Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Unsur Pembangun Puisi "Tiga Lembar Kartu Pos" Melalui Kacamata Melani Budianta
19 Juni 2024 17:58 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rina Zulvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Tiga Lembar Kartu Pos” adalah sebuah puisi Karya Sapardi Djoko Damono yang ditulis pada tahun 1975. Sapardi Djoko Damono adalah seorang penyair Indonesia yang terkemuka. Ia lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah dan wafat pada tanggal 19 Juli 2020 di Tangerang Selatan, Banten. Puisi ini adalah sekumpulan surat yang terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing bagiannya mewakili satu lembar kartu pos. Setiap bagian dalam puisi ini memberikan gambaran tentang perjalanan spiritual seseorang dengan Tuhannya. Melalui puisi ini, ia mengeksplorasi bagaimana perjalanan spiritual seseorang tidak selalu lurus dan mulus, melainkan penuh dengan pasang surut emosi, keraguan, dan ketidakpastian. Namun, puisi ini juga dapat membuka ruang bagi para pembaca untuk melakukan instropeksi spiritual yang mendalam, merefleksikan hubungan dengan Tuhan, dan menemukan makna dibalik keberadaan mereka di dunia ini. Di bawah ini adalah isi dari puisi yang berjudul "Tiga Lembar Kartu Pos"
ADVERTISEMENT
Lembar Kartu Pos (1)
soalnya kau tak pernah tegas menjelaskan keadaanmu,
tak pernah tegas mengakui bahwa harus menyelesaikan
perkaramu dengan-Ku
suratmu dulu itu entah dimana, tidak di antara
bintang-bintang, tidak di celah awan, tidak di sela-sela sayap
malaikat
Masih Kuingat benar: alamat-Ku kau tulis dengan sangat
tergesa, Kubayangkan tanganmu gemetar tanda bahwa ada
yang ingin lekas-lekas kau sampaikan pada-Ku
Lembar Kartu Pos (2)
kau dimana kini? Sebenarnya saja: pernahkah kau tulis
surat itu? Pernahkah sekujur tubuhmu mendadak dingin
ketika kau lihat bayang-bayang-Ku yang tertinggal di
kamarmu?
Mungkin Aku keliru, mungkin selama ini kau tak pernah
merasa memelihara hubungan dengan-Ku, tak pernah ingat
akan percakapan Kita yang panjang perihal topeng
yang tergantung di dinding itu
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun Aku ingin tahu dimana kau kini
Lembar Kartu Pos (3)
anakmu yang tinggal itu menulis surat, katanya antara
lain, “...alamat-Mu kudapati di tong sampah, di antara
surat-surat yang dibuang Ayah; hanya sekali ia pernah
menyebut-nyebut nama-Mu, yakni ketika aku meraung
karena dihalanginya mengenakan topeng yang ...”
rupanya ia ingin mengajak-Ku bercakap tentang mengapa
Aku sengaja memberimu hadiah topeng di hari ulang
tahunmu dulu itu
siasatnya pasti siasatmu juga; menatap tajam sambil
menuduh bahwa kunfayakun-Ku sia-sia belaka.
Pada puisi "Tiga Lembar Kartu Pos" tersebut, tentunya memiliki unsur-unsur pembangun. Dalam buku Melani Budianta, menurut Roman Jacobson dan para kritikus yang sealiran dengannya, secara konvensional sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau salah satu unsur secara dominan untuk membangun makna, yaitu: Metafora, simile, personifikasi, metonimi, rima, dan bentuk. (Budianta, 2006:40-42)
ADVERTISEMENT
1. Metafora: Adalah makna yang bersifat kiasan.
a. Dalam kutipan yang terdapat pada bait kedua puisi yang berbunyi: “Suratmu dulu itu entah dimana, tidak di antara bintang-bintang, tidak di celah awan, tidak di sela-sela sayap malaikat". Merupakan metafora yang menggambarkan bahwa surat yang dikirimkan tidak pernah sampai atau hilang entah kemana, tidak berada di tempat-tempat yang mustahil seperti di antara bintang-bintang, celah awan, atau sayap malaikat.
b. Terdapat kata “topeng” yang disebutkan pada puisi tersebut menjadi metafora untuk realitas yang tersembunyi di balik penampilan luar. Manusia seringkali menyembunyikan diri yang sebenarnya di balik topeng kepura-puraan. Topeng tersebut melambangkan kepalsuan dalam hubungan tersebut.
