Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Poscolonialisme & Postmodernisme Hubungannya dengan Feminisme
10 Juli 2024 9:36 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Syahri Ridani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam studi hubungan internasional kontemporer saat ini, jender telah menjadi sebuah kajian yang menarik perhatian para akademisi dan ahli hubungan internasional. Mobilitas kaum feminisme semakin masif di era ini. Sebagai sebuah kajian keilmuan, ada beberapa teori yang membahas jender dalam hubungan internasional, namun dalam tulisan ini akan membahas teori postcolonialisme dan postmodernisme mengenai jender.
ADVERTISEMENT
Buku yang ditulis oleh Anna M. Agathangelou dan Heather M. Turcotte dalam Laura J. Shepherd (2015) yang berjudul “Gender Matter in Global Politics”, menelaah tentang posisi postcolonialisme bahwa kontruksi arus utama hubungan internasional mengenai kekerasan global dijelaskan melalui kontruksi geografi statis yang memberi territorial yang dimana kekerasan terjadi dan siapa yang menjadi korban, pelaku dan pelindungnya. Seperti contoh, diskursus tentang hak- hak perempuan termasuk dalam hak asasi manusia yang fokus pada kekerasan terhadap perempuan di dunia kedua dan ketiga seperti d Afirka, Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Didalam diskursus ini wilayah seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa Barat adalah wilayah perlindungan dan hak. Singkatnya, lokasi geografis mengkondisikan hubungan dan akses seseorang terhadap hak dan perlindungan negara. Kemudian wilayah yang ditandai sebagai Dunia Utara dan Dunia Selatan dibangun berdasarkan sejarah perjuangan dan kontestasi serta geografi segregasi. Dengan kata lain, mobilitas tubuh (manusia dan pengetahuan) bermasalah dengan imobilitas1 geografi. Anna dan Heater (2015) berpendapat bahwa kontruksi geografi yang homogen dan statis yang memuat subjek dan objek studi diketahui bergantung pada sejarah
ADVERTISEMENT
1 Imobiltas adalah negara atau seseorang atau sesuatu yang tidak mampu untuk bergerak (Cambrigde.org)
segregasi untuk merekontruksi dunia baru. Oleh karena itu segregasi2 geopolitik adalah cara untuk memperkuat kondisi kekuasaan yang mengatur, mengendalikan dan mengeksploitasi badan-badan sebagai hal yang penting dalam reformasi praktik politik dan pembentukan pengetahuan. Subjek HI itu sendiri dinegosiasikan melalui geografi kekuasaan mereka yang terbagi dalam disiplin ilmu atas nama proyek yang memusatkan keuntungan dan ketakutan sebagai tujuan mereka.
Dalam literatur lain yang ditulis oleh Ina Kerner (2017) dengan judul “Relations of Difference: Power and Inequality in Intersectional and Postcolonial Feminist Theoris” menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga poin yang perlu digaris bawahi mengenai teori feminis poscolonial. Pertama, mereka mengakui bahwa dunia global pascakolonial yang kita kenal sebenarnya merupakan hasil proses sejarah, hal ini menandakan bahwa kolonialisme Eropa terhadap bentuk struktur politik, sosial, dan ekonomi serta cara pandang saat ini hasil dari proses sejarah tersebut. oleh karena itu, perlu untuk mempelajari reaktualisasi kolonialisme dan imperialism kontemporer. Dengan demikian, studi pascakolonial menentang segara upaya untuk melakukan de-historisasi3 dan naturalisasi. Hal ini sangat berhubungan dengan negara-negara Selatan, yaitu wilayah-wilayah dunia yang mempunyai tradisi pandang dalam pemikiran Euro- Atlantik yang