Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Refleksi Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
10 Desember 2024 12:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Reza Kausar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perlindungan HAM sebagai Hak Kodrati dan Ciri Negara Hukum
Gagasan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebenarnya telah muncul sejak lama. Jauh sebelum lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun 1215, Bill of Right yang juga lahir di Inggris pada tahun 1689, serta Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris pada tahun 1948, telah lebih dulu lahir sebuah dokumen perjanjian formal bernama Piagam Madinah yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad SAW untuk mempersatukan beberapa golongan yang ada di Madinah pada saat itu. Piagam Madinah memuat beberapa ketentuan, antara lain menetapkan kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, larangan membunuh dan lain sebagainya. Tujuannya agar menciptakan kehidupan masyarakat Madinah yang damai dan tentram.
ADVERTISEMENT
Isu HAM menjadi salah satu isu penting dan paling sering dibicarakan, karena menyangkut dengan hak dasar dari setiap manusia, yaitu hak yang melekat pada setiap diri manusia sejak lahir. Hak Asasi Manusia merupakan anugerah dari Allah SWT yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Sehingga mayarakat dunia selalu memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 10 Desember setiap tahunnya. Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu cirinya diungkapkan oleh Montesquieu adalah adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Melalui organ-organnya, negara harus menjamin Hak Asasi Manusia setiap warganya. Salah satu institusi negara yang diberikan kewenangan untuk menjamin Hak Asasi Manusia melalui penyidikan adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Catatan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Di Indonesia ada beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, namun sampai saat ini kasus tersebut masih belum tuntas. Sebut saja kasus Talangsari 1989, Rumoh Geudong (Aceh) 1989-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan II 1998-1999, Simpang KKA (Aceh) 1999, dan masih banyak lagi kasus lainnya.
ADVERTISEMENT
Kewenangan Penanganan Perkara Pelanggaran HAM Berat Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Kejaksaan, selain sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penuntutan, Kejaksaan juga sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Kejaksaan, pada penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf d, disebutkan bahwa Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Kewenangan penyidikan tersebut, sudah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 11 disebutkan, “Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Selanjutnya dalam pasal 13, dipertegas kewenangan penyidikan tersebut, “Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan”. Kejaksaan, dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Indonesia, untuk penanganan perkaranya yang dimulai dari penyidikan sampai dengan eksekusi, ditangani oleh bidang tindak pidana khusus (Pidsus).
Proses penanganan perkara pelanggaran HAM berat dimulai sejak dilakukannya penyelidikan dan pemeriksaan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik, dalam hal ini Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Kejaksaan telah menangani tiga peristiwa yang telah ditindaklanjuti dengan penyidikan dan pemeriksaan di pengadilan, yakni kasus Timor-Timur tahun 1999, Tanjung Priok tahun 1984, dan Abepura tahun 2000. Penyidikan tersebut dimulai setelah dilakukan penyelidikan oleh KOMNAS HAM dan telah diserahkan kepada Kejaksaan. Namun, walaupun ketiga kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan HAM ad hoc, semua terdakwa dibebaskan karena alat bukti yang dihadirkan tidak cukup memberikan keyakinan kepada hakim. Proses itu juga tidak memberikan kompensasi dan restitusi kepada korban.
Hambatan dan Asa Pada momentum hari HAM Sedunia
Memang tidak mudah untuk menyelesaikan sebuah kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ada beberapa hambatan yang menyebabkan penanganan seperti proses pembuktian kasus pelanggaran HAM berat tunduk pada KUHAP dimana satu keterangan saksi tidak dapat dijadikan alat bukti, kecuali didukung alat bukti lain, kesulitan memperoleh alat bukti dalam peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena peristiwa sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama dan lokasi peristiwa sudah berubah dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kita berharap, pada momentum peringatan Hari HAM sedunia tahun ini, negara melalui institusi yang telah diberikan wewenang oleh undang-undang, agar dapat menyelesaikan segala bentuk hambatan yang timbul dalam proses penanganan perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia. Mengingat, kasus pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di Indonesia telah menyisakan luka yang sangat mendalam bagi keluarga korban yang ditinggalkan.