Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hukum Sewa Rahim dan Status Anak Hasil Sewa Rahim
23 Mei 2024 10:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Riani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di dalam suatu pernikahan, kehadiran seorang anak sangatlah didambakan oleh banyaknya pasangan suami istri. Begitupun pasangan suami istri yang tidak bisa menghasilkan keturunan pun mengupayakan segala cara untuk bisa mendapatkan keturunan melalui program bayi tabung, poligami, dan bahkan di zaman sekarang ada peristiwa sewa rahim untuk melahirkan anak.
ADVERTISEMENT
Sewa rahim merupakan pembuahan sel telur dan sel sperma pasangan suami istri yang telah bercampur dan ditanamkan di rahim wanita yang mereka sewa atau dengan kata lain menggunakan rahim wanita lain untuk mengandung dan melahirkan benih pasangan suami istri yang menyewanya dan membayar sejumlah uang kepada wanita yang mau mengandung benih mereka tersebut.
Perbuatan sewa rahim ini banyak terjadi di beberapa negara yakni di antaranya terdapat di Ukraina, Amerika Serikat, dan Meksiko yang melegalkan perbuatan tersebut. Namun, di Indonesia sewa rahim (Surrogate Mother) itu diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia berdasarkan Keputusan Fatwa MUI Nomor: KEP-952/MUI/ XI/1990 dikarenakan anak hasil sewa rahim nanti akan menimbulkan ketidakjelasan nasab dan kewarisannya juga banyak menimbulkan mudharatnya dibandingkan maslahatnya. Namun, praktik sewa rahim ini ternyata beberapa sudah dilakukan di Indonesia secara diam-diam.
ADVERTISEMENT
Para ulama pun berbeda pendapat mengenai kebolehan dan keharaman melakukan sewa rahim. Adapun bentuk sewa rahim atau ‘ibu pengganti’ yang tidak diperbolehkan yakni di antaranya:
1. Sel ovum dan sel sperma milik orang lain (bukan milik pasangan suami istri tersebut) lalu diletakkan di rahim wanita lain yang mau mendonorkan rahimnya.
2. Sel sperma berasal dari suami pasangan yang sah tersebut sedangkan sel ovum berasal dari wanita yang bukan istrinya. Ketika nanti anaknya lahir, maka akan diserahkan kepada pasangan tersebut.
3. Sel ovumnya dari istri pasangan sah tersebut, tetapi sel sperma berasal dari laki-laki lain yang bukan suaminya dan benihnya diletakkan di rahim wanita lain bukan di rahim istrinya, ketika anaknya lahir diserahkan kepada pasangan tersebut. Hal ini terjadi apabila istri atau suaminya mandul.
ADVERTISEMENT
Selain itu, para ulama memperdebatkan mengenai bentuk Surrogate Mother berikut ini:
• Sel ovum dan sel sperma milik pasangan tersebut dan dibuahi di luar rahim (di laboratorium) yang kemudian benihnya diletakkan di rahim wanita yang bukan istrinya.
• Sel sperma dan sel ovum milik pasangan sah tersebut dan ketika telah pembuahan benihnya diletakkan di rahim istrinya yang lain.
Sewa rahim termasuk dalam praktek inseminasi buatan dan ini baru terjadi di zaman modern sehingga belum ada ulama salaf yang berpendapat mengenai hukum sewa rahim tersebut. Maka, para ulama kontemporer yang memberikan pendapat mengenai kasus ini. Namun, kebanyakan ulama kontemporer mengharamkan segala macam bentuk perbuatan sewa rahim. Di Indonesia pun diharamkan kelima bentuk sewa rahim tersebut dan yang diperbolehkan adalah pembuahan sperma dan ovum di luar rahim (di laboratorium) dari pasangan yang sah dan benihnya diletakkan di rahim istrinya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mana upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut. Metode tersebut dikenal dengan bayi tabung.
Berkaitan dengan status anak yang dilahirkan hasil sewa rahim, maka statusnya bisa menjadi anak di luar perkawinan yang tidak diakui karena hasil zina apabila wanita surrogate tidak terikat perkawinan dengan suami pasangan tersebut. Kemudian, anak tersebut pun dapat berstatus sebagai anak sah jika wanita surrogate atau dikenal ‘ibu pengganti’ tersebut terikat perkawinan dengan suami pasangan tersebut sebagaimana UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42 menyatakan bahwa, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” Begitupun dijelaskan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa ada dua pengertian mengenai anak sah yang pertama yakni anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, kedua yakni anak hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketentuan KUH Perdata Pasal 250, anak tersebut memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewarisi dan keperdataan dengan orang tua biologis selama si suami tidak menyangkalnya. Maka apabila anaknya sah melalui pengakuan suami tersebut maka anak tersebut berhak mendapat warisan dari orang tuanya, sedangkan anak yang berstatus anak zina tidak memiliki hak waris dari orang tuanya.