Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengarungi Korupsi dari Akar hingga Ranting
26 November 2020 13:47 WIB
Tulisan dari Rika Salsabilla Raya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rika Salsabilla*
Belum lama ini, beberapa tokoh politik tertangkap oleh KPK sebagai bentuk usaha pemberantasan korupsi. Sebuah kabar segar bagi masyarakat yang sudah capek dengan suap-menyuap uang yang seharusnya adalah untuk rakyat. Apalagi di tengah pandemi saat ini, dengan kabar nyata bahwa Indonesia sudah termasuk ke dalam jurang Resesi. Apakah masyarakat ikutan panik?, tentu tidak. Karena masyarakat kita terkenal sebagai konsumen ulung dan boros, setidaknya banyak usaha kecil yang tidak sampai gulung tikar. Jangan tanyakan Pemerintah yang wara-wiri memikirkan negeri ini, bukan begitu?
ADVERTISEMENT
Lantas, penangkapan para tokoh politik bukan lagi tentang
membuat ‘jera’ melainkan sebagai pengguguran kewajiban untuk megayomi masyarakat saja. Bila ditelisik, definisi korupsi memiliki banyak perspekftif. Dalam Kamus Al-Munawwir, korupsi bisa diartikan meliputi: risywah, khiyânat, fasâd, ghulû, suht, bâthil. Sedangkan dalam Kamus Al-Bisri kata korupsi diartikan ke dalam bahasa arab: risywah, ihtilâs, dan fasâd. Arti yang berkonotasi buruk, tak benar dan bejat telah dikokohkan dengan contoh kasus korupsi yang menusuk hati. Bukan saja menusuk hati satu-dua orang saja melainkan rakyat yang berjuta-juta. Akademisi Acham dan kita semua setuju bahwa korupsi sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan kepentingan umum. Intinya, korupsi adalah kebejatan karena mengingkari kepercayaan yang diberikan rakyat untuk kepentingan pribadi. Sehingga, korupsi menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif, yaitu memiliki kewenangan yang diberikan publik yang seharusnya untuk kesejahteraan publik, namun digunakan untuk keuntungan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
INDONESIA DAN FAKTA
Fakta di kehidupan memang begitu menyakitkan, kita sering sekali menemui kasus di mana pelaku korupasi tersebut adalah orang terdidik, getol dan terkenal fasih beragama. Berlaku sejak masa Indonesia menjadi negara kesatuan. Mereka rata-rata mengemban jabatan ataupun menjadi pebisnis yang ‘dekat’ dengan pemangku kekuasaan. Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-sumber dana dan memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi. Frekuensi menunjukan korupsi di Indonesia memiliki jenis korupsi dukungan (supportive corruption), Alatas menuliskan bahwa korupsi ini dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada. Albert Hasibuan dalam Titik Pandang Untuk Orde Baru memiliki pandangan bahwa korupsi sebagai bentuk penyimpangan yang wajar dalam kehidupan sosial, hal itu pun sejalan dengan fakta yang terjadi. Apakah korupsi hanya disebabkan oleh ‘kebutuhan yang banyak tak terpenuhi?’, atau sekedar kesempatan yang wajib diambil selagi mampu dan memang sudah menjalar dari atas-bawah dan bawah-atas?
