Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Indonesia Pasca Jokowi: Jalan Terjal dan Warisan Kebobrokan Demokrasi?
7 Agustus 2024 13:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rifka Nafichah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi dan Benih Nepotismenya
ADVERTISEMENT
Gerilya politik Jokowi belakangan ini cukup mengguncangkan dinamika politik Indonesia dengan taktik yang sukses mengubah sistem politik nasional. Meskipun, terhitung hampir purna tugas sebagai presiden dua periode, intervensi politik Jokowi semakin mengikat. Ia ingin tetap kokoh dan powerful pasca jabatan presidennya, perangainya tidak ingin dikuasai dan berupaya untuk tetap menguasai. Itulah alasan mengapa ia tidak ingin selesai di 2024.
ADVERTISEMENT
Jokowi memiliki strategi permainan yang cerdas yaitu dengan menanamkan benih Jokowi-Jokowi yang lain di lahan-lahan strategis pemerintahan. Benih nepotisme itu ditanamkan tanpa mengindahkan batasan konstitusi, dilalui meski harus cacat substansi dan cacat prosedur. Berangkat dari paman MK (Anwar Usman) mengantarkan Gibran Rakabuming Raka menuju kursi wakil presiden RI 2024-2029 dan berhasil ditempuh dengan mulus. Pola menurunkan batas usia calon presiden dan wakilnya ini pun serupa dengan huru-hara MA menurunkan batas usia calon pemimpin daerah dan wakilnya di Pilkada. Sehingga membuka akses untuk Sang Adik Kaesang Pangarep maju dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah.
Ironisnya, benih Jokowi tidak terbatas pada Gibran-Kaesang semata, melainkan anggota keluarganya yang lain turut membabat sisa lahan yang ada. Terangkum nama Bobby Nasution (menantu Jokowi yang akan maju dalam Pilgub Sumatera Utara), Anwar Usman (adik ipar Jokowi yang masih aktif menjadi Hakim MK di atas dosa-dosanya dalam Pilpres 2024), Bagaskara Ikhlasulla Arif (keponakan Jokowi yang menempati jabatan Manager Non-Government Relations di PT.Pertamina) dan Joko Priambodo (menantu Anwar Usman yang menempati jabatan Direktur Pemasaran dan Operasi Patra Logistik PT.Pertamina).
ADVERTISEMENT
Yoes Kenawas menyebutkan bahwa dinasti politik terjadi karena kesempatan terlalu sayang untuk dilewatkan. Alasan yang rasional untuk politisi oportunis. Hanya saja tidak pernah dibenarkan ketika ditempuh melalui proses yang mencederai demokrasi. Pemain oportunis hanya memanfaatkan situasi yang ada, tanpa bertindak melampaui batas konstitusi, bahkan hingga mengubah aturan sesuai kepentingan. Lalu, apa sebetulnya tujuan akhir dan endgame dari permainan Jokowi ini?
Proyek Infrastruktur adalah Jalan Ninja
Refleksi dua periode kepemimpinan Jokowi yang masif dengan pembangunan infrastruktur, barangkali inilah tujuan ambisinya. Proyek infrastruktur era Jokowi banyak yang tidak berhasil secara kualitatif. Pembangunan yang seharusnya menjadi aset dan investasi tidak memiliki value for money (suatu pengukuran keberhasilan aset). Proyek infrastruktur Jokowi tampak memfoya-foyakan APBN untuk memberi makan oligarki. Hanya saja proyeknya dikemas dengan licik seakan membangun untuk kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Terangkum kegagalan proyek infrastruktur Jokowi diantaranya adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung, proyek yang menghabiskan Rp 114,24 triliun pada awalnya menggunakan skema pendanaan B2B (Bussiness to Bussiness) namun kenyataannya tetap melesat menggunakan APBN. Masih dalam ranah transportasi, LRT Palembang dan LRT Kelapa Gading-Velodroem Jakarta juga menjadi perwajahan gagalnya infrastrukkur Jokowi. Hal ini karena sepi penumpang dan tekanan biaya operasional yg tidak murah. Masalah serupa ada pada Bandara Kertajati Majalengka, dengan menelan anggaran 4,9 Trilliun namun sepi penumpang dan nyaris menjadi museum.
Infrastruktur lain yang dibanggakan adalah jalan tol. Tercatat hingga tahun 2023, panjang jalan tol yang dibangun oleh Jokowi mencapai hampir 70% dari total semua jalan tol yang beroperasi. Tidak semua jalan tol yang dibangun berhasil memenuhi janji pembangunan. Salah satu contohnya adalah Jalan tol Semarang-Demak, pasca pembangunannya dijanjikan akan memecah kemacetan dan mengatasi banjir rob di area Sayung. Faktanya di bulan Juli 2024 banjir rob semakin sering naik dan membuat kemacetan baru.
