Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengenang Mei: Islam untuk Keruntuhan Orde Baru
14 Mei 2020 8:09 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rika Salsabilla Raya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Islam dan Orde baru pasti menarik buat dibahas. Bagaimana Soeharto dengan keahlian taktik beserta lingkaran oligarki yang mumpuni, membuat Islam dan Orde baru memiliki garis-garis menarik, berciri kasar di luar halus di dalam dan punya kisah tersendiri.
Ketidakpuasan dari kalangan Islamis mulai bermunculan menjadi awal dari kisah Islam dan Orde baru. Konsolidasi-konsolidasi terselubung khas masa Orde Lama disebut sebagai sebab mengapa Orde baru alergi dengan istilah "gerakan Islam untuk menjadi asas negara". Namun pada kenyataanya, kekuatan politik Soeharto dan militernya berhasil menumbangkan kekuatan Islam jauh sebelum desas-desus kepemimpinan melemah. Masa itu, kekuatan Islamis mulai tiarap, dan kondisi ini bertahan sampai masa Orde Baru. Oleh karena itu, diawal kekuasaan Orde Baru, Soeharto membuat basis-basis pemikiran/gerakan di wilayah-wilayah tidak ada kekuatan. Dengan demikian, nantinya muncul wacana dan gerakan Islam kultural yang mengenalkan kita terhadap tokoh-tokoh kepemimpinan seperti: Gus Dur, Amin Rais dan Nurcholis Madjid tumbuh dan mengambil garis resistensi kekuasaan pak Harto.
ADVERTISEMENT
Antara Islam dengan Orde Baru, bisa dilihat dari berbagai cara pemilihan/aturan/serta hak-hak yang dipangkas oleh pemerintah kepada rakyatnya dari berbagai macam latar belakang berbeda. Ingat pula, bagaimana hanya terdapat tiga partai besar yaitu PPP, Golkar dan PDI pada tahun 1970-an Bahkan, secara konvensional kelompok tertentu wajib memberikan suaranya ke partai kuning yang berafiliasi dengan penguasa. Wajar dalam empat kali pemilu, mendapatkan perolehan suara terbanyak dan terus memimpin hingga 32 tahun lamanya. Dari buku karya Tashwirul Afkar: Partai-partai Islam: Transformasi Gerakan Islam dan Ruang Demokrasi (Jakarta: Edisi No. 4 1999), terdapat pola tidak seimbang antara ketiga partai. Ada dua kubu berbeda namun, memiliki harapan terselubung dengan salah satu partai di antaranya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, mulailah suara-suara keinginan penegakan syariat islam berkumandang. Padahal, Orde baru saat itu memiliki intervensi yang terlalu kuat terhadap gerak-gerik warganya termasuk ormas, bahkan sekelas mahasiswa yang diskusi di kampus. Bukan itu saja corak Orba terhadap Islam di Indonesia, tahun 1980-an bahkan pemerintah mulai menerapkan mono-loyalitas mengharuskan seluruh organisasi, kepemudaan sampai kemasyarakatan harus ber-asaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas. Kita menyebutnya asas tunggal, kisahnya panjang kalau dijelaskan, karena menyangkut nama-nama jenderal saat itu hingga akhirnya presiden menyetujui. Dengan peraturan baru itu, setiap perserikatan yang tidak berasaskan Pancasila dianggap bertentangan dengan negara, kadang disebut kiri murtad.
Pembubaran adalah jalan satu-satunya. Dalam perkembangannnya, pemerintah akhirnya menghadiahi umat Islam atau mengakomodir kepentingan umat Islam sebagai jawaban atas banyaknya cendekiawan muslim yang ‘agak menjerit’, misalnya dalam bentuk akomodasi struktural yaitu diberlakukannya UU Perkawinan tahun 1974, UU Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, Peraturan hijab tentang seragam sekolah, keputusan bersama ditingkat menteri tentang amil zakat, infak dan sadaqah di tahun 1991, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Fase Islam di masa orde baru mulai memuncak ketika, kelahiran ICMI pada tahun 1990-an, juga bisa dianggap sebagai bibit munculnya kembali cita-cita Islam yang mewarnai kehidupan bernegara. Meski kita tidak bisa menyuarakan bahwa mereka menyuarakan tegaknya Syariat secara khusyuk tetapi, hal tersebut berhasil. Seorang Intelektual muslim, Ir.B.J. Habibi telah menjabat menristek sebagai ‘duta’ dan menandai kemajuan Islam yang selama ini seolah-olah tercekik dan berhasil mengelabui orang-orang yang tidak sependapat di awal.
Ciri selanjutnya adalah ‘kebudayaan’ sebagai pemikat gerakan politik umat islam oleh orde baru. Mengapa? Karena kebudayaan sebagai sub judul yang lebih netral dan relatif untuk ditentang. Kebanyakan aspirasi umat islam di dekade antara 80-90an adalah penegasan terhadap budaya maka lahir istilah“Islam sebagai gerakan kebudayaan” demikian menurut budayawan dan intelektual Islam, Dr. Kuntowijoyo. Bila ditelaah, bukan tanpa sebab Orde baru membuat demikian, menurut Ridwan Sa’idi, Orde baru memiliki strategi cerdas. Dengan ‘kasih sayang’ politik dari Orde baru berupa revolusi ideologi kepartaian. Harapan tersebut agar masa depan politik Orde Baru tidak lagi ditandai dengan tajuk ‘perbedaan ideologi’, penawarnya adalah Floating Mass. Wajar, bila ideologi islam dalam partai tidak pernah menang untuk mendapat kursi presiden. Selalu partai kuning.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pemerintah melakukan restrukturisasi politik dengan mendukung terbentuknya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) pada 1968. Ini merupakan “jalan tengah” pemerintah dalam upaya menampung aspirasi politik umat Islam setelah ikhtiar merehabilitasi Masyumi. Hingga akhirnya nanti, menjadi 3 partai dari 9 partai.
