Konten dari Pengguna

Cerita Cin(t)a di KPK

Rieswin Rachwell
Dulu Penyelidik di KPK, sekarang menjadi wibu dan tukang retweet di Twitter.
20 Oktober 2021 11:44 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
53
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rieswin Rachwell tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Elu tuh cina, ya tahu dirilah enggak usah sok jagoan. Lihat tuh ada cina yang sok jagoan akhirnya masuk penjara kan!” kata seorang kerabat, ketika mengetahui aku bekerja di Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
Terlahir menjadi seorang tionghoa alias cina di negara ini, aku sudah dibekali lengkap dengan sejumlah label dan stigma. Entah siapa yang pertama kali membuat label dan stigma seperti bahwa semua cina sama saja (seperti yang ada di Tes Wawasan Kebangsaan KPK). Cina itu pelit. Cina itu tidak mau berbaur dengan tetangga. Cina itu suka culas jika berbisnis. Cina itu tidak nasionalis. Cina itu kaya semuanya. Cina itu kalau ngomong selalu merem. Dan masih banyak deretan tuduhan absurd lain.
Aku tumbuh besar bersama label dan stigma itu, dan aku selalu bertanya: apa yang diperbuat para nenek moyangku? Sampai-sampai sekarang kami dapat setumpuk stigma enggak jelas.
Aku yakin stigma inilah yang menyebabkan aku diteriaki “CINA ANJING!” dan diludahi. Ini terjadi beberapa tahun lalu di jalan dekat kontrakanku di Jakarta. Apakah aku harus memakluminya?
ADVERTISEMENT
Label dan stigma yang sudah membekali diriku sejak lahir itu juga membuatku mempertanyakan realita. Apa iya aku seperti yang mereka katakan? Aku tidak pernah merasa pelit atau kikir? Memang aku diajarkan untuk banyak berhitung oleh orang tua aku karena keadaan finansial keluarga. Aku selalu berusaha bergaul dengan orang-orang di sekitarku tanpa memandang latar belakang apapun. Meskipun sebenarnya malah kami yang mengalami diskriminasi. Diskriminasi ini kemudian mengakibatkan orang tua dan kerabatku jadi was-was, ketika aku bergaul dengan orang-orang yang dianggap berbeda.
Di tengah pertanyaan-pertanyaan yang menghantui tentang stigma yang melekat, ada satu hal yang tak kuragukan. Satu yang pasti. Aku berusaha keras mencintai negeri ini. Negeri yang sama-sama kita cintai, yang berbhineka tunggal ika. Apakah aku yang cina ini boleh ikutan mencintai negeri ini dan ikut berkontribusi untuk memajukan bangsa ini, dengan segala label dan stigma yang sudah menemaniku sejak lahir itu?
Aku Rieswin, seorang cina, wibu. Hobiku makan, masak, dan main game.
Bulan Juli 2009 saat masih SMA aku tersentak dengan berita Cicak versus Buaya. Seorang perwira tinggi kepolisian bernama Susno Duadji marah. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (yang hanya pernah saya baca sekilas di koran-koran pada waktu itu) berani melakukan penyadapan terhadap nomor teleponnya terkait dengan penanganan perkara pidana di skandal Bank Century.
ADVERTISEMENT
“Cicak kok mau melawan Buaya...” kata Susno.
Personifikasi KPK sebagai Cicak dan Susno yang menyebut dirinya sebagai Buaya membuatku terpikat kepada KPK. Si Cicak yang sepak terjangnya belum pernah terdengar olehku ini kok berani-beraninya menyenggol seorang Buaya. Kita semua tahu seorang jenderal polisi di negara ini ibarat kaum dewata yang tidak pernah kita bayangkan bisa tersentuh hukum.
“Keren!” kesanku pada Si Cicak alias Komisi Pemberantasan Korupsi pada waktu itu.
Si Cicak yang kukagumi ini ternyata sudah biasa diserang sana-sini. Mulai dari wacana revisi undang-undang yang digulirkan oleh Pemerintah dan DPR sejak tahun 2008, kriminalisasi terhadap Pimpinan dan pegawainya (termasuk penyidik dan penyelidik), Cicak versus Buaya jilid 2 (perkara korupsi pengadaan simulator yang memenjarakan Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo), sampai Cicak versus Buaya jilid 3 (perkara korupsi rekening gendut dengan tersangka Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan).
ADVERTISEMENT
Setiap serangan dan konflik yang terjadi, ku lihat semata karena KPK yang mengusut perkara korupsi besar. Peristiwa-peristiwa ini selalu membuatku berpikir Si Cicak kok enggak ada tukat-tukatnya ya? Sudah tahu selalu babak belur kalau melawan buaya tapi kok nggak pernah kapok. Enggak kapok memberantas korupsi yang sejak awal kusadari sebagai sumber dari hampir semua masalah yang ada di negeri ini. Termasuk masalah diskriminasi dan intoleransi yang kerap dihadapi aku dan saudara-saudaraku sesama minoritas.
