Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Formasi Aliansi dan Perimbangan Kekuatan dunia
28 Januari 2024 11:32 WIB
Tulisan dari Syahri Ridani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam dinamika hubungan internasional, negara melakukan aliansi guna untuk tetap mempertahankan eksistensi nya sebagai negara dalam merespon ancaman dari negara lain. Waltz (1985) membagi nya dengan dua jenis formasi aliansi dalam merespon sebuah ancaman sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
1. Balance
Negara berencana untuk gabung dalam aliansi adalah untuk menghindari dominasi kekuatan besar dalam intisari teori tradisional balance of power , hipotesisnya adalah negara gabung dalam aliansi karena ingin melindungi dirinya dari negara menjadi sumber utama yang dapat menimbulkan ancaman. Singkatnya, balance ini adalah sikap negara yang bertentangan dengan sumber bahaya utama. Ada dua alasan mengapa negara mengambil sikap ini. Pertama, negara-negara mempertaruhkan kelangsungan hidup mereka jika mereka gagal menghalau potensi hegemon sebelum kekuatannya semakin kuat. Hal ini selaras dengan penjelasan oleh Winston Churchill seorang ahli negara, penulis dan juga pernah menjadi perdana Menteri Inggris bahwa selama 4 abad kebijakan luar negeri Inggris telah menentang kekuatan yang terkuat, agresif dan mendominasi di daratan Eropa. Untuk bergabung dengannya itu hal yang mudah namun Inggris selalu mengambil jalan yang lebih sulit dengan bergabung Bersama kekuatan yang kurang kuat. Kedua, bergabungnya negara dalam kekuatan yang lebih lemah akan meningkatkan pengaruh disebabkan oleh kekuatan yang lebih lemah tadi memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk bantuan. Kenneth Watlz dalam bukunya theory international politics menjelaskan bahwa jika negara-negara bisa memilih mereka akan berondong-bondong ke pihak yang lemah karena pihak yang kuatlah mengancam mereka dan di pandangan lain mereka lebih dihargai dan lebih aman asalkan koalisi yang mereka ikuti memiliki kekuatan pertahanan atau pencegahan yang cukup untuk mencegah musuh melakukan serangan.
ADVERTISEMENT
2. Bandwagon
Realitas negara tidak selamanya ingin bergabung dengan pihak yang lemah dengan alasan tertentu oleh karena itu muncullah negara yang bergabung dengan negara yang menimbulkan ancaman besar. Logika hipotesis yang dibangun dapat dilihat dengan dua hal. Pertama, bandwagoning ini dinilai sebagai bentuk peredaan ancaman dengan bersekutu Bersama negara atau koalisi yang mengancam. Negara yang melakukan hal seperti ini berharap untuk menghindari serangan terhadap dirinya dengan mengalihkannya ke isu lain. Kedua, suatu negara dapat bersekutu dengan pihak dominan dalam perang untuk berbagi hasil kemenangan. Sebagai contoh deklarasi perang Mussolini Prancis dan Rusia masuk kepada perang melawan Jepang tahun 1945 begitupun yang dilakukan oleh Italia dan Romania di perang dunia I.
ADVERTISEMENT
Dari dua hal diatas muncul pertanyaan kemudian mengapa formasi balance lebih umum dibandingkan dengan bandwagon ? hal ini dapat dijelaskan oleh teori balance of power dari Rank bahwa secara persuasif dan masif negara lebih banyak menghadapi ancaman eskternal, lebih melawan dengan perimbangan ancaman daripada aliansi dengan yang kuat. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh niat bisa saja berubah dan persepsi tidak dapat dipercaya. Hal ini lebih aman daripada menaruh harapan kepada negara yang kuat yang belum tentu akan tetap baik hati. Dapat dilihat kecenderungan besar bagi negara -negara yang melakukan balance daripada bandwagon mengalahkan aspirasi hegemonik Spanyol dibawah pemerintahan Philip II, Prancis dibawah pemerintahan Louis XIV 8 Napoleon serta Jerman dibawah pemerintahan Nazi. Ketika hipotesis bandwagon memprediksi bahwa hegemoni-hegemoni ini seharusnya mencari lebih banyak dukungan ketika mereka berkembang, namun yang terjadi justru sebaliknya. Semakin jelas suatu negara berusaha mendominasi negara lain, semakin andal negara lain untuk melawan ancaman tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian daripada itu, untuk membentuk formasi aliansi yang efektif juga dijelaskan oleh Waltz (1985) bahwa ada dua hipotesis yang dibangun sebagai berikut :
1. International Bribery: bantuan luar negeri dan formasi aliansi
Tujuan dari pemberian bantuan ekonomi atau militer ini akan menciptakan aliansi yang efektif baik itu menunjukkan niat baik untuk pamrih ataupun nantinya penerima akan bergantung pada pendonor. Sederhananya semakin banyak bantuan luar negeri yang diterima semakin erat aliansi yang dihasilkan. Contoh nya wakil Menteri pertahanan Amerika serikat Fred C. Ikle telah memperingatkan bantuan senjata dari uni soviet ke kuba dan nikaragua akan mengancam mengubah Amerika Tengah menjadi Eropa Timur lainnya sama seperti pejabat lainnya memandang bahwa ini adalah alat pengaruh yang dapat diandalkan oleh Soviet pada saat itu.
