Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Hilangnya Hak Konstitusional Partai Politik Akibat Presidential Threshold
3 Januari 2022 11:14 WIB
Tulisan dari Muhammad Rezky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada berbagai macam bentuk perwujudan demokrasi. Salah satunya adalah digelarnya pemilihan umum (Pemilu) tiap 5 tahun sekali. Pemilu, tak lain adalah ajang bagi rakyat untuk memilih secara langsung para politisi sebagai wakil mereka untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Partai politik (parpol) yang merupakan wujud kebebasan berserikat dan berkumpul memainkan peranan penting dalam pesta demokrasi.
ADVERTISEMENT
Ada salah satu syarat yang wajib dipenuhi oleh parpol atau gabungan parpol agar dapat mengajukan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Presidential threshold (PT), itulah syarat tersebut. PT adalah ambang batas minimal untuk pengajuan paslon presiden dan wakil presiden berdasarkan perolehan kursi di parlemen atau suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sejak diundangkan pada 2017 silam, Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur mengenai PT, terus menjadi polemik. Berkali-kali permohonan pengujian diajukan kepada Mahkamah Konstitusi agar pasal mengenai PT ini dibatalkan. Namun, selalu saja menemui kegagalan. Mahkamah Konstitusi dalam perannya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the final interpreter of constitution) menyatakan dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 bahwa PT ini tidak bertentangan dengan Konstitusi.
ADVERTISEMENT
MK berargumen PT merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. Walau begitu, tetap ada banyak pihak terutama para akademisi yang berpendapat bahwa PT bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi menghilangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu.
Jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya presidential threshold ini memang bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Perlu dicermati dalam Pasal 222 UU 7/2017 terdapat frasa “pada pemilu anggota DPR sebelumnya”. Sedangkan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 tidak mengandung makna demikian. Dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 bermakna bahwa sepanjang sebuah parpol itu lolos verifikasi KPU sebelum digelarnya pemilu, maka parpol tersebut berhak untuk mengajukan paslon presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 juga bermakna bahwa peserta pemilu yang dimaksud adalah merujuk pada peserta pemilu saat dilaksanakan pemilu tersebut, bukan berdasarkan pelaksanaan pemilu sebelumnya. Dalam Pasal tersebut juga tidak ada penambahan syarat apapun, baik itu berupa threshold berapa pun besarannya. Oleh karena itu, jelaslah pasal ini tidak memberi kesempatan bagi pembentuk undang-undang untuk membuat open legal policy dengan menerapkan PT sebagaimana argumentasi MK.
Artinya, seluruh parpol yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu memiliki hak yang sama untuk mengajukan paslon presiden dan wakil presiden. Dalam pemilu serentak 2019, diterapkannya PT secara otomatis menghilangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu yang baru ikut berpartisipasi dalam pemilu periode tersebut. Mengapa demikian? hal ini dikarenakan parpol tersebut belum memiliki kursi di DPR-RI atau suara sah nasional sebagai syarat mengajukan paslon presiden dan wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Ternyata penerapan PT tidak hanya menghilangkan hak konstitusional parpol baru, tetapi juga parpol lama. Yang disebut parpol lama dalam artian parpol yang sudah memiliki kursi di DPR-RI/suara sah nasional tetapi tidak memenuhi besaran PT. Dari hasil Pileg 2019 yang nantinya digunakan sebagai acuan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024, ternyata hanya 1 dari 9 parpol yang memenuhi PT.
Hadirnya Pasal 222 UU 7/2017 memaksa parpol-parpol yang tidak memenuhi PT untuk berkoalisi. Dengan begitu maka bisa mengajukan paslon presiden dan wakil presiden. Hal ini merupakan kerugian bagi parpol itu sendiri. Pasalnya, tidak semua parpol memiliki visi dan orientasi politik yang sama, tetapi terpaksa harus berkoalisi. Penerapan PT juga dapat mendiskriminasi parpol dimana Konstitusi jelas tidak menghendakinya.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, PT ini jelas bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang telah menjamin hak konstitusional setiap parpol untuk dapat mencalonkan paslon presiden dan wakil presiden sepanjang lolos verifikasi KPU tanpa terhalang syarat apapun. Oleh karena itu, seyogianya PT ini dihapuskan. Penghapusan bisa melalui 2 opsi. Pertama, Pemerintah bersama DPR-RI menghapus Pasal 222 UU 7/2017. Kedua, MK menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.