Konten dari Pengguna

Penyelewengan KIP Kuliah, Gaya Hidup Nomor Satu

Rian Katami Sitepu
Rian adalah asisten peneliti di Institute of ASEAN Studies (IAS) sekaligus mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia yang mendalami bidang sosial-politik
15 Mei 2024 18:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rian Katami Sitepu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
KIP Kuliah Mahasiswa sumber: Kemendikbudristek
zoom-in-whitePerbesar
KIP Kuliah Mahasiswa sumber: Kemendikbudristek
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, beredar kasus-kasus penyelewengan KIP Kuliah di media sosial yang salah satunya juga muncul di platform X tempat saya biasa nongkrong. Hal pertama yang terbesit di benak saya, apa semudah itu bisa lolos seleksi KIP Kuliah? Sampai-sampai banyak mahasiswa yang lolos dan makan uang yang harusnya bukan milik mereka.
ADVERTISEMENT
Kalau dilihat dari salah satu syarat penerima KIP Kuliah, disebutkan penerima harus tercatat sebagai kelompok masyarakat miskin atau rentan miskin, maksimal 3 desil sesuai yang ditetapkan oleh Kemendikbudristek.
Namun, masih saja banyak mahasiswa nakal yang akhirnya kecolongan nggak layak jadi penerima KIP Kuliah. Dana KIP Kuliah yang seharusnya untuk mahasiswa dengan ekonomi kurang mampu, malah dipakai untuk foya-foya.

Penerima KIP Kuliah Boleh Hedon?

Melihat oknum yang nggak cuma satu dengan kasus yang sama dan banyaknya perdebatan di berbagai platform, saya rasa penting untuk mengulas lebih lanjut tentang do’s and don’t’s penerima KIPK. Layak atau nggaknya uang untuk kebutuhan kuliah mahasiswa penerima KIP sudah jelas tercantum sebelum calon penerima mendaftar.
ADVERTISEMENT
Dengan catatan kemampuan ekonomi terbatas, maka calon penerima akan dipertimbangkan kelayakannya. Tapi nyatanya, banyak oknum yang menyalahgunakan hal ini dengan gaya hedonismenya yang tinggi.
Mereka yang menyeleweng menggunakan uang KIPK menghabiskannya dengan traveling ke sana kemari, nongkrong santai di restoran cepat saji, atau sekadar minum-minum kopi di coffee shop. Adapula yang mendapatkan KIPK dengan latar belakang keluarga yang mampu. Kalau dilihat lagi, syarat penerima KIPK juga diperhitungkan pendapatan rumah tangga kedua orang tua maksimal sebesar 4 juta rupiah. Di luar itu, artinya mampu membiayai kuliah dan tidak layak menerima uang KIPK.

Penyelewengan KIP Kuliah juga Korupsi

Ngomongin korupsi, hal kayak menggunakan uang atau aset yang seharusnya nggak digunakan sudah masuk ke tindak korupsi dan pemalsuan dokumen. Karena sebelum mengajukan diri, calon penerima pasti harus mengisi data-data agar sesuai dengan kriteria. Misalnya saja memotret rumah yang kita tinggali saat ini, gaji orang tua, dan juga bukti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
ADVERTISEMENT
Kalau penerima ternyata adalah individu dan memiliki latar belakang keluarga yang mampu, maka data-data yang diberikan tentu saja palsu. Nggak hanya itu, tapi uang yang sudah dihabiskan untuk hedonisme dan hal nggak pantas lainnya pantas dikecam dan diminta pertanggung jawabannya.
Nggak harus sampai keluar dari perkuliahan, hanya saja cabut atau undurkan diri apabila merasa nggak layak menjadi penerima KIPK. Nyatanya, banyak mahasiswa-mahasiswi yang lebih membutuhkan dana bantuan dari Kemendikbudristek ini, tapi malah nggak terpilih. Ada yang kerja sambil kuliah, biar bisa bayar UKT. Ada juga yang memilih untuk nggak mendaftar KIPK dengan kondisi pas-pasan. Semuanya dilakuin demi bisa kuliah.

Apa yang perlu dibenahi?

Kalau udah banyak kasus penyelewengan kayak gini, kira-kira biang keroknya ada di mana? Semua bisa jadi pelaku, bahkan mulai dari yang terbawah. Kalau pada saat daftar KIPK calon penerima harus melapor SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) ke RT/RW setempat, maka RT/RW yang meloloskan juga menjadi bagian dari manipulasi data ini. Lanjut ke tingkat berikutnya, pada saat seleksi berkas biasanya ada relasi kuasa dari pihak-pihak nakal yang memilih calon penerima KIPK yang mereka mau.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, tim surveyor masih kurang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, seharusnya pada saat background-checking, seperti keadaan rumah calon penerima KIPK diteliti dengan baik atau jika perlu adakan survei ulang. Saat sudah banyak laporan seperti ini, wewenang penggunaan dana bantuan KIPK bisa dialihkan ke mahasiswa lain yang berhak mendapatkannya.
Meskipun evaluasi dan perubahan data sulit dilakukan, mau tidak mau harus dilakukan karena merugikan banyak pihak. Teruntuk mahasiswa juga, apabila merasa mampu jangan sekali-kali mendaftar KIPK. Tindakan seperti ini harus banyak kesadaran banyak pihak dan tidak boleh dilanggengkan.