ADVERTISEMENT
2. Penetration
Termonologi dari penetrasi disini yang dijelaskan oleh Waltz adalah sebagai manipulasi terselubung atau tidak langsung terhadap sistem politik suatu negara oleh negara lain. Bentuknya dari penetrasi ini ada beberapa macam. Pertama, pejabat publik yang loyalitasnya terpecah dapat menggunakan posisi mereka untuk mendekatkan negara bagian satu ke negara bagian lainnya. Kedua, lobi dapat digunakan untuk mengubah keputusan kebijakan dan persepsi publik mengenai sekutu potensial. Ketiga, atau propaganda asing dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap elit dan massa.
Penetration akan menjadi lebih efektif ketika otoritas pusat negara lemah, contoh kasus ketika kehadiran pakta warsawa di Yaman selatan memungkinkan Soviet melindungi aliansi tersebut dengan memastikan pro Soviet tetap berkuasa.
Sebagai komparasi, formasi aliansi diatas yang dijelaskan Waltz ketika tahun dimana memasuki perang dingin. Oleh karena itu di abad ke-20 ini ada beberapa hipotesis yang ditulis beberapa ahli mengenai aliansi dan perimbangan kekuatan dunia saat ini. Salah satunya ialah Fordham & Poast (2016) dalam bukunya yang berjudul “All Aliances are Multilateral : Rethinking Alliances Formation’’. Selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Waltz (1985) bahwa formasi aliansi ini merupakan hal penting dalam hubungan internasional dengan melihat fakta bahwa adanya negara-negara beraliansi untuk merespon ancaman dari luar negara sehingga tercipta balance of power sampai munculnya balance of threat namun Fordham & Poast (2016) menekankan bahwa aliansi ini seharusnya sebagai kerjasama multilateral dan di klaim sebagai balance of power secara implisit kemudian menjadi inti dasar dari teori Waltz mengenai balance of threat. Menurutnya, para sarjanawan seharusnya mengkonseptualisasikan ulang semua aliansi baik bilateral atau multilateral asalnya adalah proses multilateral.
ADVERTISEMENT
Pada prinsipnya, aliansi bisa memiliki dua atau lebih anggota kemudian para pemimpin multi-negara harus memberikan perhatian kepada aliansi secara komprehensif. Konseptualisasi pembentukan aliansi secara multilateral memperjelas bahwa prinsip ukuran memberikan penjelasan yang kuat atas tidak adanya koalisi besar dalam politik dunia. Fordham & Poast (2016) secara empiris menemukan hubungan berbentuk U terbalik antara total sekelompok kekuatan negara dan kemungkinan kelompok negara itu membentuk sebuah aliansi. Kemungkinan terbentuknya aliansi paling besar ketika kemampuan dari gabungan aliansi tersebut lebih besar daripada kekuatan besar manapun namun tidak cukup untuk mendominasi sistem. Namun, jika terdapat kelompok negara total kekuatannya lebih lemah atau pun lebih kuat kecil kemungkinan mereka akan membentuk sebuah aliansi.
Prinsipnya, ukuran menunjukkan bahwa kekuatan agregat dari suatu calon akan mempengaruhi pakta bagi masing-masing anggotanya dan dengan demikian anggotanya akan menyetujuinya. Meskipun logika kekuasaan logika dibalik prinsip ukuran mungkin kurang intuitif dibandingkan dengan kebutuhan untuk mengelola heterogenitas kepentingan dalam aliansi besar. Kapabilitas militer tidak berfungsi sebagai perantara untuk transaksi biaya-biaya, jarak geografis, keberagaman politik, atau perbedaan kebijakan luar negeri yang terkait dengan aliansi besar. Jumlah negara dalam aliansi prospektif termasuk konfigurasi geografisnya dan kesamaan kebijakan luar negerinya, hal itu dapat mempengaruhi pembentukan aliansi, namun tidak ada yang lebih subtansial daripada kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, formasi aliansi ini seiring dinamika hubungan internasional mengalami perubahan-perubahan formasi yang dahulunya seperti yang dijelaskan oleh Waltz(1985) yang terfokus pada satu isu namun saat ini lebih condong banyak isu. Semakin banyak isu, semakin beragam potensi ancaman sehingga formasi aliansi ini tidak hanya merujuk bilateral semata tetapi perlu banyak tangan dalam menghadapi potensi ancaman yang beragam tersebut.
