Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Degradasi Penegakan Hukum di Tahun Politik
1 Januari 2020 20:56 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Petrus Richard Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petrus Richard Sianturi, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana, FH UGM.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2019 kemarin, harus diakui, bangsa ini kelelahan. Pemilihan umum tingkat nasional untuk anggota legislatif dan presiden/wakil presiden sudah menyita perhatian seluruh masyarakat. Masa kampanye yang lebih banyak diisi perdebatan kosong, kebohongan dan fitnah, bukan hanya sudah merusak kualitas demokrasi tetapi juga meningkatkan kecenderungan perpecahan di akar rumput, sampai sekarang.
Perhelatan pemilihan umum itu, yang disebut sebagai pesta demokrasi terbesar, terumit tetapi sekaligus terlancar itu, tidak bisa sepenuhnya dikatakan seratus persen tanpa noda. Bahwa masih ditemukan berbagai macam bentuk kecurangan harus diakui, meskipun dapat dibela bahwa tidak semua bisa dibuktikan di hadapan hukum.
Di tahun politik ini juga kita lihat berbagai macam gejolak di masyarakat, khususnya saat masa jabatan periode 2014-2019 akan selesai. Seolah para anggota DPR sedang melakukan sulap, tiba-tiba mereka sibuk membahas berbagai macam rancangan undang-undang (RUU), termasuk dua RUU paling kontroversial: RUU Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU KUHP. Dengan berbagai penolakan, DPR periode lalu keras kepala untuk mengesahkan RUU KPK. Untuk ini, pemerintah juga bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Penolakan terhadap RUU KPK yang saat ini sudah menjadi UU bukan tanpa alasan. Yang paling mengemuka adalah dibentuknya dewan pengawas yang kewenangannya menyinggung proses pro justitia. Selama ini, KPK dinilai ampuh menangani kasus-kasus korupsi justru karena kewenangan komisioner KPK tidak diganggu oleh campur tangan pihak lain. Perdebatan mengenai perlunya criminal justice system yang adil dan seimbang, yang menjadi dasar anggota DPR bersih keras membela RUU KPK ini, adalah sama sekali lemah dan tidak relevan.
RUU KUHP yang masih bisa diperdebatkan tidak jadi disahkan karena penolakan luar biasa besar khususnya dari kalangan mahasiswa. Sesuatu yang patut disyukuri. RUU KUHP masih memiliki polemik khususnya soal paradigma penyusunan rekodifikasi yang membuat masuknya tindak pidana khusus kembali ke KUHP dan beberapa pasal tentang kesusilaan yang belum bisa membedakan mana urusan negara, mana urusan pribadi dari masyarakatnya. Dua masalah mendasar itu bukan hal sepele yang perlu didiamkan.
ADVERTISEMENT
Satu bulan ke belakang, sebagai bagian dari konsolidasi politik di periode baru ini, kita juga disuguhkan banyak negosiasi-negosiasi politik, yang terlihat dari penentuan posisi-posisi jabatan baik di kabinet, lembaga negara seperti MPR dan DPR, sampai ke BUMN. Dari kacamata politik hukum ketatanegaraan, masuknya pihak yang sebenarnya dapat menjadi penyeimbang yang sehat ke dalam kapal yang sama dengan pemerintahan adalah tanda kemunduran demokrasi. Saat ini kita tahu, tidak ada penyeimbang yang ketat atas kinerja pemerintah karena seolah-olah semua pihak ingin dimasukan ke dalam satu kapal yang sama.
Masalah hukum lainnya, dan ini yang paling krusial adalah soal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Baru-baru ini, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa selama pemerintahan Jokowi tidak terjadi pelanggaran HAM. Logika yang dibangun adalah bahwa pelanggaran HAM perlu dilakukan dalam upaya sistematis dan terstruktur, sehingga, misalnya tertembaknya mahasiswa yang demo menolak pengesahan RUU KUHP bukan pelanggaran HAM. Sejauh itu, pendapat Mahfud MD tidak salah, hanya saja tidak perlu. Dalam konteks yang paling sederhana, tidak semua logika hukum dapat dijadikan dasar pembelaan atas terjadinya kesewenang-wenangan atas nama negara.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran HAM sejauh dimengerti sebagai perlakuan negara yang melampaui batas kewenangan dan menyebabkan hilangnya hak asasi warga negara adalah bagian nyata pelanggaran HAM. Pembelaan bahwa penembakan terhadap mahasiswa yang berdemo hingga kehilangan nyawa bukan sebagai pelanggaran HAM sama sekali tidak diperlukan. Bukankah sebagai negara hukum, menkopolhukam fokus saja pada penyelesaian kasus itu seadil-adilnya?
Lagipula, persoalannya bukan apakah di pemerintahan presiden Jokowi ke belakang ada pelanggaran HAM atau tidak, melainkan apakah pemerintahan itu telah memberikan langkah maju pada penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu ataukah tidak. Tuntutan ini bukan tanpa dasar, sebab presiden Jokowi sendiri yang menjanjikan bahwa dirinya akan berani menyelesaikan setiap pelanggaran HAM berat masa lalu saat kampanye di tahun 2014. Bahkan di tahun 2019, presiden Jokowi menyatakan bahwa dirinya sudah tidak memiliki beban apapun untuk menjalankan sebaik-baiknya pemerintahan sampai 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun politik 2019 sekaligus juga sepanjang pemerintahan Jokowi periode pertama, memperlihatkan bahwa telah terjadi degradasi penegakan hukum yang adil, seimbang dan tak terpengaruh unsur-unsur politis kepentingan. Degradasi ini bukan dalam konteks tidak ditegakkannya hukum, melainkan ditegakkannya hukum itu tetapi dengan sekian banyak kompromi politis dan kepentingan-kepentingan tertentu. Sekian kejadian yang sebelumnya dibahas memperlihatkan bahwa kompromi politik justru menjadi prasyarat terhadap penegakan hukum, termasuk pembentukan hukum.
Kekacauan penegakan hukum seperti ini sudah dibaca oleh Prof Soerjono Soekanto bahwa manakala hukum justru tunduk pada unsur-unsur lain untuk mempengaruhi kredibilitas penegakan terhadapnya, maka sampai kapanpun kita tidak dapat mengharapkan penegakan hukum yang berkualitas sebagaimana ciri khas utama yang diperlukan oleh sebuah negara hukum (2012: 66-67). Dalam kondisi demikian, yang paling terpengaruh ke depan adalah budaya hukum di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Budaya hukum itu berarti masyarakat akan melihat hukum sekadar sebagai kompromi politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang-orang tertentu dan mempercayai hukum adalah hal yang tidak masuk akal. Jika budaya hukum ini yang akan berkembang, kredibilitas kita sebagai negara hukum juga akan jatuh. Bahwa pemerintah tidak menginginkan hal ini adalah pasti, tetapi tindakan yang medegradasi hukum itu harus segera dihentikan.
Di tahun yang akan datang, kurang lebih empat setengah tahun pemerintahan Jokowi dan masa jabatan DPR mendatang, hukum harus menjadi isu krusial yang harus betul-betul dipikirkan. Penegakan hukum sudah seharusnya menjadi isu sentral yang ditempatkan sejajar dengan isu ekonomi dan pembangunan infrastuktur yang sudah cukup lama menyita perhatian besar. Ke depan adanya pelanggaran hak warga atas hak milik tanah mereka harus lebih menjadi perhatian daripada menurunnya satu poin IHSG.
ADVERTISEMENT
Degradasi penegakan hukum yang sudah terjadi, harus betul-betul diakui dan dijadikan pelajaran. Negara ini negara hukum tanpa kompromi.