Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Media Digital dan Demokrasi Dewasa Ini
6 Oktober 2023 20:29 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Syahri Ridani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi pada awal persebarannya adalah dengan konsep sederhana mengenai pemerintahan rakyat. Rakyat sebagai elemen penting dalam konsep ini. Namun seiring berjalannya waktu, demokrasi ini berkembang dalam praksisnya. Salah satu faktor yang mendorong demokrasi adalah munculnya globalisasi. Globalisasi memanjakan setiap kehidupan manusia termasuk sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Didukung oleh perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi, demokrasi sangat berkembang. Dengan munculnya media digital ini sangat membantu efektivitas demokrasi. Dalam pembahasan lebih lanjut, penulis menganalisis tulisan dari Andreas & Gonzelo (2020) mengenai bagaimana media digital membentuk demokrasi.
Andreas & Gonzelo (2020) mengasumsikan bahwa Narasi utama publik membingkai media sosial sebagai dasar untuk alat komunikasi politik di dalam praksisnya. Pandangan bahwa mewujudkan tentang bagaimana media digital berdampak pada politik telah berjalan secara paralel sejak 1990-an, di mana ada pihak yang mengatakan bahwa kehadiran internet sebagai alat pemberdayaan masyarakat dan teknologi komunikasi memungkinkan musyawarah dan partisipasi pada skala yang melampaui batas-batas.
Dalam perkembangannya demokrasi dinilai sebagai delegasi/perwakilan karena ruwetnya sistem institusi yang pada dasarnya warga negara hanya memilih politikus dan politikus itu membuat dan mengimplementasikan legislasi dan kebijakan. Oleh karena itu, warga negara dalam memberikan partisipasinya sudah melakukan kewajibannya dan pertanyaan muncul kemudian, bagaimana kah seorang politikus mampu melaksanakan Amanah politis yang sejalan dengan kemauan warga negara?
ADVERTISEMENT
Ada dua acara pemilu menggapai nya, pertama, pemilih dapat meminta pertanggungjawaban dari politisi yang mereka pilih agar ada efek di mana politisi akan melakukan hal yang maksimal. Kedua, pemilih dapat memilih kandidat yang paling mencerminkan preferensi politik mereka.
Akuntabilitas dari masing-masing kandidat adalah hal yang ingin diketahui oleh warga negara di mana nantinya warga negara dapat memilih kandidat yang baik menurut versi mereka masing-masing atau bahkan bisa mengkudeta politikus jika memang dianggap tidak sejalan lagi dengan aspirasi pemilih. Dari dua control pemilih ini, untuk menjaga akuntabilitas, pemilih memerlukan mengetahui apa yang dilakukan oleh politisi.
Dalam kedua kasus tersebut, pemilih bergantung pada media untuk memperoleh dan memproses informasi atas nama politikus tersebut. Dari sudut pandang inilah media merupakan "the fourth state" (Mc Quail, 2010) yang merupakan kunci dalam mempertahankan demokrasi secara baik. Masyarakat yang berpengetahuan adalah masyarakat yang mampu menarik diri dari hal-hal buruk terjadi dalam pemerintahannya. Inilah mengapa media dapat menjadi alat kontrol terhadap politisi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, informasi melalui media digital ini sangat membantu para pemilih dalam mengambil keputusan mereka. Pandangan ini mengatakan bahwa pemilih tidak menyerap atau mengabaikan informasi yang mereka temui, melainkan lebih mengevaluasinya tergantung pada apakah hal tersebut konsisten dengan gagasan sebelumnya atau dengan membuat penilaian berdasarkan sumber informasi tersebut. Namun Andreas & ganzelo (2020) menganggap dalam hal ini pemilih tidak menyadari bahwa mungkin media bisa saja menjadi bias, dan bahkan sumber informasi tersebut dating dari motivasi politik.
Lebih jauh, dikatakan bahwa dari buku ini ditekankan mengenai digitalisasi institusi yang tujuannya untuk memonitoring politik dan politisi. Kadang-kadang hal ini akan ditemui kedilemaan bahwa fakta kita telah menemukan transformasi lanskap penyedia informasi politik dalam hal ini media tradisional, namun pada saat yang sama lahirlah peserta baru yang memiliki keahlian dan orientasi kepentingan baru.
ADVERTISEMENT
Media berita ini sangat mempengaruhi kondisi politik suatu negara dengan memberikan model kepada publik mengenai politisi yang kadang-kadang menyukseskan kepentingan politisi untuk bersaing skala lokal maupun nasional. Oleh karena itu media berita ini sangat diperlukan walaupun dalam kondisi berbahaya mengenai akuntabilitas politisi di beberapa level institusi yang berbeda-beda.
Pada saat yang sama, alat digital ini memberdayakan pemain mengambil kesempatan melalui media konvensional baru dengan preferensi masing-masing. Dengan kepentingan yang berbeda-beda, maka di dalamnya terdapat kontroversi yang berbeda pula.