Hipotesis selanjutnya adalah bahwa ketika sekelompok negara yang memiliki rezim yang sama maka negara-negara tersebut kemungkinan besar akan membentuk sebuah aliansi. Secara teori, demokrasi seharusnya bisa membentuk sebuah aliansi yang lebih baik karena mereka dapat menghasilkan biaya partisipasi politik yang lebih tinggi yang kemudian bisa lebih memiliki komitmen yang berkredibilitas. Pemimpin yang demokratis bisa kehilangan kepercayaan publik ketika dia telah mengingkari komitmennya. Dengan demikian mereka adalah mitra aliansi yang menarik. Sementara, pemerintahan otokratis tidak menghadapi hal yang seperti itu, sehingga komitmen mereka kurang dapat diandalkan namun bukan berarti bahwa pemerintahan seperti ini tidak dapat membentuk aliansi. Sederhananya saja negara demokrasi harus lebih bisa membentuk aliansi daripada otokrasi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, argumentasi mengenai proporsi negara yang berbagi perbatasan yang berhubungan positif kemungkinan besar membentuk sebuah aliansi. Kondisi geoografis menawarkan penjelasan dengan sederhana. Ketika organisasi Perjanjian Asia Tenggara (SEATO) dibentuk pada tahun 1954, anggota non-atlantiknya adalah Australia, Selandia baru, Filipina, Thailand dan Pakistan. Tak satupun dari bagian negara ini yang bersebelahan. Sebaliknya, dari sepuluh negara Eropa yang membentuk NATO tahun 1949, Sembilan negara yang bersebelahan dan satu anggota nya jauh dari kawasan ini. Sekutu Amerika Serikat di Eropa secara geografis lebih cocok untuk membentuk aliansi multilateral dibandingkan dengan sekutu Amerika Serikat yang tersebar luas di Asia.
Dalam memahami beberapa bacaan diatas, penulis berasumsi bahwa formasi aliansi dewasa ini bukanlah sebuah respon dari ancaman melainkan sesuatu yang natural dari sifat negara dalam melihat sistem internasional yang mengharuskan negara membentuk aliansi untuk menggapai sebuah tujuan yang sama dari sekelompok negara-negara yang berada dalam satu aliansi. Logika sederhananya, ketika satu negara memiliki kekurangan namun di negara yang lainnya memiliki kelebihan yang ditawarkan, maka negara akan berupaya untuk membentuk sebuah aliansi dengan negara lain yang memiliki kelebihan guna untuk mencapai kepentingan Bersama. Jadi tendensi nya, aliansi ini merupakan wujud dari kerjasama internasional yang dimana memiliki kesamaan tujuan dan prinsip yang sama. Tidak ada satu negara pun di dunia ini tidak memiliki aliansi dengan negara lain bahkan Korea Utara saja diketahui sangat proteksionis terhadap masyarakatnya dan dengan negara lain namun tetap saja mereka memiliki aliansi dengan negara yang ideologinya sama dengan mereka dikatakan sebagai negara komunis seperti China dan juga Rusia . Walaupun Aliansi ini merupakan aliansi keamanan namun penulis menilai masih dengan sifat natural negara yang ingin membutuhkan uluran tangan dari negara lain.