Di berbagai momen itulah aku memberanikan diri untuk bertanya-tanya lebih gila. Apakah aku yang cina ini boleh ikut rombongan Si Cicak yang kukagumi itu? Apakah aku boleh ikutan memberantas Korupsi dan para Buaya tak tersentuh hukum untuk masa depan negeri yang kucintai ini?
ADVERTISEMENT
Bulan September 2016 aku menemukan jawaban dari tanya-tanya gilaku. KPK membuka rekrutmen dan seleksi pegawai KPK melalui program Indonesia Memanggil angkatan 12 (IM12). Waktu itu aku baru satu tahun lebih lulus sebagai Sarjana Teknik Sipil dari Universitas Tarumanagara. Aku sedang bekerja sebagai engineer rancang bangun di konsultan perencana gedung. Persyaratan rekrutmen waktu itu adalah berpendidikan S1 dan memiliki kemauan untuk ikut memberantas korupsi.
Aku merasa sangat terpanggil dengan jargon Indonesia Memanggil itu dan kemudian memberanikan diri untuk mengikuti rekrutmen dan seleksi. Aku melewati beberapa tahap seleksi mulai dari administrasi, tes online, tes potensi, tes kompetensi, tes kesehatan dan wawancara. Semua rangkaian tes dilakukan oleh konsultan SDM profesional kecuali tahap terakhir yang dilakukan langsung oleh pewawancara di KPK. Setiap aku dinyatakan lolos tahapan seleksi, semakin gempar suasana hatiku. Setiap hari aku berpikir, apakah aku benar-benar bisa bergabung bersama Si Cicak untuk memberantas korupsi?
ADVERTISEMENT
Aku hanya menceritakan keikutsertaanku dalam rekrutmen ini ke beberapa orang terdekat. Beberapa meragukan aku yang cina ini bisa diterima di lembaga negara seperti KPK. Bahkan kedua orang tuaku termasuk yang meragukan. Wajar, pikirku. Riwayat diskriminasi, labelling, dan stigmatisasi yang dialami begitu lama membuat mereka sulit untuk berpikiran sebaliknya. Tapi aku bersyukur kedua orang tua dan adik-adikku sangat mendukung langkahku. Sebab, mereka tahu kalau aku sudah membulatkan tekad dan tidak mungkin setengah-setengah.
Bagaimana dengan diriku sendiri? Aku pun ragu. Ada satu bagian dari hati kecilku yang mengatakan tidak bisa. Apalagi periode rekrutmen ini dekat sekali dengan momen pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang penuh dengan polarisasi isu agama dan kesukuan. Ada sedikit keraguan orang-orang di KPK mau menerimaku dengan statusku yang minoritas ini. Tapi seorang sahabatku meyakinkanku.
ADVERTISEMENT
“Buat apa pusingin hal yang di luar kontrol kita? Kita kan enggak pernah milih mau dilahirkan jadi cina atau batak atau apapun,” katanya.
Tahun 2017 terjawab sudah segala keraguan itu. Aku menerima email yang menyatakan aku lulus seleksi dan memintaku hadir di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Iya, kantor Si Cicak. Aku diminta hadir pada 14 Februari 2017 untuk menandatangani offering letter sebagai tanda kesiapan dan kesediaan untuk bekerja sebagai Pegawai KPK.
Hari itu bertepatan dengan Hari Kasih Sayang. Aku merayakannya dengan datang ke Kantor KPK dan bertekad untuk mencintai negeri ini sepenuh hati. Karena aku tahu bahwa status minoritasku sudah bukan masalah lagi dan aku boleh mencintai dan berkontribusi memberantas korupsi untuk negeri ini, setidaknya bagi KPK. Tanggal 5 Maret 2017 aku dan teman-teman Indonesia Memanggil Angkatan 12 diberangkatkan ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kopassus di Batujajar, Bandung Barat. Selama 45 hari kami dilatih dan dididik secara lahir dan batin. Termasuk ilmu dasar kemiliteran, antikorupsi, wawasan kebangsaan dan kami harus lulus setiap materi-materi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada hari-hari akhir pelatihan kami mengikuti upacara malam api unggun. Kami diajak merefleksikan perjuangan-perjuangan bangsa, dan kemudian satu per satu kami maju ke depan lapangan. Kemudian kami berlutut di hadapan Sang Merah Putih, lalu menciumnya. Ketika giliranku tiba dan aku mencium bendera kita, entah mengapa air mata ini jatuh. Mungkin karena menyadari perjuangan bangsa ini melawan korupsi begitu beratnya. Bercampur dengan rasa haru karena sebentara lagi aku benar-benar bisa memberantas korupsi bersama Si Cicak demi negeri tercinta.