Bukan di dunia apabila tidak ada karma, detik-detik kehancuran Orde baru oleh Islam ditandai oleh dikabulkanya doa Liem, sebagai penasihat Soeharto. Represi pemerintahan saat itu membuat siapa pun tak nafsu makan, Liem menilai Islam harus terus berkembang. Berbeda dengan masa sebelumnya, aktivitas Islam tidak lagi semangat dengan politik tetapi memusatkan pada gerakan kultural dan gerakan ekonomi. Hasilnya, kebijakan politik Mandataris MPR yang akomodatif terhadap Islam. Islam dan umat tidak “lagi” dipinggirkan dan disudutkan dari kekuasaan politik, dengan semangat ijtihad yang diteriakkan oleh para cendekiawan muslim, sampai organisasi terbesar seperti pada masa itu, NU dan Muhammadiyah dibawah tokoh muda seperti Abdurrahman Wahid dan Amin Rais menjadi rival dengan Soeharto. Meskipun kekuatan Islam dalam politik formal tidak terlalu mencolok, namun di waktu yang sama, potensi gerakan Islam sebagai kekuatan politik informal berkembang dengan baik. Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan Islam dan kekuatan kepemimpinan informalnya justru semakin kuat dan diminati masyarakat awam.
ADVERTISEMENT
Selain itu tumbuh subur LSM dan intelektual kampus berbasis Islam. Seperti yang dimotori oleh Dawam Raharjo, Nurcholis Madjid di kampus Islam, Adi Sasono, Aswab Machasin dan masih banyak lagi. Islam juga semakin berkembang bahkan, ke lapisan ekonomi. Dengan itu, Liem sebagai orang dekat (penasihat)- Soeharto di masa Orde Baru, menilai tidak bisa dihindari lagi kekuatan Islam dalam struktur politik di Indonesia yang menurutnya, budaya abangan dan priyayinya semakin menipis dalam lapisan dan tidak berpengaruh sama sekali di mata masyarakat.
Kendati demikian, atas kemunculan banyak intelektual muda Islam yang progresif, Liem menilai kelompok intelektual muda Islam sebagai kelompok paling dinamis yang akan berpengaruh banyak dalam politik nantinya dalam kekuasaan Orde Baru. Saran Liem bagi negara untuk merespon perkembangan Islam yaitu: akomodasi atau pemberontakan (Sesuai dengan analisis berbentuk artikel miliknya). Presiden Soeharto akhirnya memilih akomodasi, cirinya adalah presiden yang sering berkunjung ke pusat-pusat pengajian bahkan ke tempat yang masih sangat ‘tradisional’. Presiden juga menggandeng banyak cendekiawan muslim dan ormas yang berhasil dibentuk dengan alasan didorong oleh azas ‘pancasila’, kenyataanya ormas-ormas tersebut menjadi kendaraan politik tetapi, tidak pada saat krisis ekonomi, penyerangan terhadap mahasiswa, dan kerusuhan tahun 1998.
Di periode akhir 1996-1998 masa kekuasaan presiden Soeharto, semangat jihad mulai bergema dimulai dari kaum progresif sesuai dengan ramalan Liem. Beberapa bentuk akomodasi yang ditawarkan pemerintah Orba terhadap kaum muslimin Indonesia menjadi boomerang. Muncul nama Amien Rais di tahun 1996 dengan istilah-istilah baru yang 'menyilet' pemerintah sedikit demi sedikit terkait kekuasaan dan kepemimpinan. Tahun 1996-1998 adalah masa yang kritis bagi Orba karena akan mengalami beberapa peristiwa di antaranya : Sisa masa kepresidenan, pemilihan Umum pada Mei 1997 dan Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Disaat situasi semakin pelik, timbul fenomena politik yang berkaitan dengan rasionalisasi dan bermotivasi bersifat ideologi agamis dalam penataan kehidupan politik, yaitu timbulnya perasaan tersingkirnya beberapa kalangan nasionalis sekular di sektor pemerintahan. Lembaga sekelas MPR/DPR pun seperti tidak lagi memihak penguasa Orba, juga menguatnya peran “orang-orang Habibie (Islam)” atau ICMI yang menggeser kelompok nasionalis sekuler militer.
ADVERTISEMENT
Maka, sampailah kepada puncak dari gerakan-gerakan 'pelan tapi pasti' ala orang-orang berideologi agamis khususnya islam. Diawali Ide Amien Rais dalam “suksesi kepemimpinan” yang diterima para mahasiswa dan akhirnya, di usung menjadi gerakan reformasi oleh mahasiswa. Dukungan krisis moneter berlanjut ke krisis ekonomi, krisis politik, berdampak krisis multidimensional. 32 Tahun kepemimpinan Soeharto harus tumbang di bulan Mei 1998, karena orang-orang yang islamnya hanif (anti jumud apalagi tak ingin habis manis sepah dibuang), beserta seluruh rakyat yang 'lelah' akan strategi usang Orde baru.