Ahli sosiologi Ralph Schroeder telah mendeskripsikan peningkatan keterkaitan antara elite politik, produser informasi dan konsumer adalah dibentuk oleh media digital melalui konsep penambatan yang di mana menekankan kesamaan visabilitas antara warga negara dan politisi. Melalui koneksi yang lebih langsung dan tanpa perantara, masing-masing pihak kemudian dapat menyesuaikan keputusannya dengan pengukuran pihak lain atau bahkan personalisasi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, politisi akan melakukan hal yang sesuai dengan preferensi publik selama ia menjabat, hal ini biasanya akan secara natural dilakukan untuk tidak keluar dari jalur yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun memang kadang-kadang media digital khususnya media sosial membuat warga negara secara individual dan secara langsung meneliti apa yang politisi katakan dan lakukan.
Media digital juga sebenarnya membentuk ulang representasi/perwakilan yang sudah ada sebelumnya. Media digital memungkinkan untuk kelompok-kelompok baru atau yang kurang terwakili akan melakukan kampanye yang masif sehingga dapat mengidentifikasi dan Menyusun daftar pendukung dengan menyebarkan berita di media massa dengan efektif dan tentunya biaya yang dikeluarkan lebih murah serta menghindari ketua partai politik yang tidak sejalan dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, demokrasi mana pun akan lebih baik jika para pemilih dilibatkan dalam proses politik dan memastikan bahwa aspirasi yang dibawa betul-betul di dengar dan Lembaga tidak dicurangi. Namun, kehadiran media online memberikan Analisis yang berbeda yang di mana akan terjadi nya disinformasi, tetapi tujuan dari disinformasi ini bukanlah untuk membujuk dengan apa yang mereka pilih, melainkan untuk menimbulkan keraguan terhadap kelangsungan wacana publik dan Lembaga.
Platform digital ini juga memberikan kemudahan dalam memberikan suara secara virtual ketika memang pemilih tidak berada dalam negara nya. Oleh karena itu banyak politisi menggunakan media digital sebagai alat kampanye yang efektif selain itu pemilih juga dapat dengan mudah memberikan kewajibannya sebagai warga negara. Serta media digital juga menyediakan platform survei politik yang sangat cepat ketika menjelang pemilihan umum , hal ini sangat bisa mempengaruhi keputusan pemilih ketika melihat survei tersebut.
ADVERTISEMENT
Deepening Democracy
Melanjutkan dari pembahasan mengenai demokrasi sebelumnya, media digital juga dapat menjadi instrumen atau alat untuk memperluas peranan masyarakat umum dalam berdemokrasi, khususnya dalam pemilihan umum. Keberadaan media digital memiliki peranan penting dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi, berpendapat, dan berelaborasi dalam kegiatan demokrasi.
Namun perkembangan teknologi tidak serta bertujuan untuk menggantikan sistem pemilihan umum secara luring yang sudah sering digunakan sebelumnya. Melainkan, penggunaan teknologi digital dalam demokrasi lebih bertujuan untuk memanfaatkan keuntungan dan kemudahan yang ditawarkan oleh keberadaan teknologi.
The Deliberative Turn
Untuk memilih pemimpin dalam demokrasi tradisional, masyarakat menyalurkan suaranya sebagai hak pilih untuk memilih representasi mereka di pemerintahan, atau di Indonesia disebut juga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Nah, hal ini disebut juga Representative Democracy, atau demokrasi representatif. Tulisan ini kemudian menjelaskan bahwa ada cara alternatif untuk melaksanakan demokrasi selain dengan Representative Democracy, yaitu Deliberative Democracy atau pelaksanaan demokrasi dengan berdeliberasi/berdiskusi.
ADVERTISEMENT
Jika pada Representative Democracy masyarakat harus menggunakan suaranya untuk memilih representasi mereka di pemerintahan, maka Deliberative Democracy berusaha untuk mengumpulkan masyarakat untuk saling melempar opini satu sama lain mengenai sebuah isu dan kemudian menemukan solusi yang disepakati oleh kumpulan masyarakat tadi.
Deliberasi antar masyarakat diharapkan mampu menghasilkan solusi yang lebih optimal karena dengan ber deliberasi, kumpulan masyarakat bisa memanggil tokoh yang ahli dalam permasalahan yang dihadapi dan kemudian tokoh ini mampu membantu masyarakat untuk menghasilkan sebuah solusi yang tepat bagi permasalahan tersebut.
Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, deliberasi antar masyarakat tidak perlu lagi harus diadakan secara luring, namun bisa juga diadakan secara daring atau online. Apalagi, contoh nyatanya, ketika pandemi COVID-19 merebak ke berbagai belahan dunia pada tahun 2020 hingga akhir tahun 2021, komunikasi lewat media daring seperti Microsoft Teams, Zoom, Google Meet, dan lain lainnya membuat masyarakat secara umum sekarang sudah terbiasa menggunakan teknologi sebagai media komunikasi.