2. Simile: Adalah membandingkan suatu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan yang ada pada bait ketiga puisi yang berbunyi: "Kubayangkan tanganmu gemetar tanda bahwa ada yang ingin lekas-lekas kau sampaikan pada-Ku". Dalam baris ini, gerakan tangan yang gemetar dibandingkan dengan tanda atau isyarat bahwa ada sesuatu yang ingin segera disampaikan.
3. Personifikasi: Adalah majas yang seolah-olah benda mati seperti bernyawa, dan melakukan sesuatu.
a. Dalam kutipan pada bait pertama puisi yang berbunyi “soalnya kau tak pernah tegas menjelaskan keadaanmu, tak pernah tegas mengakui bahwa harus menyelesaikan perkaramu dengan-Ku”. Tuhan digambarkan seolah-olah memiliki sifat-sifat manusiawi seperti kemampuan berbicara dan tidak tegas.
b. Dalam kalimat pada bait kedua yang berbunyi “suratmu dulu itu entah dimana, tidak di antara bintang-bintang, tidak di celah awan, tidak di sela-sela sayap malaikat" Pada baris ini, bintang-bintang, awan, dan sayap malaikat digambarkan seolah-olah dapat menyimpan atau memiliki surat seperti manusia.
ADVERTISEMENT
c. Dalam kalimat pada bait keempat yang berbunyi “Pernahkah sekujur tubuhmu mendadak dingin”. Pada bait tersebut, Tuhan digambarkan seolah-olah memiliki sifat manusiawi yang dapat merasakan dingin.
4. Metonimi: Adalah majas yang memiliki hubungan kedekatan yang diwakilinya.
a. Dalam kalimat “...alamat-Mu kudapati di tong sampah, di antara surat-surat yang dibuang Ayah;" Dalam baris ini, "alamat-Mu" . Digunakan untuk mewakili atau merujuk pada surat-surat yang ditulis untuk subjek puisi tersebut. Alamat sendiri tidak dapat berada di tong sampah secara harfiah, tetapi yang dimaksudkan adalah surat-surat yang berisi alamat sang subjek. Dalam contoh di atas, "alamat" digunakan sebagai pengganti atau perwakilan untuk surat-surat yang berisi alamat tersebut.
5. Rima: Yaitu persamaan bunyi, adakalanya bunyi atau kata tertentu diulang beberapa kali untuk menegaskan makna. Dalam puisi tersebut, terdapat beberapa kutipan yang yang menggunakan rima akhir “-ku” yang diulang pada akhir beberapa baris. Pengulangan bunyi ini diulang untuk menegaskan makna. Terdapat pada kutipan yang ada pada bait pertama dan ketiga puisi di bawah ini.
ADVERTISEMENT
a. “tak pernah tegas mengakui bahwa harus menyelesaikan perkaramu dengan-Ku.” Dan;
b. “Kubayangkan tanganmu gemetar tanda bahwa ada yang ingin lekas-lekas kau sampaikan pada-Ku”
6. Bentuk: Bentuk menurut melani, turut membangun makna atau suasana tertentu. Bentuk puisi Tiga Lembar Kartu Pos (Karya Sapardi Djoko Damono) ini ditulis dengan gaya prosa dan tetap dengan mudah dapat diterima sebagai sebuah puisi.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. (1994). Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak. Jakarta: PT. Grasindo.
Budianta, M., Husen, I. S., Budiman M., Wahyudi, I. (2006). Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi). Magelang: IndonesiaTera.