Konten dari Pengguna

Sistem Proporsional Terbuka vs Proporsional Tertutup: Demokrasi vs Duitokrasi

Muhammad Rezky Pratama
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
22 Juni 2023 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rezky Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua Mahkamah Konstitusi saat membacakan Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 (sumber: dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi saat membacakan Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 (sumber: dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
2024 mendatang merupakan tahun politik dimana Pemilu, baik Pilpres, Pileg, dan Pilkada, dilaksanakan serentak. Walau gelaran pesta rakyat tersebut masih beberapa bulan lagi, tetapi hembus hawa politik terasa kian memanas. Partai politik mulai menyalakan mesin politiknya. Konsolidasi internal dilakukan. Mengingat Pemilu 2024 sudah di depan mata dan tahapannya pun sudah mulai berjalan sejak 2022 silam.
ADVERTISEMENT
Sistem Pileg proporsional terbuka yang saat ini sedang diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan registrasi perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 menjadi diskursus hangat di masyarakat. Terhadap perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis (15/06/2023) telah menjatuhkan putusan dengan amar "Menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya". Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menolak seluruh dalil-dalil permohonan tersebut. Artinya Indonesia pada Pileg 2024 nanti tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Sebelum putusan tersebut dijatuhkan dan dibacakan pada sidang terbuka untuk umum, terdapat satu hal yang menarik dan mengundang perhatian publik yaitu beredarnya isu mengenai bocoran putusan MK atas perkara tersebut. Dimana diisukan bahwa MK akan memutuskan Pileg menggunakan sistem proporsional tertutup. Walau isu tersebut tidak dapat dipastikan validitasnya (lebih-lebih isu tersebut jelas telah terbantahkan oleh amar putusan yang dibacakan MK pada kamis, 27/06/2023 tersebut), tetapi yang jelas isu tersebut telah membuat heboh negeri ini.
ADVERTISEMENT
Sistem Proporsional Terbuka vs Sistem Proporsional Tertutup
Ada 3 sistem pemilihan legislatif yang dikenal, yaitu sistem proporsional terbuka, sistem proporsional tertutup, dan sistem campuran. Indonesia sendiri saat ini menerapkan sistem Pileg proporsional terbuka (Pasal 168 Ayat (2) UU Pemilu). Secara historis, Indonesia juga pernah menerapkan sistem proporsional tertutup yaitu pada masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto.
Dengan diterapkannya sistem proporsional terbuka, maka antara masyarakat selaku pemilih dengan calon anggota legislatif yang bertarung di Pileg akan memiliki hubungan yang kuat. Sebab masyarakat akan memilih sendiri calon anggota legislatifnya (candidacy centered). Selain itu, akan ada legitimasi kekuasaan yang kuat dari rakyat kepada para anggota Parlemen. Berbeda halnya dengan sistem proporsional tertutup dimana masyarakat hanya akan memilih partai politik (party centered). Partai-lah yang akan menentukan siapa-siapa yang akan menduduki kursi wakil rakyat di parlemen tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua sistem pemilihan tersebut tentu diiringi dengan plus dan minus yang saling menegasikan. Kekurangan sistem proporsional tertutup yang menjadi pengalaman pahit misalnya adalah anggota Parlemen lebih merepresentasikan kepentingan partai politik ketimbang kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Di sisi lain, praktik politik uang (money politic) dan tingginya biaya politik menjadi kelemahan sistem proporsional terbuka.
Demokrasi vs Duitokrasi: Praktik Haram Politik Uang
Banyak yang mengira dan menilai bahwa sistem proporsional tertutup akan dapat menghapus praktik haram politik uang. Padahal tidak demikian. Dalam sistem proporsional terbuka, praktik politik uang dilakukan dari calon anggota legislatif kepada masyarakat. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, praktik politik uang dilakukan dari calon anggota legislatif kepada partai politik. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sistem proporsional tertutup hanya memindahkan dilakukannya praktik politik uang dimana sebelumnya adalah dari calon anggota legislatif kepada masyarakat menjadi dari calon anggota legislatif kepada partai politik. Artinya praktik politik uang tetap masih dapat dilakukan baik dalam sistem proporsional terbuka ataupun sistem proporsional tertutup.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks DEMOKRASI vs DUITOKRASI yang menjadi topik tulisan ini, politik uang merupakan salah satu masalah dalam gelaran Pemilu di Indonesia. Praktik ini telah mengakar kuat sehingga sulit rasanya untuk menghilangkannya. Telah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas para calon anggota legislatif melakukan praktik tersebut dengan tujuan tidak lain supaya meraup suara sebanyak-banyaknya. Tentu saja praktik tersebut bertentangan dengan asas luber jurdil yang dianut Indonesia.
Istilah duitokrasi kiranya bermakna sama dengan istilah "dollarocracy" yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh Robert McChesney dan John Nichols yang berjudul "Dollarocracy: How the Money and Media Election Complex Is Destroying America". Istilah "dollarocracy" adalah kondisi dimana Dollar (mata uang Amerika Serikat) telah menjadi kekuatan penentu dalam Pemilu sehingga berbahaya bagi politik elektoral dan demokrasi Amerika. Demikian halnya dengan politik uang yang menjadi penyakit dalam Pemilu Indonesia juga berbahaya bagi Pemilu itu sendiri dan demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kualitas Pemilu akan terdegradasi oleh praktik haram politik uang. Demokrasi pun akan mati dibunuh oleh duitokrasi. Daulat rakyat akan bertranformasi menjadi daulat duit. Tentu kondisi demikian tidak diinginkan dan tidak boleh terjadi. Oleh karenanya praktik haram politik uang harus dibasmi atau setidak-tidaknya diminimalisir. Secara normatif dalam UU Pemilu sejatinya politik uang termasuk dalam tindak pidana pemilu dengan ancaman pidana yang bervariasi tergantung kualifikasi dari politik uang itu sendiri, misalnya dalam Pasal 515 dan Pasal 523 UU Pemilu.
Praktik haram politik uang yang melanggengkan duitokrasi ini telah dianggap sebagai hal yang lumrah dalam gelaran Pemilu. Survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2019 menunjukkan hasil bahwa 48% masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa. Kiranya hal tersebut menjadi salah satu faktor penghambat hilangnya politik uang dari Pemilu yang luber jurdil sebagaimana diidam-idamkan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa praktik haram politik uang dapat terjadi dan dilakukan dalam sistem proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup. Politik uang melanggengkan duitokrasi telah mereduksi kualitas Pemilu dan demokrasi Indonesia. Masyarakat telah menganggap lumrah adanya praktik haram tersebut sehingga kian menyulitkan upaya menghilangkan politik uang dari Pemilu di Indonesia.
Apabila kualitas Pemilu dan demokrasi Indonesia ingin membaik, maka politik uang haruslah dihilangkan dan daulat rakyat (demokrasi) haruslah mengalahkan daulat duit (duitokrasi). Dengan kondisi partai politik seperti saat ini, memilih menerapkan sistem proporsional tertutup sungguh tidak bijak. Sebab partai-partai politik saat ini kurang transparan sehingga apabila memaksakan menerapkan sistem proporsional tertutup, bukan tidak mungkin daulat rakyat akan menjadi daulat partai.
ADVERTISEMENT