Konten dari Pengguna

Potensi Konflik dalam Politik Identitas

Ridwan Apandi
Bachelor of Governance Science - Interested about Politics and Government
24 Maret 2023 14:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ridwan Apandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Menarik untuk menanggapi pernyataan salah satu ketua umum partai peserta pemilu 2024 yang menyatakan dengan tegas bahwa mereka memang merupakan bagian dari Politik Identitas. Dalam beberapa tahun terakhir, tepatnya pada helatan pemilu dan pilpres 2019, politik identitas seakan menjadi hantu bagi beberapa pihak karena penyeretan identitas agama dalam nuansa politik praktis.
ADVERTISEMENT
Sehingga tak heran, jika politik identitas berusaha ditepis dari sengat politik praktis, karena dapat memicu polarisasi masyarakat dan berpotensi terjadinya konflik di tataran akar rumput.
Lantas apa itu Politik Identitas?
Pakar politik Unversitas Duke, Donlad L Morowitz (1999) mendefinisikan bahwa politik identitas mengacu pada demarkasi, menentukan siapa yang disertakan dan siapa yang tidak. Pun Agnes Heller yang menitikberatkan politik identitas pada aspek perbedaan sebagai kategori politik utama.
Dari segi pendekatan pembentukan identitas, penggunaan politik identitas dalam konteks pemilu maupun pilpres termasuk dalam kategori Instumentalisme. Widayanti (2009) identitas dikonstruksikan untuk kepentingan elite dan menekankan pada pergulatan kekuasaan. Dari pandangan-pandangan tersebut bahwa term politik identitas mengacu pada politik perbedaan yang berdasarkan identitas yang digunakan untuk memperebutkan arena kekuasaan. Sehingga acapkali kita temui label si “baik” adalah kelompok kita, dan si “jahat” adalah bukan bagian dari kita.
ADVERTISEMENT
Penggunaan Politik Identitas dalam realitas politik tanah air, bukan hanya terjadi terjadi di Pilgub DKI Jakarta, Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Beberapa justru terjadi di tingkat kabupaten/kota, seperti Pilwakot Surakarta 2015 yang menimpa calon yang beragama Katolik dan Pilbup Banjarnegara 2017 karena calon beretnis Tionghoa.
Beberapa peneliti dan pengamat politik juga menyayangkan penggunaan politik identitas ini, terlebih lagi Indonesia dikenal dengan kemajemukannya. Percakapan mengenai politik identitas dapat terjadi di ruang-ruang memiliki ekses yang cukup bagi masyarakat dalam mengaksesnya. Media sosial seperti facebook, twitter, dan pesan berantai melalui whatsapp menjadi sarana yang cukup efektif dalam penyebaran ujaran kebencian bahkan tak jarang disisipi dengan berita bohong demi menjatuhkan satu sama lainnya. Dalam hal ini, para elite politik bukan hanya tidak menjalankan fungsi edukasi politik yang semestinya, tetapi juga mencabik emosional rakyat demi mendapat simpati dan dukungan belaka.
ADVERTISEMENT
Penggunaan politik identitas juga menyebabkan polarisasi masyarakat, baik ketika kampanye berlangsung maupun residu pasca pemilihan. Neni Haryani, Peneliti DEEP menyebut bahwa Polarisasi merupakan buah dari benih politik identitas yang disemai para elite politik demi mengumpulkan massa.
Jika diteropong berdasarkan sudut pandang konflik, polarisasi masyarakat yang timbul akibat Pemilu merupakan konflik yang timbul akibat identitas. Teori identitas (Fisher, dkk) mengasumsikan bahwa konflik hadir akibat adanya suatu identitas yang dianggap terancam. Hal yang sama terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, penggunaan politik identitas begitu masif digunakan, tak hanya di Media sosial akan tetapi sudah sampai pada aksi-demonstrasi.
Fisher,dkk (2001) terdapat tahapan konflik, yakni Pra-Konflik, Konfrontasi, Krisis. Tahapan konfrontasi ini ditandai dengan adanya serangkaian aksi demonstrasi, ketegangan meningkat dan mengarah pada polarisasi di antara para pendukung. Hal ini jelas terlihat seperti pada Aksi 212 pada tahun 2017 yang memprotes salah satu cagub karena dianggap menistakan agama. Tentu situasi ini sewaktu-waktu dapat berpotensi mengubah konflik menjadi konflik-kekerasan, dari konfrontasi menjadi krisis.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya menerangkan bahwa bahaya penggunaan politik identitas dalam kampanye politik karena dapat menimbulkan konflik karena perebutan kekuasaan yang bersifat konfliktual.
Tentu kita masih ingat dengan kerusuhan yang terjadi di India pada 2020 silam, karena disahkannya Citizenship Amandement Act (CAA) yang dianggap mendiskriminasi muslim. UU Kewarganegaraan tersebut mempercepat pemberian kewarganegaraan pada enam agama di tiga negara tetangga, tapi tidak bagi muslim. Produk Undang-Undang ini pun tak terlepas dari terpilihnya Naredra Modi sebagai Perdana Menteri dari Partai Nasionalis-Hindu Bharatiya Janata. Terlepas dari pro-kontra yang melatari Undang-Undang tersebut, yang menjadi perhatian adalah terjadinya konflik kekerasan dan konsekuensi yang timbul akibat konflik tersebut. Protes terhadap CAA ini mengakibatkan bentrok antar kedua belah pihak pro dan kontra, yakni hindu dan musim yang setidaknya terdapat 20 orang yang tewas dan 189 terluka akibat perselisihan agama tersebut.
ADVERTISEMENT
Tanpa bermaksud mengeneralisasi antara konflik yang terjadi di India dan Indonesia. Yang mana India dilatari dengan akar historis konflik hindu-muslim yang kuat, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah penggunaan politik identitas dalam realitas politik telah menimbulkan konflik bahkan sampai meregang nyawa, yang berarti secara bersamaan telah mengikis humanisme yang selama ini justru digaungkan oleh berbagai agama.
Situasi yang terjadi di India dalam kerangka teoritik Fisher disebut dengan konflik-kekerasan dan konflik berada dalam fase puncak, yakni krisis. Fase krisis ini ditandai dengan terjadinya kekerasan bahkan ada yang terbunuh di antara kedua belah pihak. Berbeda dengan Indonesia, yang mana masih berada dalam fase konfrontasi. Akan tetapi hal ini justru membutuhkan upaya pencegahan agar konflik tidak tereskalasi. Pencegahan tersebut tentu harus dilakukan dengan mengikis benih-benih penggunaan politik identitas dalam realitas politik, terlebih sebentar lagi Indonesia akan melangsungkan pesta demokrasi di 2024.
ADVERTISEMENT