ADVERTISEMENT
Kemudian pertanyaannya adalah apakah deliberasi secara daring akan lebih optimal dibandingkan dengan deliberasi secara luring? Tentu saja deliberasi secara luring akan lebih mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat yang ingin ikut berdiskusi mengenai suatu isu tertentu di masyarakat. Apakah dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan kemudian deliberasi secara daring menjadi solusi untuk menggantikan Representative Democracy atau deliberasi secara luring? Tentu saja tidak. Meskipun tulisan ini menawarkan deliberasi sebagai alternatif dari Representative Democracy, tulisan ini juga menegaskan bahwa deliberasi hanya cocok digunakan dalam scope masyarakat kecil, tidak untuk sistem demokrasi modern yang luas dan kompleks.
Mengapa? Karena terdapat beberapa kekurangan dalam kegiatan ber deliberasi, apalagi deliberasi dengan menggunakan teknologi dan diadakan secara daring. Permasalahan yang pertama muncul ketika masyarakat yang sebenarnya tidak setuju dengan solusi yang dihasilkan memilih untuk setuju karena mayoritas masyarakat setuju akan solusi tersebut. Kemudian seringkali, masyarakat yang kontra akan solusi yang dihasilkan ketika deliberasi cenderung dibenci dan tidak disukai.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian mengakibatkan partisipan yang kontra tersebut tidak mau menghadiri jika diadakan deliberasi kembali. Permasalahan yang terakhir adalah mengenai anonimitas. Salah satu keunggulan deliberasi secara daring adalah terciptanya anonimitas antar partisipan dan hal ini bisa membuat masyarakat lebih jujur dalam mengekspresikan kritik dan permasalahannya secara umum. Namun anonimitas menjadi permasalahan ketika partisipan yang hadir menggunakannya untuk melakukan hate speech dan tindak kejahatan siber lainnya ketika berselebrasi bersama.
Digital Solutions and Non-Digital Problems
Subchapter ini mengeksplorasi hubungan kompleks antara media digital dan demokrasi kontemporer. Laporan ini mengakui adanya kekhawatiran yang meluas mengenai dampak negatif media digital terhadap politik, namun mempertanyakan apakah semua masalah yang dihadapi oleh negara-negara demokrasi modern dapat dikaitkan dengan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Bagian subchapter ini juga berpendapat bahwa meskipun disinformasi, polarisasi, pelecehan, dan radikalisasi merupakan ancaman signifikan terhadap debat publik dan partisipasi politik yang sehat, penting untuk mempertimbangkan perspektif yang lebih berbeda. Bukti empiris mengenai perilaku pemilih menunjukkan bahwa pemilih tidak sepenuhnya tidak berdaya menghadapi media digital dan bahwa platform ini mungkin tidak mengubah partisipasi politik secara mendasar seperti yang diyakini sebagian orang.
Penulis artikel ini kemudian membahas berbagai dampak tidak langsung media digital terhadap demokrasi, termasuk perubahan dalam pemrosesan informasi, pergeseran lanskap organisasi media, dan metode komunikasi baru bagi aktor politik. Meskipun sulit untuk memberikan penilaian menyeluruh, bab ini menunjukkan bahwa ancaman yang ditimbulkan oleh media digital terhadap demokrasi lebih beragam dibandingkan apa yang dikemukakan oleh mereka yang pesimistis.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga mengatasi ketegangan antara skeptisisme akademis terhadap demokrasi digital dan antusiasme praktisi terhadap potensi media digital dan sosial untuk meningkatkan demokrasi. Laporan ini menekankan bahwa meskipun alat digital dapat meningkatkan praktik demokrasi, kita harus mengevaluasi janji-janji tersebut secara kritis dan mempertimbangkan bagaimana masyarakat terlibat dalam politik.
Selain itu, diskusi ini membahas pendekatan alternatif terhadap demokrasi digital yang bertujuan untuk mengubah praktik demokrasi saat ini. Laporan ini memperingatkan bahwa pendekatan-pendekatan ini harus mengakui keterbatasan lembaga-lembaga demokrasi saat ini dan sifat pemilih yang tidak sempurna. Memindahkan metode-metode ini ke infrastruktur teknologi baru mungkin tidak menyelesaikan semua tantangan terkait perbedaan partisipasi politik.
Kesimpulannya, pendapat ini menyatakan bahwa dampak media digital terhadap politik adalah isu yang kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa baik kelompok yang optimis maupun pesimis mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap pemilih di era digital, dan diperlukan perspektif yang lebih seimbang untuk memahami pengaruh sebenarnya media digital terhadap demokrasi.
ADVERTISEMENT