Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Resiliensi Ibu Tunggal: Mengubah dan Menentang Stereotipe Sosial
23 Juni 2023 19:02 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Rifaa Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam rentang sejarah panjang, praktik budaya patriarki telah menjadi salah satu faktor besar dari banyaknya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan , terlebih lagi apabila ketika seorang perempuan ditakdirkan sebagai ibu yang berstatus orang tua tunggal.
ADVERTISEMENT
Secara esensial, hanya perempuanlah satu-satunya manusia yang sejatinya ditakdirkan menjadi seorang ibu dengan tuntutan "serba bisa" dalam rumah tangga. Tidak hanya mengasuh dan merawat anak, peran sentral seperti memelihara hunian juga rasanya ikut diarahkan menjadi tugas utama seorang ibu.
Namun, bagi ibu tunggal, tanggung jawab yang dipikul tentunya akan jauh lebih berat. Pernahkah terlintas dalam benak Anda mengenai beragam stigma sosial yang melekat pada setiap perempuan dengan statusnya sebagai ibu tunggal? Lalu, bagaimana ibu tunggal dapat membangun rasa percaya diri dan mengatasi dampak negatif dari stigma sosial yang mereka alami?
Pada hakikatnya, perempuan kerap diposisikan menjadi makhluk nomor dua atau sebagai ibu rumah tangga dengan sejumlah tugas domestik sesuai sistem pada budaya patriarki. Hal tersebut menyebabkan terciptanya stigma negatif karena konstruksi budaya yang masih berkiblat tradisional sehingga perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua setelah laki-laki.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perempuan harus berjuang lebih keras untuk dapat keluar dari stigma ketidakadilan berbasis gender tersebut. Sama halnya dengan ibu tunggal, status tersebut kerap dipandang negatif di kalangan masyarakat dibanding ayah tunggal karena berbagai latar belakang kondisi yang mereka alami serta adanya pengaruh budaya patriarki.
Penempatan perempuan pada posisi subordinat dianggap telah menjadi suatu hal yang struktural dan telah digambarkan sesuai dengan budaya patriarki sehingga hal tersebut membuat status seorang ibu tunggal menjadi sangat berat bagi setiap perempuan yang mengalami. Tidak hanya itu, ibu tunggal sering kali dikaitkan dengan stereotipe bahwa mereka tidak dapat mencapai kesuksesan secara profesional karena keterbatasan waktu dan tanggung jawab yang harus mereka pikul.
Menurut Sagita Ajeng Daniari, selaku PR and Partnerships of Single Moms Indonesia, mengatakan bahwa status ibu tunggal di Indonesia masih sangat dipandang negatif oleh sebagian masyarakat, terutama di luar kota besar. Ia juga menambahkan bahwa meskipun sudah banyaknya ibu tunggal yang berhasil mendobrak narasi negatif dengan alih-alih ungkapan single mom fighter berdaya, namun, stigma-stigma negatif masih sulit dihilangkan sebab sudah menjadi warisan turun-temurun dalam kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut sama sekali tidak mengherankan, sebab realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat memang seperti itu adanya. Hal tersebut membuktikan bahwa diperlukannya upaya lebih besar untuk mengubah persepsi dan memerangi stigma yang melekat pada status ibu tunggal di Indonesia.
Seperti Apa Tantangan Ibu Tunggal dalam Realitas Sosial?
Menjadi single mother atau ibu tunggal dalam sebuah kehidupan tentunya tidak mudah untuk dijalani. Hal tersebut disebabkan terdapat banyaknya pandangan negatif yang berhasil menyoroti mereka. Kebanyakan orang cenderung menghina, meremehkan, dan menstigmatisasi janda atau ibu tunggal, meskipun dengan latar belakang akibat perceraian atau kematian pasangan tanpa ingin melihat faktor penyebab dan kondisi yang telah dialami. Selain itu, status "janda" pun kerap dimaknai secara eksplisit.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya dalam realitas sosial, namun, keberadaan ibu tunggal di Indonesia yang dikemas dalam tayangan pada media, sering kali mengeksploitasi peran perempuan dengan stereotipe tradisional yang tidak pernah berubah sehingga menyudutkan status dan peran ibu tunggal. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa contoh film yang menampilkan ibu tunggal sebagai sosok lemah dan tidak berdaya sehingga menimbulkan stigma negatif dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu “A Mother’s Love” dan “Nada untuk Asa”.
