Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengoptimalkan Demokrasi dengan Menjernihkan Konsep Politik
2 November 2023 12:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Miftah Rinaldi Harahap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika ide tentang perpanjangan masa jabatan presiden kembali bergulir ke publik, semua orang seakan mengatakan bahwa ide ini akan mencederai cita-cita reformasi 1998. Peristiwa yang menjadi tanda masuknya Indonesia ke dalam sistem demokrasi dan meninggalkan sistem otoritarianisme. Semenjak peristiwa itu semua orang memberikan perhatian penuh kepada demokrasi.
ADVERTISEMENT
Demokrasi seakan diharapkan mampu memberikan solusi atas segala macam permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini.Saat pengharapan itu surplus terhadap demokrasi, pengharapan justru defisit terhadap politik. Padahal demokrasi hanya disebut demokrasi jika politik menjadi esensi-nya.
Tetapi inilah paradoks yang terjadi, dimana semua orang berharap kepada demokrasi tetapi pada saat yang sama membenci politik. Kira –kira tulisan ini akan mencoba mengulas paradoks tersebut. Shapiro (1999) menyebut mereka yang terlalu berharap kepada demokrasi sebagai penganut pandangan maksimalis.
Pandangan maksimalis adalah pikiran kaum demokrat yang meletakkan terlampau banyak harapan pada demokrasi dan karena itu menimpakan beban yang besar pada demokrasi. Selain itu, pandangan maksimalis juga mengharapkan adanya partisipasi menyeluruh dalam pengambilan keputusan kolektif.
ADVERTISEMENT
Lalu mereka juga berharap bahwa pengambilan keputusan itu dilaksanakan melalui proses deliberatif yang melibatkan publik secara luas. Mereka juga meminta adanya implementasi kehendak kolektif serta pertanggungjawaban dari para legislator dan politisi yang mereka pilih. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka juga berharap demokrasi akan membantu menciptakan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang.
Demokrasi diminta untuk menghapus korupsi, mengurangi kemiskinan, menghapuskan ketidakadilan, meningkatkan kesejahteraan sosial, menghukum penjahat hak asasi, mencegah perang dan kekerasan. Demokrasi diharapkan sebagai all thing to all people (Robet, 2021:97).
Melalui perspektif ini kita bisa melihat bahwa demokrasi seakan dijadikan sebagai satu-satunya solusi yang mampu untuk mengatasi semua persoalan. Namun, ketika melihat data yang dirilis oleh EUI (The Economist Intelligence Unit) tentang laporan indeks demokrasi dunia, Indonesia menduduki posisi ke-52 dunia dengan skor 6,71.
ADVERTISEMENT
EUI mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy). Negara yang demokrasi cacat umumnya telah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil.
Tetapi, kendati demikian, negara dengan demokrasi cacat memiliki sejumlah masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik anti-kritik, partisipasi politik warga yang rendah ,serta kinerja pemerintah yang jauh dari optimal (databoks.katadata.co.id,14/2/2022). Melihat data yang telah disajikan sebelumnya, tentu adalah sebuah realitas politik yang harus diterima oleh mereka yang berpandangan demokrasi maksimalis.
Realitas politik tersebut seakan menegaskan bahwa ada kontradiksi antara imajinasi kaum maksimalis tentang demokrasi dengan keadaan konkret kepolitikan secara umum yang justru memperlihatkan keterbatasan imajinasi itu. Keterbatasan imajinasi ini yang kemudian melahirkan sinisme seperti kalimat: “demokrasi dibajak oleh elite.”
ADVERTISEMENT
Sinisme ini mengandaikan bahwa demokrasi dan tujuan politik secara umum merupakan satu kesatuan. Seolah demokrasi secara alamiah dimiliki oleh “yang bukan elite,” sehingga kalau sekarang yang tampil mengisi proses demokratisasi kebanyakan adalah elite partai, maka bagi mereka artinya demokrasi telah dicuri dari pemilik sebenarnya.
Padahal demokrasi adalah ruang kosong yang dapat diisi oleh apa pun dan siapa pun, demokrasi tidak pernah menentukan nilai atau konsep apa yang harus ada di dalam dirinya.
Demokrasi juga tidak pernah membatasi dirinya terhadap siapa pun yang tertarik menggunakannya untuk mencapai tampuk kekuasaan. Singkatnya, ia hanya sebuah fasilitas tak lebih. Hal ini selaras dengan pandangan dari Laclau dan Mouffe (1985) yaitu demokrasi adalah sarana atau fasilitas dalam kebebasan, oleh karenanya, ia selalu merupakan arena kosong yang terbuka, atau dalam istilah lain disebut sebagai empty signifier.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian mengharapkan demokrasi akan menghasilkan keadilan, etika, moralitas, egalitarianisme, serta keutamaan-keutamaan yang lain adalah sesuatu hal yang tidak tepat. Hal-hal demikian harusnya digantungkan kepada politik yang menjadi ruh demokrasi itu sendiri.
Menjernihkan Konsep Politik
Jika kita bertanya kepada orang Indonesia tentang ”apa itu politik?” Maka akan ada tiga pendapat yang mengemuka. Pendapat yang pertama adalah mereka yang menganggap politik sebagai sesuatu hal yang menjijikkan karena di dalamnya penuh intrik, kelicikan, dan kekerasan. Pendapat yang kedua adalah mereka yang menganggap politik adalah tentang jabatan-jabatan publik seperti legislatif, kepresidenan , kabinet dan partai-partai.
Pendapat ketiga yang menganggap bahwa politik adalah tentang kuasa semata-mata yang disertai kewenangan dalam menentukan cara. Singkatnya, politik menjadi persis sebagaimana yang dipahami oleh kaum behavorialis Amerika sebagai who gets what,when and how. Tak ada pemahaman nilai dan tindakan etis di dalamnya (Robet, 2021:96).
ADVERTISEMENT
Lantas, benarkah politik seperti yang digambarkan tiga pendapat sebelumnya? Pada mulanya politik adalah sebuah upaya untuk menghasilkan kebahagiaan di dalam kehidupan masyarakat. Politik dianggap sebagai aktivitas paling penting karena melalui politik manusia dapat mengelola potensi yang berserakan di antara mereka; saling memahami dalam perbedaan yang ada;juga saling menjaga peraturan yang telah disepakati bersama (Elvandi, 2011:1).
Aristoteles menjelaskan secara komprehensif tentang politik melalui konsepsi zoon politikon. Konsep zoon politikon menjelaskan bahwa hakikat manusia yang secara alamiah selalu berkehendak untuk merealisasikan kapasitasnya dalam kehidupan berkomunitas melalui tindakan pemenuhan keadilan bersama (Yack dalam Robet, 2021:104).
Melalui penjelasan sebelumnya bisa dilihat bahwa politik adalah tindakan atau aktivitas yang berorientasi kepada tiga hal esensial yaitu komunikasi, publik dan keadilan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Maka, dapat dikatakan bahwa politik adalah esensi dari demokrasi karena mensyaratkan komunikasi. Kemudian, politik juga adalah etika karena berupaya untuk mendistribusikan keadilan guna tercapainya kebahagiaan bersama.
Terakhir, politik konsepsi yang mengutamakan kebahagiaan bersama, maka politik juga berarti republik. Oleh sebab itu, perlu kiranya kita kembali untuk mengoptimalkan demokrasi dengan menjernihkan kembali konsep politik.