Konten dari Pengguna

Menunggu Peraturan Pemerintah mengenai PPN Barang dan Jasa Tertentu

Rina Anita Indiana
Universitas Bhayangkara Surabaya. Brevet ABC Perpajakan. Bersertifikat Konsultan Pajak B. Kuasa Pengadilan Pajak.
9 Desember 2022 12:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rina Anita Indiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai warga negara dan sebagai konsumen saya sangat bersyukur barang kebutuhan pokok tidak jadi naik karena ada tambahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tentu kita masih ingat rasa deg-degan saat digulirkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bahwa sembako akan kena PPN!
ADVERTISEMENT
PPN itu mendistorsi, loh. Bila biasanya dengan rupiah tertentu kita dapat membeli sepuluh kilogram beras, bila ada PPN maka kita hanya mendapat kira-kira sembilan kilo saja karena seharga satu kilo diminta oleh negara melalui PPN.
Selepas rasa deg-degan hilang, bagi pelaku usaha, ternyata ada hal lain yang harus dicatat.
Di Undang-Undang PPN yang lama, barang kebutuhan pokok masuk di kavling pasal 4a. Hal ini artinya, konsumen hanya membayar sebesar harga tanpa PPN. Penjual tidak ada beban apapun yang berkaitan dengan pelaporan perpajakan ke negara. Peraturan ini tidak akan berubah kecuali ada perubahan Undang-Undang. Dan perubahan Undang- undang itu tidak mudah.
Di Undang-Undang PPN yang baru, bahan kebutuhan berada di kavling pasal 16b. Bunyi pasal 16B ayat (1) adalah, “Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
ADVERTISEMENT
Pasal ini berkata bahwa konsumen yang membeli barang kebutuhan pokok tetap tidak menanggung PPN, tetapi agak diatur mengambang karena bisa saja sementara waktu saja, atau juga bisa selamanya. Pengaturannyapun cukup cair karena hanya perlu Peraturan Pemerintah (PP).
Dari sisi penjual bisa melalui mekanisme tidak dipungut, bisa juga dibebaskan. Dari sisi administrasi perpajakannya cukup berbeda antara dua mekanisme itu. Diksi “Pengaturan dengan Peraturan Pemerintah” berarti akan ada satu PP yang khusus mengatur tentang ini, tidak bercampur dengan PP yang mengatur hal lain.
Kemudian pada ayat (1a) berbunyi,“Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak baik untuk sementara waktu maupun selamanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terbatas untuk tujuan. mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, antara lain: barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak”
ADVERTISEMENT
Pada memori penjelasan tertulis, “Kemudahan perpajakan yang diberikan untuk tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional diberikan dengan sangat selektif dan terbatas, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap penerimaan negara.”
Pengaturan dan batasan ini bagus sekali karena seharusnya artinya adalah tidak ada lagi daging Wagyu yang mendapat fasilitas PPN karena daging Wagyu tentu saja bukan barang strategis yang sangat dibutuhkan rakyat banyak. Semua detil pengaturannya tinggal dituangkan dalama PP.
Masalah yang tersisa saat adalah, PP yang kita tunggu-tunggu tidak jua muncul.
Ini tentang bagaimana pengusaha kena pajak harus menyikapi migrasi barang kebutuhan pokok dari pasal 4a ke pasal 16b. Ibarat sudah tidak diakui di kavling 4a, sudah diminta pindah ke kavling 16b, tetapi belum ada pengatuan teknisnya. Sedangkan 16b itu teknis sekali.
ADVERTISEMENT
Harus bagaimana, masuk tidak dipungut, atau dibebaskan? Menggunakan kode 07 atau 08? Bagaimana cap pada Faktur Pajak yang dikeluarkan? Barang apa saja yang dimaksud? Pemilihan diksi “antara lain” artinya adalah barang yang disebutkan hanyalah contoh dan tidak mutlak hanya barang yang tersurat itu saja. Bagaimana dengan gula, masuk kebutuhan pokok atau tidak? Kemudian bagaimana memilah barang mana yang tidak termasuk kebutuhan pokok? Daging mana yang harus kena PPN dan mana yang tidak?
Satu-satunya petunjuk yang bagai kelap-kelip di tengah lautan adalah adanya SP – 39 /KLI/2022, tertanggal 31 Maret 2022. Disebutkan, “Barang dan Jasa tertentu TETAP DIBERIKAN FASILITAS BEBAS PPN antara lain: barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi.”
ADVERTISEMENT
Diksi “tetap diberikan fasilitas bebas PPN” ini menurut saya cukup ngeselin. Seolah sejak dulu pengaturannya adalah dibebaskan, padahal tidak. Dulu tidak dikenakan PPN. Dan diksi ini juga seolah mengatakan, karena sudah seperti yang dulu, maka tidak perlu ada PP sebagaimana yang disyaratkan Undang-undang.
Mari kita cek paragraph selanjutnya, “Barang tertentu dan jasa tertentu TETAP TIDAK DIKENAKAN PPN: 1 barang yang merupakan objek Pajak Daerah, dan seterusnya.”
Nah, untuk penggunaan diksi “tetap tidak dikenakan PPN” yang ini saya sepakat karena sejak dulu obyek pajak daerah memang tidak dikenakan PPN.
Pada SP-39 DJP juga menjanjikan, “Pengaturan lebih lanjut mengenai UU HPP klaster PPN akan tertuang dalam … 14 PMK,”
Dan janji itu betul-betul dilaksanakan di bulan Agustus 2022.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi tidak menerbitkan PP mengenai barang kebutuhan pokok ini, DJP sempat loh menerbitkan PER-03/PJ/2022 yang maju mundur cantik karena lima bulan kemudian sudah diganti menjadi PER-11/PJ/2022. DJP juga baru saja menerbitkan PP 44 2022 sebagai pengganti PP 01 2012 dan PP 9 2021.
Bagaimana pelaku usaha harus menjalankan teknis administratif perpajakan terkait penjualan dan pembelian barang kebutuhan pokok ini? Bersandar pada siaran Pers saja terdengar absurd, karena Siaran Pers tentu saja bukan dasar hukum. Tentu saja tidak ada Siaran Pers pada hierarkhi peraturan perundang-undangan kita. Tetapi lalu harus berpegang pada apa? Bila dihitung sudah sekitar sepuluh bulan pelaku usaha berada dalam ketidakpastian.
Apakah pembuat kebijakan belum sempat menerbitkan PP terkait Barang dan Jasa ini? Apakah pengusahan memang harus menunggu? Atau Siaran Pers itu adalah petunjuk bahwa tidak ada lagi yang ditunggu karena memang tidak akan terbit PP?
ADVERTISEMENT
Saya nanya. Saya sangat serius bertanya tanya.