Aku dalam pemeriksaan pasukan terakhir oleh Komandan Pusdiklatpassus Kopassus di upacara penutupan pendidikan dan pelatihan (18/04/2017).
Selesai dari Batujajar, kami pun kembali ke kantor KPK pada tanggal 20 April 2017 untuk dilantik sebagai Pegawai KPK. Aku ditempatkan di Direktorat Penyelidikan sebagai Penyelidik. Aku kembali mendengar nada keraguan. Beberapa kerabatku ragu aku akan diberikan pekerjaan yang sama dengan Penyelidik KPK lainnya karena status minoritasku. Tetapi keraguan-keraguan itu tidak pernah saya dapatkan di KPK.
ADVERTISEMENT
Rekan kerja dan atasanku begitu menerimaku apa adanya dan selalu memberi penugasan sama dengan yang lain. Saya tidak pernah mendapatkan pembedaan perlakuan dari siapapun di KPK. Saya diterima dengan sangat baik oleh teman-teman dan atasan di KPK. Kami berteman sangat akrab tanpa memandang latar belakang suku, ras, agama atau apapun itu. Saya pikir waktu itu selesai sudah labelling dan stigmatisasi yang kualami sejak lahir itu.
Aku bersama rekanku saat mengucapkan sumpah jabatan (21/04/2017). Waktu itu pengambilan sumpah dilakukan bersamaan dengan cara 5 agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha) dan aku sendiri secara agama budha.
Apa saja kasus yang sudah kuselesaikan bersama teman-teman di KPK? Banyak, tetapi belum cukup banyak bagiku. Aku masih ingin berbuat lebih, tetapi ternyata aku harus diberhentikan dari KPK. Aku bersama 57 rekan di KPK disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang penuh maladministrasi dan pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Tes yang melanggengkan label dan akhirnya melahirkan stigma baru untuk untukku dan 57 rekan lainnya di KPK. Bukan stigma yang selama ini kudapat di luar KPK, tetapi stigma bahwa kami adalah taliban dan berpaham radikal, tidak setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintah yang Sah. Aku tidak habis pikir bagaimana aku yang sudah bertekad mencintai negeri ini sepenuh hati dan memberantas korupsi mendapat stigma seperti itu.
Aku ketika di kantor Darurat Pemberantasan Korupsi, beberapa hari menjelang tanggal 30 September 2021 di mana kami akan resmi dipecat. (Foto: Tedy Kroen)
Namun setelah melihat 57 rekan lainnya, aku sadar. Mereka adalah para Cicak, yang sudah saya kagumi sejak tahun 2009. Para penyidik dan penyelidik senior yang terlibat di perkara-perkara besar, para pegawai KPK yang tak pernah berhenti dan selalu berani speak out untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Bangga, itu saja yang kurasakan sejak bulan Mei 2021 saat kami dinyatakan tidak lulus dan harus diberhentikan. Aku bangga karena harus disingkirkan bersama para Cicak yang kukagumi sejak dulu. Aku bangga karena aku yang cina ini bisa memberantas korupsi bersama para pegawai KPK. Bekerja bersama dengan latar belakang kami masing-masing yang berbeda.
Itulah wujud cinta kepada negeri ini yang paling nyata. Di KPK aku belajar bahwa cinta itu dinyatakan dengan perbuatan nyata bersama yang berbeda, bukan hanya memasang twibbon ‘Saya Indonesia Saya Pancasila’ tetapi kemudian malah membenci yang berbeda.
Foto terakhirku di Komisi Pemberantasan Korupsi, 30 September 2021.
Disingkirkan dengan TWK yang tidak jelas itu memang menjengkelkan. Tetapi aku bangga disingkirkan bukan karena melanggar kode etik. Aku disingkirkan justru karena aku tidak ingin KPK dilemahkan lewat revisi Undang-Undang KPK di tahun 2019. Aku disingkirkan karena tidak menginginkan KPK dipimpin oleh pelanggar kode etik. Aku disingkirkan karena aku terlalu mencintai negeri ini.
ADVERTISEMENT
Meski kisahku mencintai negara seperti lirik dalam lagu Pupus milik Dewa. Tidak apa-apa. Mencintai itu harus selalu tanpa pamrih. Termasuk mencintai Indonesia.*
*) Bukan untuk Bismillah Komisaris
Aku persembahkan hidupku untukmu
Telah kurelakan hatiku padamu
Namun kau masih bisu, diam seribu bahasa
Dan hati kecilku bicara
Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu
Meski kau takkan pernah tahu
Baru kusadari
Cintaku bertepuk sebelah tangan
Pupus-Dewa (2002)