perlu diperbaiki. Kedua, fokus pada keterikatan dan hubungan global, baik secara historis maupun saat ini. Dengan demikian, asumsi dan penjelasan mengenai pembangunan otonom mendapat tantangan, tidak hanya Eropa. Sehingga studi poscolonial menentang teori modernisasi yang menempatkan motor sejarah dunia secara ekslusif di Eropa, dan gagasan tentang berbagai modernitas yang diciptakannya yang pada akhirnya mengakui pembentukan peradaban tinggi diluar Eropa, namun tetap menekankan proses-proses yang Sebagian besar bersifat otonom dari kemunculan peradaban modernitas tinggi tersebut. Ketiga, studi poscolonial secara kritis menilai hubungan kekuasaan dan asimetri antara Utara-Selatan. Dalam mendukung argument ini, mereka secara eksplisit berfokus pada aspek-aspek diskursif sehingga berbeda dari beberapa pandangan materialis mengenai persoalan dunia sebelumnya yang wawasannya secara bertahap diperkenalkan kembali kedalam studi poscolonial. Oleh karena itu studi poscolonial berupaya melihat aspek diskursif, material dan khususnya ekonomi hubungan kekuasaan global secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Gayatri Chakravorty Spivak juga menuliskan mengenai "Dapatkah Subaltern Berbicara?" mengkaji secara kritis konsep subaltern, kelompok marginal dalam masyarakat, dan kemampuan mereka menyuarakan pengalaman dan perspektifnya. Spivak menantang pendekatan yang berpusat pada Barat terhadap pengetahuan dan kekuasaan, dengan menyoroti hubungan asimetris antara Barat dan kelompok subaltern. Ia berargumentasi bahwa perspektif Barat seringkali mengaburkan agensi dan subjektivitas kelompok subaltern, serta melanggengkan narasi dominan yang meminggirkan suara mereka. Spivak menekankan perlunya mengakui dan mengakui pengetahuan dan pengalaman kelompok subaltern, serta menganjurkan pendekatan yang lebih inklusif dan beragam dalam memahami sejarah dan masyarakat.
Kemudian, ia lebih dalam menggali kompleksitas posisi subaltern dalam konteks kolonial, khususnya dalam konteks historiografi kolonial India. Spivak mengkritik dominasi perspektif elitis dan narasi kolonialis, yang menutupi pengalaman dan kontribusi kelompok subaltern. Dia menyoroti tantangan dalam mewakili kesadaran dan pengalaman subaltern, menekankan perlunya untuk bergerak melampaui penggambaran esensialis dan stereotip. Spivak juga membahas persinggungan antara gender dan kolonialisme, serta menyoroti marginalisasi yang lebih mendalam terhadap kelompok subaltern perempuan. Ia menggarisbawahi pentingnya mengatasi pembungkaman dan penghapusan suara-suara subaltern perempuan dalam wacana sejarah kolonial dan dinamika kekuasaan yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, tulisannya mengeksplorasi keterbatasan representasi dan kompleksitas penafsiran agensi dan kesadaran subaltern. Spivak mengajukan pertanyaan tentang peran intelektual dan sejarawan dalam mewakili kelompok subaltern, dengan menekankan perlunya menghindari membekukan pengalaman mereka menjadi sekadar objek penyelidikan atau peniruan. Ia juga menyoroti tantangan dalam mengatasi perbedaan seksual dalam konteks subaltern, dengan menyoroti dominasi perspektif dan pengalaman laki-laki dalam produksi kolonial. Secara keseluruhan, esai Spivak menyerukan evaluasi ulang secara kritis terhadap dinamika kekuasaan dan representasi kelompok subaltern, serta mendesak adanya pendekatan yang lebih inklusif dan bernuansa untuk memahami pengalaman dan agensi mereka dalam narasi sejarah dan kemasyarakatan.
