Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dari Hoaks ke Kode Etik, Menangkal Krisis Kepercayaan di Dunia Jurnalistik
15 November 2024 15:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Reza Rafitama Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital saat ini, dunia jurnalistik menghadapi tantangan yang sangat besar dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik. Media sosial dan platform berbasis internet telah mempercepat aliran informasi, namun juga membuka ruang yang luas untuk penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau yang lebih sering dikenal dengan istilah hoaks. Hoaks, yang sering kali disebarkan dengan niat tertentu baik itu untuk keuntungan politik, finansial, atau sosial telah menggerus kualitas dan kredibilitas media konvensional. Dalam konteks ini, penerapan kode etik jurnalistik menjadi sangat penting untuk menjaga kualitas informasi dan memulihkan kepercayaan publik terhadap media.
ADVERTISEMENT
Krisis kepercayaan terhadap media bukanlah fenomena yang terjadi dalam semalam. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus besar yang menunjukkan bagaimana media mainstream pun bisa terjebak dalam praktik tidak etis. Keterbukaan informasi yang dijamin oleh kebebasan pers seharusnya menjadi pilar demokrasi, tetapi ketika tidak diiringi dengan tanggung jawab yang jelas, keterbukaan ini justru bisa menjadi pedang bermata dua. Di tengah kemajuan teknologi yang memungkinkan siapa saja untuk menjadi jurnalis dengan mempublikasikan informasi secara langsung kepada audiens besar, pertanyaan mendasar muncul: siapa yang bertanggung jawab atas kebenaran informasi tersebut?
Hoaks sering kali beredar karena informasi yang cepat menyebar lebih menarik perhatian daripada informasi yang benar dan tervalidasi. Berita palsu ini biasanya dirancang untuk memanfaatkan emosi, seperti ketakutan, kemarahan, atau kebencian, dan sering kali disebarkan dalam bentuk yang dramatis atau sensasional. Ketika audiens mengakses berita ini tanpa menyaringnya, mereka cenderung lebih terpengaruh oleh narasi yang emosional daripada yang berbasis pada fakta yang benar. Hal ini membentuk siklus yang merusak kredibilitas media tradisional yang mengedepankan prinsip jurnalistik yang mendalam dan objektif.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi ini, kode etik jurnalistik berfungsi sebagai landasan moral yang harus diikuti oleh setiap jurnalis dan media. Di Indonesia, Kode Etik Jurnalistik yang disusun oleh Dewan Pers mengatur berbagai aspek, mulai dari objektivitas, independensi, hingga tanggung jawab media terhadap masyarakat. Kode etik ini menuntut jurnalis untuk memverifikasi setiap informasi yang mereka terima, untuk tidak menyebarkan informasi yang dapat merugikan individu atau kelompok tanpa bukti yang jelas, dan untuk menghormati hak privasi serta martabat setiap orang yang terlibat dalam laporan mereka. Kode etik ini juga melarang jurnalis untuk menerima suap atau tekanan dari pihak manapun dalam menjalankan tugasnya.
Namun, meskipun kode etik ini jelas dan komprehensif, tantangan terbesar terletak pada bagaimana penerapannya di lapangan. Dalam dunia yang serba cepat seperti sekarang, banyak jurnalis terpaksa bekerja di bawah tekanan waktu yang ketat. Keinginan untuk menyajikan berita terkini seringkali memicu keputusan yang kurang teliti, seperti menyebarkan informasi yang belum sepenuhnya diverifikasi. Tindakan ini, meskipun mungkin tidak disengaja, dapat membuka jalan bagi penyebaran hoaks dan informasi yang salah.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya jurnalis yang harus menjaga kode etik dalam pekerjaannya, tetapi juga media itu sendiri. Media sebagai entitas memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa setiap berita yang mereka publikasikan telah melalui proses verifikasi yang ketat. Terlebih lagi, media harus bersikap transparan terhadap sumber informasi mereka. Di tengah munculnya berbagai platform media sosial yang memiliki kekuatan yang sangat besar dalam memengaruhi opini publik, penting bagi media tradisional untuk menunjukkan integritasnya dengan cara yang dapat dipercaya. Mereka harus berusaha untuk tidak terjebak dalam persaingan klik atau sensasi yang sering kali mendorong mereka untuk memprioritaskan kecepatan ketimbang kebenaran.