ADVERTISEMENT
Kemudian, penulis mengamati aliansi yang dibawa oleh Waltz mengatakan bahwa tujuannya untuk perimbangan kekuatan atau balance of power namun penulis beranggapan aliansi itu tidak untuk melakukan perimbangan kekuatan, ketika ada negara lain yang melakukan penambahan kekuatan baik militer maupun ekonomi, seharusnya dinilai bukan sebuah ancaman yang menimbulkan persepsi dengan negara lain akan terancam. Bisa saja Amerika Serikat tidak ingin membentuk aliansi jika tujuannya memang hanya untuk perimbangan kekuatan. Mereka bisa saja melakukan perimbangan kekuatan nya sendiri (mengancam negara lain) tanpa membentuk sebuah aliansi karena sejak zaman perang sampai di abad ke-20 ini Amerika Serikat tetap saja menjadi kekuatan utama yang mendominasi dunia baik militer ataupun bidang ekonomi . Oleh karena itu, tujuan aliansi menurut penulis adalah bukan perimbangan kekuatan namun tendensi untuk mencapai kepentingan Bersama dalam suatu aliansi. Kepentingan disini bisa apa saja yang sesuai dengan keunikan negara dalam sebuah aliansi dan prinsip yang dibangun sejak awal pembentukan aliansi tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, formasi aliansi bisa ditemukan dalam beberapa bentuk bukan hanya balance atau bandwagoning melainkan formasi aliansi ini tendensi nya dewasa ini adalah Kerjasama multilateral yang mewujudkan adanya aliansi tidak hanya untuk isu keamanan saja namun ada isu yang lebih penting daripada keamanan yang dibawa Waltz yaitu isu ekonomi, pertukaran sosial dan budaya, serta teknologi. Hal ini bisa dilihat secara terang bahwa ASEAN merupakan wujud aliansi Kerjasama internasional bukan hanya membawa isu keamanan regional semata namun ada beberapa tujuan yang menjadi visi ASEAN kedepan yaitu: Pertama, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial budaya. Kedua, memelihara perdamaian dan stabilitas Kawasan. Ketiga, serta saling memberikan bantuan dalam bidang fasilitas latihan dan penelitian pada bidang Pendidikan, kejuruan ,Teknik dan administrasi .
ADVERTISEMENT
Penulis yakin bahwa dunia dewasa ini dalam membentuk aliansi tidak lagi melihat aliansi lain sebagai ancaman namun dilihat sebagai Kerjasama internasional yang secara fundamental merupakan keharusan negara dalam melihat dinamika hubungan internasional sehingga ketika suatu negara memiliki kesamaan visi dan tujuan akan menciptakan sebuah aliansi yang menjadi rezim internasional dikala mereka telah menyetujui hak dan kewajiban dalam sebuah aliansi tersebut.
Akhirnya, kesimpulan dari bahan bacaan utama mengenai formasi aliansi dan perimbangan kekuatan dunia dari buku Waltz (1985) adalah bahwa formasi aliansi ini ada dua bentuk saat itu ialah balance dan bandawagon. Balance adalah sikap negara yang bertentangan dengan negara kekuatan negara dominan guna untuk mengimbangi hal tersebut. Asumsi dari balance ini adalah negara-negara akan mempertaruhkan kelangsungan hidup mereka ketika mereka gagal menghalau potensi ancaman kekuatan utama dunia. Sedangkan bandwagon adalah sikap negara sebagai bentuk peredaan ancaman dengan bersekutu Bersama koalisi yang mengancam. Sederhananya , negara yang menjadi bandwagon ini adalah hanya ikut-ikutan semata dalam aliansi guna untuk mengalihkan isu keamanan tadi ke isu yang lain. Kemudian Waltz(1985) juga memberikan dua hipotesis untuk mencapai formasi alians yang efektif. Pertama, international bribery atau biasa juga dikaitkan dengan bantuan luar negeri yang dapat membantu formasi aliansi kemudian juga ada penetration atau manipulasi politik untuk mendapatkan perhatian dari negara sekutu.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Waltz, Stephen, “Alliance Formation and the Balance of World Power”.International Security 9. No.4 ( Musim Semi 1985 ):3-43
Fordham, Benjamin & Poast Paul, “ All Alliances Are Multilateral : Rethinking Alliances Formation”, The Journal of Conflict Resolution, Vol. 60, No.5 ( August 2016 ):840-865
38 North.org, (02 March 2022), North Korea is Joining China and Russia in Confronting the US, Accessed 11 September 2023, From https://www.38north.org/2022/03/north-korea-is-joining-china-and-russia-in-confronting-the-us/
World101.cfr.org, (14 February 2023), How Did the United States Become a Global power?, Accessed 11 September 2023, From https://world101.cfr.org/contemporary-history/world-war/how-did-united-states-become-global-power
Setnasasean.id, (12 oktober 2020), Tujuan dan Latar Belakang dibentuknya ASEAN, diakses 11 September 2023, dari https://setnasasean.id/news/read/catat-ini-tujuan-dan-latar-belakang-dibentuknya-asean-jangan-sampai-salah
Daftar Gambar
https://www.kompasiana.com/fernandadewa/656c49d3c57afb1058067445/serangan-siber-cina-terhadap-amerika-serikat-dalam-membentuk-perimbangan-kekuatan-baru