Lebih dalam lagi, di “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses" (2016) oleh Chandra Talpade Mohanty, penulis mengkritik tulisan-tulisan feminis Barat tentang perempuan di dunia ketiga, menyoroti kecenderungan mereka untuk menghomogenisasi pengalaman perempuan dalam konteks budaya dan sejarah yang beragam. Mohanty berpendapat bahwa tulisan-tulisan ini seringkali melanggengkan perspektif etnosentris dan imperialis, serta gagal mengakui kompleksitas dan kekhususan kehidupan perempuan di dunia ketiga. Ia mengidentifikasi pola universalisasi pengalaman perempuan, yang menghapus beragam realitas perempuan dari kelas sosial, agama, dan negara yang berbeda. Lebih lanjut, penulis mengkritik penggunaan kategori universal seperti “reproduksi”, “pembagian kerja secara seksual”, dan “gender” tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan sejarah spesifiknya.
ADVERTISEMENT
Mohanty juga meneliti penggambaran "perempuan dunia ketiga" sebagai kategori yang monolitik dan homogen, serta menekankan perlunya analisis yang lebih bernuansa dan spesifik konteks. Ia menganjurkan pendekatan feminis yang mengakui kompleksitas dan heterogenitas pengalaman perempuan di dunia ketiga, menantang representasi yang terlalu disederhanakan dan universal. Selain itu, penulis membahas persamaan antara tulisan feminis Barat dan proyek humanisme Barat, dengan menunjukkan etnosentrisme dan antropomorfisme laten dalam kedua wacana tersebut. Ia menyerukan peralihan ke arah analisis feminis yang lebih spesifik konteks dan terfokus secara politik, serta mempertimbangkan realitas lokal dan perbedaan kekuasaan.
Secara keseluruhan, kritik Mohanty menyoroti keterbatasan dan potensi jebakan keilmuan feminis Barat terhadap perempuan di dunia ketiga, dan mendesak adanya pendekatan yang lebih bernuansa, spesifik konteks, dan sadar politik untuk memahami dan mewakili pengalaman perempuan.
ADVERTISEMENT
2 Segregasi adalah pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya); pengasingan; pengucilan (KBBI)
3 De-historisasi adalah untuk memisahkah atau menghapus dari sejarah; untuk menghilangkan konteks sejarah (yourdictionary.com)
Bukan hanya itu, setelah kaum poscolonial memberikan prespektifnya dalam feminisme, namun setelah itu pemikir dari postmodernisme juga ikut andil. Tulisan dari Rosemarie Tong (2014) yang berjudul “Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction” menggambarkan bahwa feminis postmoderenisme berpendapat perempuan dimaknai yang lain sedangkan laki-laki adalah yang utama. Kemudian, mereka juga menolak cara berfikir apapun, termasuk pemikiran feminis yang bertujuan memberikan penjelasan tunggal mengapa perempuan ditindas atau Langkah-langkah yang harus diambil semua perempuan untuk mencapai pembebasan, tentu saja penolakan para feminis postmodernisme ini untuk mengembangkan penjelasan dan solusi menyeluruh atas penindasan terhadap perempuan menimbulkan msalah besar bagi teori feminis. Namun penolakan ini juga menambah semangat yang dibutuhkan kaum feminis untuk pluralitas, multiplisitas, dan perbedaan. Feminis posmodernisme mengajak perempuan untuk menjadi “feminis” yang mereka inginkan. Menurut pemikiran mereka, tidak ada formula tinggal untuk menjadi feminis sejati, namun ada cara-cara yang bisa dilakukan perempuan untuk melakukan perubahan sosial.