ADVERTISEMENT
Duo proyek besar yang tercatat dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu Food Estate dan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Keduanya termasuk dalam proyek infrastruktur besar yang cacat substansi, cacat prosedur dan dipenuhi dengan ambisi politik. Tidak terlepas dari IKN, Food Estate, LRT, Bandara hingga jalan tol, proyek-proyek penuh gimmick itu turut diiringi oleh derita rakyat yang tidak terdengar. Banyak rakyat yang kehilangan lahan dan belum mendapatkan keadilan haknya. Terbukti tingkat konflik agraria pemerintahan Jokowi (2015-2023) meledak hingga hampir tiga ribu kasus, lebih tinggi dari masa pemerintahan SBY, menurut Konsorsium Reformasi Agraria (KPA).
Vedi Hadiz, Ilmuwan Sosial Indonesia membangun logika rasional akan perilaku Jokowi selama menjabat dua periode, bahwa apa yang dilakukan Jokowi melalui proyek infrastrukturnya adalah kenormalan politisi untuk balas jasa kepada oligarki yang telah membantu karier politiknya. Napak tilas perjalanan Jokowi sebagai wong cilik tanpa sumber dana dan infrastruktur politik, namun berhasil pivot dari politik daerah menuju politik nasional secara eksponensial. Kondisi itu sangat tidak mungkin tanpa dibantu oleh tangan-tangan oligarki. Dengan demikian, terjawab motif dibalik ambisi Jokowi untuk tetap berkuasa membayangi pemerintahan Indonesia ke depan. Jokowi hendak melanggengkan proyek infrastrukturnya guna menjaminkan ketersediaan makanan tuan-tuan oligarki.
ADVERTISEMENT
Titik Nol Demokrasi Indonesia
Bau busuk kekuasaan Jokowi sudah tercium dan dirasakan oleh banyak pihak. Narasi perlawanan dan gejolak aksi pun sudah banyak dilayangkan dari berbagai penjuru, mulai dari dalam pemerintahan, pergerakan LSM, hingga akademisi sekalipun. Sayangnya, perlawanan itu dapat disikapi secara mulus oleh Jokowi dan kroninya. Rakyat pun mulai jenuh dan mengamati fenomena yang ada menjadi sebuah kenormalan. Akankah episode kebobrokan demokrasi ini menjadi bom waktu yang mengantarkan Indonesia menuju titik nol demokrasi nasional?
Jawabannya adalah “iya”, kenormalan abnormal yang dibiasakan akan meledak suatu waktu dan demokrasi akan sampai pada titik terbelakang. Terlihat bahwa rusaknya demokrasi sudah ada dalam dinamika politik pemerintahan Indonesia saat ini, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya berjudul How Democracies Die memberikan empat indikator rusaknya demokrasi, yaitu:
ADVERTISEMENT
Adanya penolakan akan aturan yang berlaku dan membuat aturan yang baru. Tampak pada perubahan aturan penurunan batas usia calon pemimpin untuk melanggengkan politik dinasti.
Tidak adanya oposisi. Pemerintah saat ini membangun kemitraan dengan oposisi seluas-luasnya. Terbukti Koalisi Indonesia Maju mendominasi hingga 60,17% kursi parlemen.
Penggunaan kekuatan militer untuk menekan lawan politik. Tercium dari aktivitas militer oleh TNI dan Polri yang semakin menekan untuk keberlangsungan kebijakan-kebijakan elitis, salah satunya ada di Food Estate.
Membatasi kebebasan media. Banyak media yang diintervensi liputannya dan diintimidasi secara verbal. Disampaikan oleh WALHI Kalteng ketika menemani media Tempo meliput Proyek Strategis Nasional Food Estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah bahwa media kesulitan masuk untuk meliput karena diawasi dan banyak diintervensi oleh TNI.
ADVERTISEMENT
Kerusakan demokrasi ini sudah nyata di hadapan negeri ini. Apatisme dan normalisasi hal abnormal harus segera dituntaskan guna mengulur bom waktu dari kebobrokan demokrasi di Indonesia. Setidaknya, masih cukup usia kita untuk hidup di bawah demokrasi yang rapuh ini.
Penulis: Rifka Nafilatun Nafichah. Peneliti Junior di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK).