Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perkawinan Beda Agama, Bagaimana Menurut Hukum Positif di Indonesia?
29 Juni 2022 15:34 WIB
Tulisan dari Muhammad Rezky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang insan manusia yang telah dewasa dan mapan memiliki hasrat untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya yang dapat disalurkan melalui perkawinan. Perkawinan bukanlah hal yang remeh dan sepele. Dalam perspektif hak asasi manusia, perkawinan adalah salah satu bentuk dari HAM yang dijamin, diakui, dan dilindungi negara yang tercermin dalam Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) serta Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, dalam berbagai dokumen internasional mengenai HAM juga disebutkan bahwa melangsungkan perkawinan adalah hak asasi setiap manusia. Pasal 16 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 23 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Pasal 10 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) adalah beberapa contohnya.
Kemudian pada 2 Januari 1974 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). UU tersebut dibentuk guna pembinaan hukum nasional dan sebagai dasar hukum pengaturan perkawinan di Indonesia yang berlaku bagi semua warga negara.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada Pasal 1 UU Perkawinan disebutkan bahwa "Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa." Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dinyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." dan ayat 2 berbunyi "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari rumusan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tersebut tampak bahwa perkawinan menjadi sah apabila sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing mempelai. Kontroversi yang kemudian muncul dan saat ini sedang menjadi diskursus di masyarakat adalah mengenai perkawinan beda agama. Hal ini banyak diperbincangkan setelah Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan perkawinan beda agama oleh hakim tunggal Imam Supriyadi dengan nomor penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby pada 26 April 2022.
ADVERTISEMENT
Rumusan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan ini dapat menimbulkan multitafsir. Pertama, pasal tersebut bisa ditafsirkan bahwa perkawinan harus dilangsungkan dalam agama yang sama. Apabila berpegang pada tafsir ini, maka tertutuplah pintu untuk dilakukannya perkawinan beda agama tersebut. Tafsir kedua yang mungkin muncul adalah bahwa frasa "dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu" hanya merujuk pada prosesi perkawinannya saja, bukan salah satu pihak harus berpindah agama sesuai agama pasangannya sehingga kawin dengan agama yang sama. Apabila tafsir ini yang digunakan, maka perkawinan beda agama sangat mungkin terjadi dan dilakukan dengan cara 2 kali upacara perkawinan sehingga menjadi sah menurut masing-masing agama.
Mengacu pada UU Perkawinan, maka perkawinan beda agama di Indonesia tidak dianggap sah oleh hukum. Hal ini dipertegas dalam poin 2 Surat Jawaban Panitera Mahkamah Agung Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019 tertanggal 30 Januari 2019 yang berbunyi "Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)".
ADVERTISEMENT
Dalam ajaran Islam telah tegas menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak diperbolehkan. Larangan ini dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu hukum positif di Indonesia, khususnya dalam Pasal 40 jo. Pasal 44 KHI. Demikian halnya dalam ajaran agama-agama lain juga tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Artinya dalam ajaran setiap agama terdapat kesamaan bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian apabila dihubungkan dengan rumusan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa seluruh perkawinan beda agama tidaklah sah.
Sejatinya, UU Perkawinan telah secara tegas mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 8 UU Perkawinan bahwa dilarang perkawinan antara 2 orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Kemudian mengingat bahwa semua agama melarang dan tidak memperbolehkan perkawinan beda agama, maka dapat diartikan bahwa UU Perkawinan juga telah tegas melarangnya melalui Pasal 8 tersebut. Dengan demikian seharusnya berdasarkan pada pasal ini, perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi hukum.
ADVERTISEMENT