ADVERTISEMENT
Korupsi memang tak pandang bulu, mulai dari lingkungan masyarakat bersifat kecil setingkat RT/RW, contohnya mewajibkan ‘uang pembantu’ hanya untuk satu tanda tangan dan cap dalam setiap pengurusan surat-surat. Melangkah lagi ke tingkat Kelurahan/Kecamatan yang bersifat lebih luwes, sebut saja seperti kasus Tjoko Chandra yang melibatkan Lurah. Serta, setingkat Kota/Kabupaten yang sudah tak terhitung dan diraba-raba oleh mata masyarakat. Masyarakat seakan-akan dibuat tercekik, pandanganya sudah tak terarah, siapa lagi yang harus dipercayai? Lembaga berwenang atau Mahasiswa yang sudah memiliki rekam sejarah gemilang? Toh, korupsi di lingkungan kampus saja sulit sekali kok diberantas. Sekedar menjadi pengawas pun dibutakan oleh kepentingan pribadi masing-masing atas nama ‘demokrasi’, lawannya pun akan melayangkan perintah “Drop Out”, cukup beresiko seperti kasus mahasiswa UNNES baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
TAK PERNAH PUAS
Lebih jauh, sebenarnya apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi? Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan. Mustahil seseorang yang terlibat tidak mendapatkan jatah, sekalipun tidak dapat sangat mustahil pula melaporkan karena akan menjadi boomerang. Dalam buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional oleh BPKP, menyebutkan bahwa sebab utama perbuatan korupsi adalah sifat asli manusia yang tak pernah puas, melahirkan sifat tamak terhadap harta, tahta sampai wanita. Lalu, kita pun mengenali kasus korupsi berdasarkan tingkat jabatannya. Misalnya, bila seorang pegawai pemerintahan setingkat daerah kecil maka bisa disebabkan oleh gaji yang dinilai kurang, belum bisa menutup kebutuhan. Bila di lingkungan Pendidikan setingkat kampus, kita bisa mengenal budaya ‘menutupi anggaran’, lebih bervariasi lagi budaya ‘panjaran’ dalam circle organisasi ekstra dalam membutuhkan anggaran, alasan untuk Pendidikan bukan lagi alasan basi yang mudah ditolak. Dalam buku juga tertulis bahwa budaya keorganisasiaan merupakan sebab lain di mana menciptakan budaya ‘tidak-enakan sesama anggota’. Kasus ini membawa nama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan PMII, beberapa hari yang lalu. Praktik korupsi sudah semestinya disimpulkan bermukim dari akar hingga ranting yang kecil dan jauh, tak memandang usia, rupa, warna dan derajat bahagia.
ADVERTISEMENT
FILM DAN REALITA
Salah satu film yang ciamik dan memiliki korelasi dengan korupsi adalah A Copy of My Mind. Penonton diajak melihat bahwa korupsi itu dari tingkat akar, pemberantasannya pun perlu melibatkan seluruh pihak. Tidak bisa satu-dua invidu yang sadar arti demokrasi dan Nasionalis semata. Mulai dari aparat keamanan, Lembaga Yudikatif, Parlemen sebagai tonggak, Eksekutif sebagai awal, Pers sebagai tombak dan masyarakat sebagai penyempurna. Dalam hal ini, harus bahu-membahu dan bisa dikatakan bersifat saling terikat. Bila satu Lembaga/unsur melakukan korupsi maka akan berpengaruh ke unsur lain serta menyebabkan ketimpangan dan ketidakseimbangan. Pada akhirnya, masyarakat yang merasakan rasa sakit, dalam film itu pun juga menyorot unsur kelembagaan masyarakat yang memperlakukan hak istimewa terhadap napi koruptor. Kenyataan bahwa korupsi melibatkan segala aspek pasti mempengaruhi pandangan masyarakat. Ranting korupsi dari efek domino korupsi di tubuh akar akan memunculkan rasa ketidakadilan dan kehancuran persepsi.
ADVERTISEMENT
MENGHILANGKAN HAMA TIKUS
Ibnu Santoso dalam Memburu Tikus-Tikus Otonom, menuliskan bahwa korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan, sebab korupsi telah mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui money-politik. Korupsi juga telah mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, tiadanya akuntabilitas publik serta menafikan the rule of law. Di sisi lain, korupsi menyebabkan berbagai proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah serta tidak sesuai dengan kebutuhan yang semestinya, sehingga menghambat pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Dalam hal ini, masyarakat bukan berate hanya berlaku tunduk akan kesalahan yang terjadi. Minimal masyarakat dalam berperan aktif dalam memberantas, dimulai dari mengajarkan moralitas kepada anak. Menegur adalah tindakan minimal dari bentuk kepedulian manusia, tiap invidu pun jangan sampai termakan rayuan untuk tidak berani melaporkan ke pihak yang berwenang. Uang adalah komoditas, yang sepatutnya dijaga, bagaimana dengan nasib uang ‘rakyat’ yang dimasukan ke kantong pribadi seseorang, Lembaga atau organisasi? Apakah rela? Tentu tidak! Maka, korupsi memerlukan sorotan dan revolusi dari kelas terkecil sampai terbesar, dilakukan secara kompehensif dan kokoh.
ADVERTISEMENT
*Mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta