Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pinjaman Proyek Kereta Cepat: Jebakan Utang dan Ambisi Tiongkok
17 Desember 2021 15:40 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Rifki Putra Pasya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu negara strategis di Asia Tenggara. Indonesia memiliki banyak sumber daya, baik alam maupun manusia, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat. Bahkan, sejak masa penjajahan, Indonesia atau Nusantara sudah dikenal oleh Bangsa Barat akan kekayaan rempah-rempah, sehingga mereka berlomba-lomba untuk menguasai wilayah Nusantara. Berlimpahnya sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi negara. Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah meminta bantuan negara lain dalam mengelola sumber daya alam dan manusia yang dimiliki oleh Indonesia. proyek kereta Cepat Jakarta—Bandung
merupakan salah satu contoh empirik pengelolaan sumber daya Indonesia yang dibantu oleh Tiongkok. Pemberian pinjaman dana dari Tiongkok merupakan salah satu bantuan utama untuk mengelola proyek perdana di Indonesia ini. Selain itu, Indonesia juga menerima bantuan berupa alat-alat proyek serta tenaga kerja dari Tiongkok. Kerja sama antara Indonesia dengan Tiongkok tentu akan menimbulkan dampak bagi kedua negara. Pemberian pinjaman dana dari Tiongkok untuk proyek kereta cepat menjadi topik utama dalam artikel ini. Selain itu, penulis juga akan menganalisis BRI (Belt and Road Initiative), sebuah proyek besar Tiongkok untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra dan membentuk jalur maritim baru yang menghubungkan Tiongkok dengan benua Asia, Afrika, dan Eropa, dan hubungannya dengan proyek kereta cepat Jakarta—Bandung.
ADVERTISEMENT
Pinjaman atau utang luar negeri berkaitan erat dengan hubungan diplomatik suatu negara dengan negara lain. Apabila suatu negara menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan negara lain, pemberian pinjaman atau utang akan lebih mungkin terwujud. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, hubungan diplomatik Indonesia dengan Tiongkok sangat erat jika dibandingkan dengan negara adidaya lainnya, yaitu Amerika Serikat. Hal tersebut dapat dilihat ketika Jokowi mengunjungi Beijing setelah dilantik menjadi Presiden RI. Kunjungan Jokowi ke Tiongkok dalam rangka mengikuti KTT APEC Tahun 2014.
Contoh lainnya adalah kerja sama Indonesia dengan Tiongkok dalam pembangunan proyek pertama di Indonesia, yaitu kereta cepat Jakarta—Bandung. Terbentuknya hubungan diplomatik yang kuat antara Indonesia dengan Tiongkok membuat kerja sama antarnegara dapat terjalin dengan baik. Kerja sama yang kuat mendorong kelancaran proyek-proyek bersama, di mana otomatis pemberian pinjaman untuk pendanaan proyek dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu contoh implementasi kerja sama antara Indonesia dengan Tiongkok sebagai dampak kuatnya hubungan bilateral kedua negara adalah proyek kereta cepat Jakarta—Bandung. Sebelum memahami hubungan proyek ini dengan utang luar negeri serta BRI (Belt and Road Initiative), perlu dipahami terlebih dahulu kronologi proyek kereta cepat. Pada awalnya, perusahaan Jepang, yaitu Japan International Cooperation Agency (JICA), telah memberikan dana untuk studi kelayakan proyek kereta cepat sebanyak 3,5 juta dolar AS. Selain itu, Jepang juga mengajukan nilai investasi proyek sebesar 6,2 miliar dolar AS, dengan rincian yaitu 75 persen dari nilai investasi merupakan pinjaman dari Jepang dengan jangka waktu empat puluh tahun dan bunga 0,1 persen per tahun. Akan tetapi, Tiongkok juga melakukan studi kelayakan proyek kereta cepat Jakarta—Bandung setelah Mantan Menteri BUMN, Rini Soemarno, dan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi Tiongkok, Xu Shaoshi, menandatangani nota kesepahaman (MoU).
ADVERTISEMENT
Tiongkok pun mengajukan nilai investasi yang lebih murah jika dibandingkan dengan pengajuan Jepang. Nilai yang diajukan sebesar 5,5 miliar dolar AS, dengan rincian yaitu 60 persen dari nilai investasi didanai oleh perusahaan negara serta 40 persen dari nilai investasi didanai oleh pinjaman Tiongkok dengan jangka waktu 50 tahun dan bunga 2 persen per tahun. Tidak sampai di situ, Tiongkok juga memberikan jaminan proyek kereta cepat ini tidak akan menggunakan APBN. Akhirnya, Tiongkok terpilih untuk membantu proyek dan pendanaan kereta cepat Jakarta—Bandung.
Proyek yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) ini menimbulkan beberapa kontroversi. Pemilihan Tiongkok sebagai kontraktor dan kreditur dianggap ‘melukai hati’ Jepang yang telah terlebih dahulu mendanai dan melakukan studi kelayakan proyek kereta cepat. Padahal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Jepang telah menjalankan studi kelayakan terlebih dahulu pada tahun 2014. Tahun 2015, Jepang dan Tiongkok sama-sama mengajukan proposal proyek kereta cepat ke pemerintah dengan rincian seperti yang telah dijelaskan. Beberapa perbedaan antara proposal Jepang dengan Tiongkok adalah total investasi, tenor dan persentase bunga per tahun, persyaratan jaminan, serta penggunaan APBN. Total investasi berdasarkan pengajuan Jepang adalah sebesar 6,2 miliar dolar AS, sedangkan Tiongkok mengajukan nilai total sebanyak 5,5 miliar dolar AS.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, bunga pinjaman Jepang dipatok sebesar 0,1 persen per tahun dengan tenor 40 tahun, sedangkan Tiongkok mematok bunga sebesar 2 persen per tahun dengan tenor 50 tahun. Jika dilihat dari tenor yang diajukan oleh kedua negara, Tiongkok mengajukan tenor lebih panjang 10 tahun daripada pengajuan Jepang. persyaratan jaminan dan penggunaan APBN menjadi salah satu faktor pemerintah dalam menentukan kontraktor dan kreditur proyek ini. Jepang mewajibkan penyertaan jaminan pemerintah dan penggunaan APBN untuk proyek kereta cepat Jakarta—Bandung. Di lain sisi, Tiongkok memberikan kemudahan yang tidak diberikan oleh Jepang, yaitu jaminan pemerintah dan APBN tidak diperlukan untuk proyek kereta cepat. Kemudahan yang ditawarkan oleh Tiongkok pun berhasil membuat pemerintah memberikan kepercayaan kepada mereka untuk membantu megaproyek ini. Namun, bukan berarti tidak ada masalah apabila memilih Tiongkok sebagai kontraktor dan kreditur.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 menghantam seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali aspek ekonomi. Sebagai efek kejut pada masa awal pandemi, masyarakat diwajibkan untuk mengurangi mobilitas dengan beraktivitas, seperti bekerja dan belajar, di rumah saja. Pembatasan tersebut tentu berdampak kepada perusahaan-perusahaan karena mereka harus melakukan aktivitas secara daring. Selain itu, perusahaan juga harus mem-PHK beberapa karyawannya untuk menekan cost overrun. Pembatasan aktivitas serta PHK karyawan merupakan pilihan sulit yang harus diambil oleh perusahaan agar tetap berjalan secara optimal di masa pandemi. Sebagai sebuah perusahaan konstruksi, PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) tentu mengalami kesulitan di masa pandemi. Pembatasan aktivitas serta PHK karyawan akan memengaruhi progress pembangunan dan biaya megaproyek ini.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, proyek kereta cepat di masa pandemi akan memengaruhi progress pembangunan serta biaya yang digunakan. Namun, permasalahan biaya kereta cepat, yaitu pembengkakan anggaran proyek, menjadi salah satu topik yang menuai kontroversi. Proyek kereta cepat Jakarta—Bandung yang menelan dana sebesar 6,07 miliar dolar AS mengalami kenaikan menjadi 8 miliar dolar AS. Kenaikan anggaran tersebut jelas melebihi proposal yang diajukan oleh Jepang, yaitu sebesar 6,2 miliar dolar AS. Terdapat beberapa alasan mengapa biaya proyek kereta cepat membengkak, yaitu meningkatnya cost overrun, belum disetorkannya modal awal dari perusahaan Indonesia, hingga pembebasan lahan. Untuk mempercepat pembangunan proyek yang telah berjalan selama 6 tahun ini, Presiden Jokowi meneken Perpres No. 93 Tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Inti dari Perpres tersebut adalah APBN dapat digunakan untuk mendanai proyek kereta cepat. Padahal, Tiongkok menjamin proyek ini tidak akan menggunakan APBN. Penggunaan APBN untuk percepatan proyek kereta cepat pun menuai kritik. Wakil Ketua DPR, Rahmat Gobel, mempertanyakan studi kelayakan yang dilakukan oleh Tiongkok yang membuat anggaran kereta cepat saat ini membengkak. Menurutnya, APBN sebaiknya digunakan untuk pembangunan infrastruktur lain, seperti Ibu Kota Negara. Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memperkirakan defisit APBN 2021 sebesar 5,1—5,4 persen dari PDB dan per Oktober 2021, defisit APBN menyentuh angka 548,9 triliun rupiah.