ADVERTISEMENT
Para kaum ini memikirkan pemikiran-pemikiran non-biner, non-oposisi, jenis pemikiran yang mungkin sudah ada sebelum Alkitab mengatakan bahwa Adam diberi kuasa untuk memberikan nama untuk binatang, menentukan awal dan akhir segala sesuatu, dan dari dalam tanah, Tuhan membentuk segala binatang di padang dan segala ungags di udara serta membawa mereka kepada Adam untuk melihat bagaimana dia akan menyebut mereka dan apapun Adam menyebutnya maka itu lah Namanya. Pada awalnya, tidak ada kata melainkan hanya segudang suara yang menunggu waktu dan ruang untuk menafsirkan maknanya. Apakah perempuan dapat memecah keheningan dengan berbicara dan menulis, membantu mengatasi oposisi biner, falosentrisme4, dan logosentrisme yang masih belum diketahui pasti, namun yang pasti adalah waktu telah tiba untuk tatanan konseptual baru. Bertekad untuk mencapai persatuan, kita sebagai umat manusia telah mengucilkan dan mengasingkan mereka (perempuan) yang disebut sebagai orang yang tidak normal, menyimpang dan terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Jika kita menisik ke belakang, dalam literature lain yang ditulis oleh Jane Flax (1987) yang berjudul “Postmodernsm and Gender Relations in Feminist Theory” menjelaskan bahwa filsuf zaman pencerahan seperti Kant tidak memakzulkan untuk mengikutkan perempuan dalam sebuah
4 Falosentrisme merupakan keistimewaan kaum maskulin (lingga) dalam memahami makna atau hubungan sosial. (cla.purdue.edu)
populasi dimana mampu mencapai kebebasan dari bentuk otoritas tradisional yang lama. Meskipun demikian tidak masuk akal bagi orang-orang yang didefinisikan sebagai tidak mampu untuk melakukan emansipasi diri untuk menegaskan bahwa konsep-konsep seperti otonomi akal, kebenaran objektif, dan kemajuan yang bermanfaat melalui penemuan ilmiah harus mencakup dan dapat diterapkan pada kapasitas dan kemampuan dari pengalaman laki-laki dan perempuan . bagi mereka yang terpinggirkan, juga menarik untuk percaya bahwa mereka yang menyatakan pendapat tersebut sebagai objektivitas akan menanggapi argument nasional. Jika tidak ada dasar objektif untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan salah, maka nampaknya kekuasaan saja yang akan menentukan hasil dari persiangan klaim kebenaran. Ini merupakan hal yang menakutkan bagi mereka yang tidak memiliki (tertindas) oleh kekuatan orang lain.
ADVERTISEMENT
Kemudian, para ahli teori feminis menggemakan wacana postmodernisme ketika memulai mendekontruksi gagasan tentang nalar, pengetahuan, atau diri sendiri dan mengungkap dampak pengaturan gender yang berada dibalik topeng “ netral” dan universalisasinya. Faktanya, para feminis, seperti halnya juga dengan postmoderenisme lainnya mulai mencurigasi bahwa semua klaim trasendental5 tersebut mencerminkan dan merefleksikan pengalaman segelintir orang kebanyakan laki-laki berkulit putih di Barat. Klaim-klaim ini tampaknya masuk akal bagi kita karena sebagiannya mencerminkan aspek-aspek penting dari pengalaman mereka yang mendominasi dunia sosial kita.
Referensi
Anna M. A & Heather M. T in Laura J. Shepherd (2015), Gender Matter in Global Politic: A Feminist Introduction to International Relations, London: Routledge, hlm 44-55.
Ina, K. (2017), Relations of Difference: Power and Inequality in Intersectional and Postcolonial Feminist Theories, London: Sage, hlm 846-866.
ADVERTISEMENT
Jane Flax (1987), Postmodernism and Gender Relations in Feminist Theory, Chicago: The University of Chicago Press, hlm 621-643.
Mohanty, T,C, (2016), Under Westren Eyes: Feminist Scholarship & Colonial Discourse, Duke University Press, Vol, 12, No. 13.
Rosemarie, T. (2014), Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, California: Westview Press, hlm 191-204.
Spivak, G, C, (1988), Can The Subaltren Speak?, Marxism and The Interpretation of Culture, London.
5 Trasendental berkaitan dengan hal spiritual atau dunia yang tidak nyata atau sukar untuk dipahami (dictionary.com)