk menciptakan solidaritas lintas kelas, membangun sistem ekonomi yang lebih inklusif, dan pada akhirnya, memulihkan janji stabilitas yang pernah diemban oleh kelas menengah. Seperti kata Marx, sejarah adalah sejarah perjuangan kelas. Namun, sejarah juga bisa menjadi tempat di mana solidaritas, bukan sekadar konflik, menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih baik. [ ]