Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Balada Pemilihan Anggota BPK
28 September 2021 15:38 WIB
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
DPR baru saja mengesahkan keterpilihan Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota BPK yang baru . Sebuah keputusan yang membuat publik geram dan dibanjiri protes di sana-sini. Publik menganggap keputusan ini secara kasat mata telah mengangkangi hukum.
ADVERTISEMENT
Nyoman Adhi Suryadnyana, adalah mantan pengelola keuangan negara (KPA). Dia pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III) terhitung sejak diangkat pada 3-10-2017 sampai berhenti pada 30-12-2019.
Dengan begitu, Nyoman sebetulnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPK yang baru, setidaknya sampai 30-12-2021. Mengapa demikian? Alasannya jelas karena Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 mensyaratkan setiap calon anggota BPK sudah harus meninggalkan jabatannya di lingkungan pengelola keuangan negara paling tidak minimal 2 (dua) tahun saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota BPK.
Sementara, kalau dihitung-hitung, Nyoman yang baru berhenti pada Desember 2019 hingga kini belum genap dua tahun meninggalkan jabatannya. Saat DPR membuka masa pendaftaran calon anggota BPK pengganti Bahrullah Akbar pada 2-11 Juni 2021, Nyoman Adhi Suryadnyana baru meninggalkan jabatannya di lingkungan pengelola keuangan negara (KPA) kurang lebih satu tahun lima bulan.
ADVERTISEMENT
Maka, terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana baru-baru ini menimbulkan pertanyaan dibenak banyak pihak. Mengapa DPR memilih orang yang tidak memenuhi syarat formil sebagai anggota BPK, sementara pada saat yang bersamaan terdapat calon lain yang tidak kalah kompeten dan memenuhi syarat sebagai anggota BPK?
Secara logika politik, pilihan DPR tersebut membuat orang tidak bisa keluar dari anggapan bahwa ada kepentingan politik praktis atas terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana. Hal ini sangat terkait erat dengan fungsi dan wewenang BPK sebagai lembaga audit negara. Jangan-jangan, Nyoman Adhi Suryadnyana adalah orang titipan politisi di DPR dalam upaya mengamankan harta-harta yang diraup secara ilegal dari proyek-proyek gelap.
Berulang
Kasus terpilihnya calon yang tidak memenuhi syarat sebagai anggota BPK bukan kali ini saja terjadi. Tindakan yang mirip tulen, bahkan bisa dikatakan "kembar siam" pernah dilakukan DPR pada pemilihan anggota BPK medio 2009-2014.
ADVERTISEMENT
Saat itu, dua orang yang tidak memenuhi syarat tiba-tiba dipilih oleh Komisi XI DPR sebagai anggota BPK. Mereka adalah Dharma Bhakti dan Gunawan Sidauruk yang sama-sama tidak memenuhi syarat telah meninggalkan jabatan di lingkungan pengelola keuangan negara (KPA) minimal 2 tahun. Karena Dharma Bhakti pada saat mencalonkan diri sebagai anggota BPK merupakan Sekretaris Jenderal BPK RI. Sedangkan, Gunawan Sidauruk adalah Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat. Dua jabatan yang terkategori sebagai pengelola keuangan negara.
Namun, kendati kasusnya memilki kemiripan yang identik dengan kasus terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana, keputusan akhir DPR pada pemilihan anggota BPK medio 2009-2014 agaknya lebih bijak ketimbang keputusan yang diambil DPR terkait polemik terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana.
Pada saat Komisi XI DPR memilih Dharma Bhakti dan Gunawan Sidauruk, Sidang Paripurna DPR membatalkan keterpilihan mereka pasca MA mengirimkan fatwa "sakti" kepada DPR. Inti fatwa tersebut adalah memerintahkan DPR untuk membatalkan pengesahan Dharma Bhakti dan Gunawan Sidauruk sebagai anggota BPK karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
Sementara, DPR periode ini secara terang-terangan mengesahkan keterpilihan Nyoman Adhi Suryadnyana dalam Sidang Paripurna (21/9). Padahal, pada saat yang bersamaan fatwa baru MA yang terbit melarang dilantiknya Nyoman sebagai anggota BPK. Fatwa tersebut dasarnya sangat jelas, karena yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai anggota BPK.
Faktor Penyebab
Kasus yang berulang tersebut akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan: mengapa itu bisa terjadi? Dari perspektif hukum tata negara, kita bisa mengatakan jika penyebabnya terletak pada aturan mekanisme pemilihan anggota BPK yang tidak didesain dalam kerangka checks and balances --saling mengawasi dan saling kontrol antar lembaga negara.
Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mekanisme pemilihan anggota BPK menyatakan: Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Dari pembacaan pasal ini, meskipun dapat dikatakan bahwa ada tiga lembaga yang terlibat --DPR, Presiden dan DPD, tetapi sesungguhnya proses pemilihan dimonopoli oleh DPR. Peran yang dimiliki oleh Presiden hanya bersifat administratif berupa meresmikan anggota BPK terpilih dan DPD hanya sebatas memberi pertimbangan atau masukan kepada DPR.
ADVERTISEMENT
Masukan DPD kepada DPR pun sifatnya tidak mengikat. Seperti yang terjadi pada peristiwa terpilihnya Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota BPK menggantikan Bahrullah Akbar. DPD telah memberikan surat penolakan kepada DPR untuk mengangkat Nyoman sebagai anggota BPK. Tapi, masukan ini sama sekali tidak dijadikan rujukan bagi DPR dalam membuat keputusan. Hal ini terlihat sekali dengan adanya fakta bahwa Nyoman tetap disahkan DPR melalui Sidang Paripurna.
Dengan demikian, tiadanya mekanisme checks and balances karena pemilihan anggota BPK dimonopoli oleh DPR telah menyebabkan lahirnya absolutisme kekuasaan. DPR sangat berkuasa menentukan siapa yang akan duduk di kursi lembaga audit negara tanpa pengawasan dan kontrol dari lembaga lain. Padahal, pada saat yang bersamaan DPR merupakan lembaga politik yang anggotanya berasal dari partai politik sehingga setiap keputusan yang diambil sangat kental dengan nuansa kepentingan politik praktis.
ADVERTISEMENT
Solusi
Ada pepatah politik populer yang mengatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut pasti akan korup). Pepatah ini sangat relate dengan kasus pemilihan anggota BPK di atas. Karenanya, absolutisme kekuasaan DPR dalam pemilihan anggota BPK harus segera dibatasi.
Cara yang bisa lakukan untuk membatasi absolutisme kekuasaan tersebut adalah dengan melakukan amendemen terhadap Pasal 23F ayat (1) UUD 1945. Amendemen terhadap pasal ini harus menghasilkan sistem checks and balances pada mekanisme pemilihan anggota BPK. Yaitu, menempatkan lembaga lain (selain DPR) yang memiliki peran seimbang dengan DPR dalam proses pemilihan anggota BPK sebagai perwujudan bentuk saling kontrol dan saling mengawasi antar lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Dari semua lembaga negara yang ada, lembaga yang paling cocok menjadi partner DPR dalam proses seleksi anggota BPK adalah DPD. Sebab pertama, DPD merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum sehingga semakin memperkuat legitimasi anggota BPK terpilih. Kedua, anggota DPD merupakan seorang yang dipilih melalui jalur independen (non-parpol) sehingga bisa menjadi lembaga yang mengimbangi kepentingan politik anggota DPR dalam pengambilan keputusan.
Namun, perlu dipahami bahwa amendemen konstitusi memerlukan waktu yang relatif agak lama karena membutuhkan kesepakatan politik bersama antara elite politik dan rakyat. Sementara, pada saat yang bersamaan masa jabatan anggota BPK akan habis pada 2022 nanti. Tentu kita tidak mau pemilihan anggota BPK pada 2022 nantinya diwarnai oleh kasus serupa sebelum-sebelumnya berupa pelanggaran hukum lagi.
ADVERTISEMENT
Ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar, kita membutuhkan pelabuhan sementara sebagai jeda untuk sampai pada tujuan yang kita kehendaki. Maka, sebagai alternatif sementara sebelum amendemen konstitusi tersebut dilakukan, mekanisme pemilihan anggota BPK perlu melibatkan peran tim seleksi khusus yang keanggotaannya menyertakan perwakilan dari civil society untuk mengontrol kekuasaan absolut yang dimiliki DPR.
Pelibatan tim seleksi khusus juga dilakukan pada mekanisme pemilihan anggota lembaga negara lain. Misalnya, anggota KPU, Bawaslu, KPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Ombudsman. Dengan demikian, hal ini merupakan praktik yang lazim dalam sistem ketatanegaraan kita sehingga tidak akan menimbulkan masalah ketatanegaraan baru.
Rino Irlandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, anggota Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Seluruh Indonesia (AMHTN-SI)
ADVERTISEMENT