Melalui beberapa tayangan yang ditampilkan, representasi perempuan yang digambarkan seperti wajib menjalankan tanggung jawab berdasarkan beragam tuntutan lingkungan sosial. Lalu, tantangan apa saja bagi seorang ibu tunggal dalam realitas sosial?
1. Tantangan Stigma Buruk Masyarakat
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Karvistina pada tahun 2011, dinyatakan bahwa pada umumnya dalam kehidupan sosial, sebagian masyarakat masih memiliki pandangan negatif terhadap perempuan berstatus ibu tunggal, yaitu beragam stigma dari masyarakat bahwasanya perempuan terbaik sudah sepatutnya berada di samping seorang suami.
ADVERTISEMENT
Ia juga menambahkan bahwa sebagian masyarakat hanya dapat menghakimi dan memberikan judgement pada status ibu tunggal tanpa mengetahui penyebab kondisi yang dialami oleh mereka. Hasil dari penelitian tersebut sama sekali tidak mengherankan. Sebab, pada umumnya dalam realitas kehidupan, terdapat beragam pandangan buruk dari masyarakat yang dilontarkan kepada ibu tunggal. Seperti pengganggu rumah tangga orang, dianggap gagal, hingga disebut sebagai perempuan haus kekayaan. Status ibu tunggal menjadikan seorang perempuan sulit berbaur dengan masyarakat lainnya karena merasa takut kehadiran dirinya akan ditolak.
2. Sulitnya Mengembalikan Rasa Percaya Diri
Dihadapkan oleh keadaan serta kondisi baru, tak jarang membuat sebagian besar para ibu tunggal merasa kecil atau rendah akibat stigma yang kerap melekat pada diri mereka. Hal tersebut membuat para ibu tunggal kehilangan rasa percaya diri serta sulit untuk menerima diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut Sagita Ajeng Daniari selaku PR and Partnerships of Single Moms Indonesia, menyatakan bahwa tantangan paling utama bagi seorang ibu tunggal adalah menerima dan membangkitkan kembali rasa percaya diri pada mereka.
3. Tantangan Emosional
Menjalani status sebagai ibu tunggal menjadikan guncangan batin bagi setiap yang mengalami. Beragam hujaman perasaan emosional, seperti kondisi perasaan sedih, kecewa, cemas, sekaligus putus asa menjadi suatu hal yang kerap dirasakan bagi setiap ibu tunggal yang baru mengalami perceraian maupun pasangan meninggal dunia. Emosi yang tidak stabil dapat rentan membuat seseorang mengalami gangguan kesehatan, seperti depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), hingga insomnia.
Dikutip pernyataan dari Maya Angelou selaku penulis, penyair, dan aktivis Amerika, menyatakan bahwa ibu tunggal yang mengalami emosi tidak stabil sering kali berjuang dengan beban yang sungguh berat sehingga penting bagi ibu tunggal untuk mencari dukungan tepat.
ADVERTISEMENT
Ibu Tunggal di Indonesia
Di Indonesia, ibu tunggal menduduki sebagai jumlah single parent paling banyak dibandingkan dengan ayah tunggal. Hal tersebut dapat dilihat melalui persentase ibu tunggal sebesar 14,84 persen, sedangkan persentase ayah tunggal hanya sekitar 4,05 persen.
Kemudian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, diperlihatkan bahwa terdiri dari 11.168.460 (5,8 persen) penduduk Indonesia berstatus janda. Maka dari itu, melalui hasil pendataan di atas, hingga sampai saat ini terdapat sekitar 7 juta perempuan di Indonesia yang dihadapkan menjadi kepala keluarga. Namun, dari banyaknya jumlah ibu tunggal di Indonesia, hal yang perlu diperhatikan dan dipertanyakan adalah mengapa masyarakat masih belum sepenuhnya menghormati dan menghapus stigma negatif terhadap ibu tunggal.