Masalah pembengkakan anggaran proyek dapat memengaruhi kemampuan membayar pinjaman dari Tiongkok. Apabila APBN dan sumber pendanaan lainnya tidak dapat menutupi pembengkakan anggaran dan membayar pinjaman dari Tiongkok, kepemilikan kereta cepat berpotensi sepenuhnya dimiliki oleh Tiongkok. Hal tersebut mungkin merupakan suatu ramalan belaka, tetapi terdapat suatu contoh proyek yang diakuisisi oleh Tiongkok akibat gagal membayar pinjaman. Proyek tersebut adalah pelabuhan di Hambantota, Sri Lanka. Proyek tersebut berkaitan erat dengan BRI, di mana Tiongkok berhasil ‘mengamankan’ pelabuhan yang termasuk dalam jalur maritim baru, sehingga Tiongkok dapat memperkuat perdagangan dan pertahanannya di Asia Selatan hingga Afrika Timur.
ADVERTISEMENT
Proyek pelabuhan ini pada mulanya menerima pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar AS. Namun, Sri Lanka tidak mampu membayar pinjaman yang diberikan oleh Tiongkok, sehingga Sri Lanka terpaksa ‘memberikan’ pelabuhan tersebut kepada Tiongkok selama 99 tahun. Mantan Presiden Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa, yang dikenal berhubungan baik dengan Tiongkok selama masa pemerintahannya membuat pelabuhan di Hambantota berhasil dibangun berkat bantuan pinjaman dari Tiongkok. Namun, karena tidak mampu membayar utang yang berujung kepada akuisisi, Sri Lanka tidak memiliki kontrol penuh atas pelabuhannya sendiri. Istilah debt trap menjadi relevan jika dikaitkan dengan kasus pelabuhan Sri Lanka.
Proyek BRI Tiongkok sering dikaitkan dengan debt trap karena Tiongkok memberikan pinjaman kepada negara-negara miskin atau berkembang yang mengalami instabilitas politik atau demokrasinya rapuh, sehingga negara-negara tersebut berpotensi tidak mampu untuk membayar pinjaman atau utang yang diberikan. Ketidakmampuan negara untuk mengembalikan pinjaman dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk mengakuisisi proyek-proyek yang didanai oleh pinjaman Tiongkok. Meskipun tawaran pinjaman yang diberikan oleh Tiongkok terlihat lebih mudah dan menguntungkan bagi negara-negara debitur jika dibandingkan dengan pinjaman negara Barat, negara-negara debitur masih kesulitan untuk membayar kembali pinjaman atau utang.
ADVERTISEMENT
Utang atau pinjaman luar negeri merupakan komponen yang masih dibutuhkan oleh negara, terutama negara miskin dan berkembang, untuk memulihkan perekonomian atau membangun proyek nasional. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, memiliki banyak utang luar negeri yang salah satu fungsinya untuk mendanai Proyek Strategis Nasional, seperti kereta cepat Jakarta—Bandung. Proyek yang menerima pinjaman dari Tiongkok ini mengalami beberapa permasalahan, salah satunya adalah pembengkakan anggaran. Untuk menutupi bengkaknya anggaran kereta cepat serta mengejar target peresmian, Jokowi meneken Perpres yang menyatakan bahwa APBN dapat digunakan untuk proyek kereta cepat.
Penggunaan APBN bertolak belakang dengan jaminan Tiongkok, yaitu tidak adanya penggunaan APBN dalam proyek kereta cepat. Sementara itu, APBN 2021 diperkirakan mengalami defisit sekitar lima persen. Pandemi yang masih melanda memengaruhi defisit APBN yang terjadi di tahun 2021. Penggunaan APBN yang defisit untuk mendanai proyek kereta cepat akan berdampak kepada APBN tahun selanjutnya serta pinjaman-pinjaman yang Indonesia miliki.
ADVERTISEMENT
Pinjaman yang Tiongkok berikan kepada Indonesia berkaitan dengan proyek BRI, di mana terdapat indikasi debt trap yang menyasar negara-negara miskin atau berkembang. Persyaratan yang lebih mudah dan menguntungkan menjadi ‘pemikat’ untuk mengambil pinjaman dari Tiongkok. Sri Lanka menjadi salah satu contoh negara yang ‘terjebak’ dalam pinjaman atau utang Tiongkok. Hal yang dapat dipelajari dari Sri Lanka agar Indonesia tidak bernasib sama adalah melaksanakan studi dan audit yang lebih matang berkaitan dengan kemampuan membayar pinjaman atau utang luar negeri. Selain itu, penegakan regulasi juga menjadi salah satu kunci agar Indonesia tidak terjerat dalam debt trap.