Selain itu, di era digital ini, media juga harus melibatkan pembaca atau audiens dalam proses verifikasi dan koreksi informasi. Banyak media yang kini menyediakan platform untuk audiens mereka mengkritisi atau mengoreksi pemberitaan yang telah diterbitkan. Hal ini tidak hanya meningkatkan transparansi tetapi juga membangun dialog yang sehat antara media dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pentingnya kode etik jurnalistik juga terletak pada perannya dalam menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam pemberitaan. Dalam dunia yang semakin pluralistik dan terdiversifikasi ini, media harus memperhatikan hak-hak individu dan kelompok yang terpinggirkan, serta menjaga keberagaman suara. Jurnalis memiliki kewajiban untuk melaporkan semua sisi dari sebuah peristiwa, bukan hanya berdasarkan sudut pandang mayoritas, tetapi juga mencakup perspektif yang mungkin terabaikan. Hal ini menghindarkan pemberitaan dari bias yang tidak adil, yang dapat memperburuk polarisasi sosial.
Salah satu contoh paling nyata dari dampak buruk hoaks adalah dalam konteks politik. Pada berbagai pemilu, hoaks telah digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik, menyesatkan pemilih, dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem pemilihan. Fenomena ini tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga mengancam stabilitas sosial. Dalam hal ini, kode etik jurnalistik harus menjadi benteng pertahanan pertama untuk mencegah penyebaran informasi yang dapat merusak proses demokrasi. Jurnalis harus bertanggung jawab untuk melaporkan fakta, bukan opini atau fitnah, dan harus melawan narasi yang mengarah pada polarisasi sosial yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pembaca atau audiens juga memiliki peran penting dalam menangkal krisis kepercayaan ini. Masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi, terlebih dengan kemunculan berbagai platform yang memungkinkan siapa saja untuk menjadi "jurnalis" dengan menyebarkan informasi. Literasi media yang baik akan membantu masyarakat untuk lebih teliti dalam membedakan antara informasi yang kredibel dan yang tidak. Selain itu, masyarakat juga harus mendukung media yang bertanggung jawab dan menghargai kode etik jurnalistik, serta memberikan kritik yang konstruktif apabila terdapat pelanggaran.
Krisis kepercayaan ini bisa diatasi dengan pendekatan yang holistik. Media dan jurnalis harus terus memperbaharui praktik jurnalistik mereka, seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan kebutuhan masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini, juga memiliki peran penting dalam mendukung kebebasan pers dengan tetap memastikan bahwa hukum di negara ini mendukung penegakan etika jurnalisme. Penegakan hukum terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang merugikan juga harus berjalan bersamaan dengan upaya untuk memperkuat kode etik jurnalistik. Namun, kebebasan pers yang dijaga dengan baik, akan tetap menjadi pilar penting untuk menciptakan ruang bagi demokrasi yang sehat.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pemulihan kepercayaan publik terhadap dunia jurnalistik membutuhkan waktu dan upaya bersama dari berbagai pihak baik itu jurnalis, media, pemerintah, maupun masyarakat. Dengan menegakkan kode etik jurnalistik yang ketat, meningkatkan literasi media di kalangan masyarakat, dan menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya keakuratan informasi, kita dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap media dan mengurangi dampak dari hoaks yang merugikan. Kode etik jurnalistik bukan hanya sebuah pedoman moral, tetapi juga sebuah alat untuk menjaga integritas dan keberlanjutan media di era digital yang semakin kompleks ini.