ADVERTISEMENT
Penting bagi masyarakat untuk lebih memahami tantangan yang dihadapi oleh ibu tunggal dan memberikan dukungan yang sesuai, baik dalam hal pendidikan, kesempatan kerja, akses ke layanan kesehatan, dan perlindungan sosial.
Dengan mengurangi stigma dan menciptakan lingkungan yang inklusif, kita dapat mendorong pemberdayaan ibu tunggal dan membantu membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri serta keluarganya.
Langkah Apa yang Harus Dilakukan Ibu Tunggal untuk Menentang Stereotipe Sosial?
Sebagai seorang ibu tunggal yang bertekad mengubah dan menentang stereotipe sosial, langkah pertama yang harus diambil adalah memperkuat kepercayaan diri. Ibu tunggal perlu menginternalisasi dan mengakui nilai-nilai serta pencapaian yang mereka miliki dalam menjalankan peran ganda sebagai orang tua tunggal dan pencari nafkah. Dengan memahami sepenuhnya kapasitas diri mereka, ibu tunggal dapat melampaui batasan yang diterapkan oleh pandangan negatif dalam stereotipe sosial.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, ibu tunggal perlu menunjukkan ketangguhan dan kesuksesan mereka secara jelas dan terbuka kepada masyarakat. Dengan membangun hubungan sosial yang kuat dan menjalin koneksi yang positif dengan orang-orang di sekitar mereka.
Ibu tunggal dapat membuktikan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan dan meraih keberhasilan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini juga memungkinkan mereka untuk memperluas pemahaman masyarakat tentang peran yang penting dan kontribusi yang mereka berikan dalam lingkungan sosial.
Selain itu, solidaritas dalam komunitas ibu tunggal menjadi faktor kunci dalam perubahan dan penantangan terhadap stereotipe sosial. Dengan bergabung dalam kelompok dukungan ibu tunggal atau organisasi serupa, mereka dapat memberikan dukungan emosional dan praktis satu sama lain.
Seperti halnya dengan Maureen selaku pendiri komunitas Single Mom Indonesia (SMI) pada tahun 2019, menyatakan bahwa penting untuk kita membantu memberi dukungan agar para ibu tunggal dapat berdaya bangkit untuk dirinya sendiri. Melalui hal tersebut, kolaborasi dan berbagi pengalaman juga dapat memperkuat ikatan di antara sesama ibu tunggal, sambil memberikan contoh nyata tentang bagaimana mereka dapat mengatasi stereotipe yang ada dan meraih kesuksesan dalam kehidupan para ibu tunggal.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Kita Dapat Menanggulangi Hal Ini?
Sesuai dengan pernyataan Maureen, penting bagi kita untuk mengubah stigma buruk dan menciptakan ruang aman bagi ibu tunggal. Hal ini merupakan suatu kewajiban yang harus kita lakukan. Dalam masyarakat yang inklusif, kita harus memiliki sikap saling menghormati dan merangkul semua individu, terlebih lagi pada ibu tunggal.
Melalui hal ini, sangat penting untuk mengedukasi masyarakat mengenai keberagaman situasi keluarga yang ada sehingga langkah-langkah yang perlu diambil untuk menanggulangi stigma negatif terhadap ibu tunggal dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan meningkatkan kesadaran, mempromosikan empati, dan memberikan dukungan yang tepat.
Kita perlu menyadari bahwa ibu tunggal memiliki kekuatan dan ketahanan yang luar biasa dalam menjalani peran ganda sebagai orang tua dan pencari nafkah. Dengan menghormati dan memberikan dukungan kepada mereka, kita dapat membantu menghapuskan pandangan negatif serta stereotipe yang melekat pada ibu tunggal.
ADVERTISEMENT
Melalui kerja sama dan kolaborasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang mempromosikan inklusi, kesetaraan, dan penghargaan terhadap peran dan kontribusi ibu tunggal dalam masyarakat. Bagaimana jika pandangan negatif terhadap ibu tunggal terus dinormalisasikan? Tidak ada pilihan lain. Jangan salahkan apabila terciptanya stigma negatif yang terus menyelimuti ibu tunggal di kehidupan masyarakat. Namun, apakah kita semua siap apabila dihadapkan dengan citra ibu tunggal yang terus menerus dirugikan?