Konten dari Pengguna

Jalan Pintas Revisi UU ITE

Rino Irlandi
Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang meminati kajian hukum tata negara, pemilu, partai politik dan antikorupsi
29 Juni 2021 13:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
UU ITE (Ilustrasi) Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
UU ITE (Ilustrasi) Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Penantian panjang revisi UU ITE belum ada akhirnya. Presiden dan DPR memang berencana merevisi UU yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2019-2024 itu. Namun, rencana tersebut masih samar-samar. Belum ada titik terang.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Pemerintah memang mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik guna "menutupi" kelemahan UU ITE: multitafsir. Tetapi, keputusan ini tidak menyelesaikan masalah.
Pasalnya, selain berisi tafsir sepihak Pemerintah, sifat "pedoman" surat keputusan bersama tidak mengikat bagi penegak hukum. Sehingga, jalan satu-satunya menyempurnakan kelemahan UU ITE adalah merevisi atau mengubahnya. Secara konstitusional, yang berwenang mengubah UU adalah Presiden dan DPR.

Jalur Konvensional

Mekanisme untuk merevisi suatu undang-undang yang sudah berlaku diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang sudah diubah sebagian pasalnya dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.
Dalam undang-undang tersebut, tahap pembahasan revisi undang-undang terdiri dari dua tahap, yakni tahap pembahasan tingkat satu dan pembahasan tingkat dua. Pada pembahasan tingkat satu, kegiatan yang dilakukan adalah pengantar musyawarah, pembahasan DIM, dan penyampaian pendapat mini. Sementara, kegiatan pembahasan tingkat dua merupakan forum untuk memperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
ADVERTISEMENT
Di tengah kebutuhan mendesak revisi UU ITE, jalur konvensional ini menurut saya bukanlah jalan terbaik. Sebab, selain prosesnya yang berbelit-belit, merevisi undang-undang melalui jalur ini membutuhkan banyak "kompromi" antara DPR dan Presiden (atau menteri yang mewakili) sehingga memakan waktu yang relatif lebih lama.

Jalan Pintas?

Jalan lain merevisi UU ITE adalah dengan mengeluarkan Perppu. Jalan ini dianggap lebih cepat daripada melakukan revisi undang-undang melalui jalur konvensional. Sebab, penerbitan perppu tidak memerlukan dua tingkat pembahasan sebagaimana revisi undang-undang melalui jalur konvensional.
Konstitusi mengatur mekanisme penerbitan perppu dalam Pasal 22 UUD NRI 1945. Ada empat hal yang diatur: Pertama, hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua, yang berwenang menerbitkannya adalah Presiden. Ketiga, perlu persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya. Keempat, jika DPR tidak menyetujuinya, perppu harus dicabut.
ADVERTISEMENT
Mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa, UUD NRI 1945 tidak memberikan penafsiran secara eksplisit. Karenanya, secara teoritik, kita bisa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi dan tafsirnya dianggap sah secara hukum.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa harus memenuhi tiga syarat yang bersifat kumulatif.
Ketiga syarat dalam putusan tersebut adalah; pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum dengan cepat berdasar undang-undang. Kedua, terjadi kekosongan hukum atau undang-undang yang sudah ada tidak memadai untuk menyelesaikan masalah hukum tersebut. Ketiga, kekosongan hukum tidak bisa teratasi jika undang-undang dibuat melalui prosedur biasa.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, apakah revisi UU ITE memenuhi tiga syarat kumulatif itu? Jangan lupa, dalam putusan yang sama, MK menyatakan bahwa ketiga syarat kumulatif diserahkan kepada subjektivitas Presiden. Sementara, objektivikasinya diserahkan kepada DPR.
Dengan demikian, artinya terbuka peluang bagi Presiden untuk menyatakan tiga syarat kumulatif tersebut terpenuhi. Apalagi, publik selama ini mendesak undang-undang tersebut untuk direvisi. Jadi, sejauh ini tidak ada halangan yang berarti bagi Presiden untuk menerbitkan perppu.
Tiadanya halangan yang berarti itu bertambah jadi manakala DPR sejauh ini terbuka untuk merevisi UU ITE. Itu artinya, persetujuan dari DPR dalam persidangan berikutnya sebagaimana yang disyaratkan oleh Pasal 22 UUD NRI 1945 relatif mudah didapatkan.
Hanya saja, pertanyaan berikutnya adalah seberapa serius keinginan Presiden untuk merevisi UU ITE. Dari pernyataannya yang diberitakan diberbagai media tampak keseriusan itu. Namun, pernyataan tanpa tindakan yang berani tentu adalah "omong kosong" belaka. Salah satu tindakan berani itu adalah menerbitkan perppu revisi UU ITE.
ADVERTISEMENT

Substansi Perppu

Meskipun penerbitan perppu merupakan hak prerogatif Presiden, dalam proses penerbitannya Presiden tetap harus mendengarkan masukan dari publik. Sebab, dia terpilih sebagai Presiden melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Untuk menyebutnya, istilah populer yang sering diungkapkan oleh orang-orang adalah Presiden merupakan corong dari keinginan rakyat.
Sejauh ini sudah begitu banyak masukan yang diberikan oleh publik. Misalnya, pasal yang sering dianggap publik bermasalah adalah Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2) a, Pasal 40 ayat (2) b, dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE.
Segala masukan publik harus didengarkan dan dipertimbangkan dengan bijak oleh Presiden untuk dimasukkan sebagai substansi perppu UU ITE nantinya. Jika tidak, bukan tidak mungkin publik akan menganggap revisi tersebut tidak merepresentasikan keinginan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Rino Irlandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, anggota Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Seluruh Indonesia (AMHTN-SI).