Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hukum Waris di Indonesia: Meminimalisir Konflik Pembagian Warisan
1 Juli 2024 12:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rima Gravianty Baskoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukum Waris di Indonesia
Negara menyediakan hukum waris sebagai panduan terkait peralihan harta dan utang dari yang meninggal, berikut akibat hukumnya bagi ahli waris ataupun para ahli warisnya. Namun demikian pada faktanya, akibat ketidakpahaman dan ketidaktahuan para ahli waris terkait regulasi waris, akhirnya banyak menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian warisan. Bahkan tidak semua masyarakat di Indonesia mengetahui hukum waris mana yang berlaku terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa sumber hukum waris yang berlaku di Indonesia, dan keberlakuannya tergantung pada status hukum pewaris dan ahli waris. Status hukum pewaris dan yang mewaris ini maksudnya adalah latar belakang agama, budaya, sosial, hingga adat istiadat dan sistem kekeluargaan yang berlaku di keluarga pewaris dan ahli waris. Hal ini karena Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk. Sehingga, hukum waris yang berlaku di Indonesia semua tergantung pada status hukum si pewaris.
Dalam hal pewaris adalah orang pribumi, maka yang berlaku padanya adalah hukum adat. Jika pewaris adalah beragama Islam, maka yang berlaku padanya adalah Kompilasi Hukum Islam. Jika pewaris adalah golongan penduduk Eropa, Timur Asing Cina, maka yang berlaku padanya adalah hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Sedangkan untuk pewaris golongan timur asing lainnya seperti Arab, Pakistan, atau India, maka terhadap mereka berlaku hukumnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Pada perkembangannya, telah terjadi banyak perubahan konsep dalam hukum waris. Sebagai contoh, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, tapi juga memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya yang telah dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, anak luar kawin berhak masuk sebagai ahli waris jika ayah biologisnya meninggal, namun terdapat batasan dalam pembagian warisan, yang porsinya tentu lebih kecil dari anak kandung dalam perkawinan.
Para Ahli Waris
Menurut KUHPerdata, ada 2 hal yang menyebabkan seseorang menjadi ahli waris, yaitu karena ketentuan undang-undang (disebut juga dengan ahli waris ab intestato) dan ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair erfrecht). Jika berdasarkan ketentuan undang-undang, ahli waris dibagi menjadi empat golongan. Golongan pertama adalah anak garis lurus ke bawah, suami / istri sah, anak adopsi yang diangkat dengan penetapan pengadilan dan dipersamakan dengan anak sah, dan anak luar kawin yang telah dibuktikan dengan teknologi sebagai keturunan biologis ayah (jika pewaris adalah ayah). Golongan kedua adalah orang tua kandung garis lurus ke atas dan saudara saudari. Golongan ketiga adalah kakek dan nenek garis lurus ke atas. Golongan ke empat adalah saudara dan saudari dari orang tua pewaris. Namun demikian, KUHPerdata memberikan batasan bahwa ada beberapa ahli waris yang tidak patut menjadi ahli waris sesuai ketentuan Pasal 838 KUHPerdata, yaitu: ahli waris yang dihukum karena melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan, ahli waris yang dengan keputusan hakim terbukti bersalah memfitnah pewaris, ahli waris yang dengan kekerasan atau perbuatannya mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut wasiat, dan/atau ahli waris yang menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
ADVERTISEMENT
KUHPerdata memiliki perbedaan signifikan dengan Kompilasi Hukum Islam terkait ahli waris. Jika KUHPerdata mendasarkan hubungan hukum pewarisan adalah karena undang-undang atau karena wasiat, Kompilasi Hukum Islam mendasarkan hubungan hukum pewarisan adalah karena adanya hubungan darah atau hubungan perkawinan. Menurut hubungan darah, maka ahli waris golongan laki-laki adalah ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan golongan ahli waris perempuan karena hubungan darah adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. Ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan berarti duda atau janda pewaris. Namun selayaknya KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan batasan ahli waris yang tidak bisa mendapatkan warisan karena adanya penghalang, yaitu perbedaan agama, perbudakan, pembunuhan, dan hijab, yang mana keseluruhannya tersebut sifatnya normatif sehingga harus mampu dibuktikan dan berdasarkan putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Selain berdasarkan KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Islam, hukum adat pun diakui sebagai dasar hukum penentuan ahli waris dan pembagian warisan. Sebagai contoh di adat Minang, terdapat empat kelompok ahli waris, yaitu yang menggunakan hukum Islam, pembagian waris sama rata, pembagian waris dengan perempuan mendapat lebih banyak dari laki-laki, dan pembagian waris hanya kepada perempuannya saja. Sedangkan pada pembagian waris dengan adat Jawa, ahli waris adalah keturunan pewaris, orang tua pewaris, saudara pewaris atau keturunannya, dan orang tua dari orang tua pewaris atau keturunannya, sedangkan janda, duda dan anak angkat bukan menjadi ahli waris. Pada pembagian waris adat Dayak Pakpak, dilaksanakan oleh Temenggung bersama para ahli waris sesuai perintah pewaris selama hidupnya, dengan golongan yang mendapatkan warisan adalah anak kandung pewaris, janda/duda pewaris, orang tua pewaris, cucu (jika anak sudah tidak ada), dan cicit (jika anak dan cucu sudah tidak ada). Pada pembagian waris adat Bali yang menganut patrilineal, bahkan harta warisan pun dibedakan menjadi dua, yaitu harta pusaka (yang bernilai magis religius) dan harta benda (yang bernilai ekonomis), kepada ahli waris predana dan ahli waris purusa. Untuk pembagian waris hukum adat Papua suku Biak dengan sistem patrilineal, hanya keturunan laki-laki yang berhak menerima warisan dan menutup hak anak-anak perempuan sebagai penerima bagian dari orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian Sengketa Waris di Indonesia
Dalam menghadapi situasi penentuan dan pembagian ahli waris, musyawarah dalam keluarga merupakan pendekatan yang paling bijak. Melalui musyawarah, berbagai aspek penting dapat dipertimbangkan dan diputuskan bersama untuk menghindari konflik di kemudian hari. Pertama, keluarga perlu menentukan hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian warisan, apakah berdasarkan hukum waris Islam, hukum adat, atau hukum perdata. Selanjutnya, penting untuk memastikan siapa saja yang termasuk sebagai ahli waris sehingga tidak ada yang merasa terabaikan. Selain itu, keluarga harus menetapkan benda atau objek yang akan diwariskan serta menghitung hutang dan pajak yang harus dibayarkan dari harta warisan tersebut. Dengan membuat kesepakatan bersama mengenai pembagian waris, diharapkan proses ini dapat berjalan dengan lancar dan adil, sehingga menjaga keharmonisan keluarga. Melalui musyawarah kekeluargaan, setiap anggota keluarga dapat menyuarakan pendapatnya dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Namun jika ternyata konflik terjadi, hindarilah main hakim sendiri dan serahkan kepada pengadilan untuk penyelesaian sengketa waris ini.
ADVERTISEMENT