Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perppu Cipta Kerja: Kegentingan Memaksa atau Memaksakan Kegentingan?
2 Januari 2023 18:41 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Rezky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu problematika regulasi di Indonesia adalah hyper regulasi atau obesitas regulasi. Implikasinya adalah terjadi karut-marut dan tumpang tindih regulasi di mana tidak menutup kemungkinan terjadi kontradiksi antara regulasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kondisi inilah yang juga menyebabkan Pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU Ciptaker diharapkan dapat mengatasi problematik regulasi tersebut sekaligus dapat menarik investor dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Dalam perkembangannya kemudian, UU Ciptaker menjadi objek permohonan uji formil di Mahkamah Konstitusi yang teregister dengan nomor perkara 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Ciptaker cacat formil.
Artinya dalam proses pembentukan UU Ciptaker tidak didasarkan pada cara dan metode pembentukan UU yang pasti dan baku serta bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Tidak hanya dinyatakan cacat formil, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU Ciptaker dalam kurun waktu 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Secara mengejutkan pada 30 Desember 2022 silam, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Disebutkan, pemerintah beralasan bahwa ancaman-ancaman ketidakpastian global yang mendasari diterbitkannya Perppu Ciptaker tersebut.
Keberadaan Perppu Ciptaker tersebut menggantikan UU Ciptaker yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya dengan Perppu Ciptaker ini, UU Ciptaker dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Terbitnya Perppu Ciptaker ini kemudian mengundang banyak kritik dari berbagai pihak.
Perppu dan Perppu Ciptaker
Perpu adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dikenal di Indonesia. Secara hierarki, kedudukan Perppu adalah setara dengan UU sehingga Perppu juga memiliki kekuatan mengikat layaknya UU. Oleh karena itulah benar bahwa Perppu Ciptaker dapat mencabut dan menggantikan UU Ciptaker (karena kesetaraan kedudukan secara hierarki tersebut).
ADVERTISEMENT
Diterbitkannya suatu Perppu menjadi hak subjektif Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD NRI 1945. Walaupun penerbitan Perppu adalah hak subjektif Presiden, tetapi tidak boleh dilakukan sembarangan. Artinya terdapat parameter tertentu yang harus terpenuhi agar dapat menerbitkan Perppu.
Parameter tersebut adalah kondisi kegentingan yang memaksa. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 merumuskan 3 syarat kegentingan memaksa tersebut, yaitu (1) ada kebutuhan mendesak yang membutuhkan penyelesaian hukum secara cepat, (2) terjadi kekosongan hukum (tidak ada UU yang mengatur atau ada UU yang mengatur tetapi tidak jelas), dan (3) pembentukan UU dengan prosedur biasa tidak dimungkinkan.
Pertanyaannya kemudian apakah ketiga syarat tersebut telah terpenuhi saat dikeluarkannya Perppu Ciptaker tersebut? Tidak sedikit kritik yang dilontarkan. Banyak pihak menilai penerbitan Perppu Ciptaker tersebut tidak didasari oleh kegentingan memaksa.
ADVERTISEMENT
Jika dalil yang digunakan sebagai alasan penerbitan Perppu Ciptaker adalah dinamika global akibat perang Rusia-Ukraina, maka tidaklah relevan. Sebab, Indonesia tidak terlibat dalam perang tersebut dan dampaknya juga tidak langsung. Selain itu, jika memang Perppu Ciptaker ini dibuat dalam kegentingan memaksa, mengapa tebalnya hingga mencapai 1.117 halaman dengan 186 pasal?
Secara logika, apabila dibuat dalam kegentingan memaksa seharusnya halamannya tidak setebal itu dan pasalnya relatif sedikit. Sebagai perbandingan misalnya dalam Perppu 2/2022 hanya 35 halaman dengan 2 pasal, Perppu 2/2020 hanya 9 halaman dengan 2 pasal, Perpu 1/2020 hanya 46 halaman dengan 29 pasal.
Dapat dikatakan bahwa diterbitkannya Perppu Ciptaker tersebut mengkhianati dan tidak menaati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020 yang mengamanatkan perbaikan terhadap UU Ciptaker. Hal ini dikarenakan seharusnya Pemerintah dan DPR selalu pembentuk undang-undang melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker berupa mengulang pembentukannya dengan memperhatikan putusan tersebut, bukan malah menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Ciptaker dengan menerbitkan Perppu tersebut.
ADVERTISEMENT
Penerbitan Perppu Ciptaker justru mendangkalkan, bahkan menghilangkan partisipasi masyarakat. Sedangkan partisipasi masyarakat adalah salah satu hal yang tidak terpenuhi dalam proses pembentukan UU Ciptaker hingga menyebabkannya dinyatakan cacat formil.
Pasal 22 Ayat (2) UUD NRI 1945 mensyaratkan bahwa Perppu yang diterbitkan Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Dalam konteks Perppu Ciptaker ini tidak mungkin rasanya bila DPR menolak Perppu tersebut. Mengingat komposisi DPR saat ini yang mayoritas partai koalisi Pemerintah.
Walaupun demikian sejatinya DPR dapat menolak Perppu tersebut. Dengan beberapa argumentasi di atas, DPR seharusnya menolak Perppu Ciptaker tersebut. Sebagaimana Pasal 22 Ayat (3) UUD NRI 1945, maka apabila ditolak oleh DPR, Perppu Ciptaker haruslah dicabut.
ADVERTISEMENT