Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kesetaraan Gender Hanyalah Topeng Sosial di Masyarakat Kita
26 September 2024 17:31 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rifka Nafichah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tren Gender Equality
ADVERTISEMENT
“Perempuan bisa menjadi apapun yang dia mau”, pernyataan itu bukan lagi sebuah pemberontakan hari ini. Perempuan tidak lagi dibelenggu dengan batasan kebajikan (virtue). Perempuan boleh menjadi apa, berbuat apa, dimana aja dan kapan saja. Masyarakat kita sudah cukup bijak dalam membuat kesetaraan. Penulis tidak memberikan ruang lingkup masyarakat yang mana, karena beberapa masyarakat masih tertutup dengan kesetaraan gender, yang pasti “masyarakat” yang dimaksud adalah masyarakat terbuka (kebanyakan berada di area perkotaan).
ADVERTISEMENT
Trend media sosial pun mulai bergeser dengan menunjukkan peran perempuan yang berdaya. Salah satu media yang cukup ramai dan membangun trend ini adalah TikTok, digambarkan figur perempuan masculin energy yang dicita-citakan mbak-mbak di Indonesia. Perempuan yang memiliki power tidak kalah dari laki-laki, perempuan yang berani teguh dengan prinsip dan keyakinannya, serta perempuan yang berani berdiri sendiri atas dirinya sendiri dan apa yang ia perjuangkan. Trend ini cukup menggeser role model perempuan, menjadi mbak-mbak berdaya dan powerful dengan style feminim adalah cita-cita sebagian besar perempuan Indonesia.
Default Sikap Masyarakat kepada Perempuan Dominan
Pergeseran trend ini bagus, sangat menguntungkan bagi kemajuan perempuan dalam mengisi peradaban. Sayangnya, gender equality yang sudah diyakini dan dilantangkan ini belum menjadi default masyarakat kita. Masih ada sentimen bahkan pengasingan dari masyarakat terhadap sikap perempuan yang dominan. Meskipun respon kebencian itu tidak diekspresikan secara verbal, namun disalurkan melalui silent treatment atau mendiamkan kebencian. Sayangnya cara mendiamkan kebencian ini berpengaruh pada perilaku dan pola interaksi, perempuan seringkali merasa dikucilkan dan dihakimi dalam pertarungan batin.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, treatment demikian tidak hanya dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan dominan, melainkan sesama perempuan juga melakukan hal yang serupa. Women support women is not our society default, sentimen dan penolakan mendukung perempuan dominan banyak dilakukan atas dasar rasa iri. Perilaku ini bukan sebuah kesalahan karena setelan pabrik sebagai manusia. Sangat tidak masuk akal jika menyalahkan masyarakat karena sampai kapanpun tidak akan pernah ada masyarakat utopis.
Pola interaksi dalam masyarakat yang cenderung ringkih dan sensitif akan dominasi perempuan itu membuat belenggu bagi perempuan yang ingin berdaya. Banyak perempuan terbelenggu dengan dirinya sendiri karena ingin menyelamatkan hubungan sosialnya. Mereka enggan bergerak dan mengekspresikan apa yang dia mau karena rasa takut dikucilkan masyarakat akibat berlagak dominan. Belenggu yang dipasangkan pada dirinya sendiri ini turut mengikat potensi dan kebebasannya.
ADVERTISEMENT
Jika kamu adalah perempuan yang berada di posisi serupa, setidaknya kamu ingat bahwa respon dan sikap masyarakat adalah lingkup eksternal yang tidak dalam jangkauan kontrol kita. Artinya, kita tidak seharusnya berpusing ria memikirkan bagaimana masyarakat merespons tindakan kita. Kita hanya perempuan yang berusaha untuk berdaya dan membangun kekuatan untuk hidup. Asalkan keberanian kita untuk berdiri kokoh atas dasar kebaikan, kebenaran dan menghargai sesama, perempuan akan menjadi berdaya bukan menjadi dominan.