Konten dari Pengguna

Mematahkan Argumen Politik Kartel

Rino Irlandi
Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang meminati kajian hukum tata negara, pemilu, partai politik dan antikorupsi
9 Juli 2021 16:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
Judul Buku : Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi
ADVERTISEMENT
Penulis : Kuskridho Ambardi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009
Tebal : xx+404 hlm.
Hari ini saya baru saja menyelesaikan membaca satu buku yang berasal dari disertasi di Ohio State University. Buku tersebut berjudul “Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Penulisnya merupakan dosen di FISIP, UGM, ialah siapa lagi kalau bukan Kuskridho Ambardi.
Buku yang ditulis oleh Kuskridho Ambardi ini berhasil membuktikan bentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi selama dua periode awal Pemilu di era reformasi –Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Apa itu sistem kepartaian yang terkartelisasi? Kuskridho Ambardi mengartikannya sebagai situasi di mana partai politik mengabaikan komitmen ideologis dan programatik mereka demi kelangsungan hidup partainya (memburuh jabatan politik dan ekonomi) sebagai satu kelompok (hlm. 353-356).
ADVERTISEMENT
Fakta bahwa studi dalam buku ini hanya berfokus pada periode Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, menurut saya, menjadi kelemahan tersendiri. Pada satu sisi, fokus studi ini bisa dibenarkan karena disertasinya sendiri selesai pada tahun 2008. Namun, di sisi lain, fokus pada dua periode pemilu itu menihilkan kemungkinan patahnya argumentasi yang dibangun penulis pada periode pemilu-pemilu selanjutnya.
Berhubungan dengan itu, dalam tulisan pendek ini, saya bermaksud menguji argumen politik kartel yang dibangun oleh penulis dalam buku ini. Pengujian argumen tersebut akan saya lakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kritis: apakah periode Pemilu 2009, 2014 dan 2019 juga menghasilkan sistem kepartaian yang terkatelisasi atau tidak?
Argumen Politik Kartel
Untuk menguji argumennya tentang politik kartel atau sistem kepartaian yang terkartelisasi, Kuskridho Ambardi melihat interaksi antarpartai di tiga arena. Pertama, interaksi di arena elektoral atau pemilu. Kedua, interaksi di arena pemerintahan. Dan yang ketiga, interaksi di arena legislatif.
ADVERTISEMENT
Di tiga arena tersebut, Kuskridho Ambardi membuktikan bahwa pada periode Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, persaingan yang kompetitif antarpartai hanya terjadi di arena elektoral atau pemilu. Sisanya, baik di arena pemerintahan maupun arena legislatif, persaingan antarpartai tidak lagi kompetitif. Justru, di dua arena yang terakhir ini semua partai politik saling bekerjasama membentuk koalisi.
Fakta bahwa partai politik hanya bersaing sengit di arena pemilu dan melupakan persaingan di arena lainnya membuat Kuskridho Ambardi menyimpulkan bahwa partai politik telah membuat satu kelompok yang terkartelisasi. Pada saat yang sama, ketika partai politik mengelompok dalam satu koalisi besar, oposisi yang bertugas sebagai penyeimbang kekuasaan tidak terbentuk.
Lantas, dengan demikian, apa alasan yang sebenarnya mendorong partai-partai politik membentuk kelompok yang terkartelisasi itu? Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, tujuan mereka membentuk kelompok kartel tersebut adalah untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka berburu jabatan di kabinet dan parlemen dalam rangka mengambil uang-uang “haram” yang bersumber dari negara. Hal ini seperti yang dijelaskan Kuskridho Ambardi dalam Bab 6.
ADVERTISEMENT
Dalam Bab 6, Kuskridho Ambardi memaparkan kasus-kasus “korupsi” selama masa pemerintahan –baik di kabinet maupun parlemen hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Semua kasus “korupsi” ini melibatkan semua partai politik yang ada pada saat itu. Diantaranya, misalnya, kasus korupsi di DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) semasa Pemerintahan Presiden Megawati (2001-2004).
Kasus korupsi di DKP ini pada intinya mempertontonkan bagaimana uang-uang “haram” mengalir ke dompet partai politik melalui dua jalur. Jalur pertama adalah melalui saluran pribadi tokoh utama partai. Semua tokoh partai politik dalam kasus ini mendapatkan “bagiannya” masing-masing. Jalur kedua adalah melalui jabatan di Komisi III DPR RI. Komisi yang terdiri dari semua perwakilan partai politik ini memperlancar proses legislasi DKP dan diduga mendapat imbalan “uang haram”.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, argumen politik kartel yang dikemukakan Kuskridho Ambardi dalam buku ini tampak kuat. Partai-partai politik tergabung dalam satu kelompok dan bertujuan “merampas” kekayaan negara. Karena melibatkan semua partai, mereka punya kepentingan yang sama untuk saling melindungi ketika skandal kasus korupsi terbongkar. Dalam kasus di DKP tadi, misalnya, partai-partai memilih bungkam dan menutup mulut.
Mematahkan Argumen
Meskipun argumen politik kartel tampak kuat, saya menilai bahwa argumen ini sudah terpatahkan dengan fakta adanya oposisi pada periode Pemilu 2009, 2014 dan 2019. Tidak seperti periode Pemilu 1999 dan 2004, pada tiga periode pemilu ini persaingan sengit antarpartai tidak saja terjadi pada arena pemilu tetapi juga di arena pemerintahan dan arena legislatif.
Hasil Pemilu 2009, 2014, dan 2019 memisahkan dua kelompok partai menjadi partai pendukung pemerintah dan partai oposisi. Dua kelompok ini bersaing sengit dan kompetitif selama jalannya pemerintahan hasil pemilu, terutama di arena legislatif. Artinya, tesis penulis buku ini tentang politik kartel yang mengatakan bahwa partai politik membentuk satu kelompok dan tidak adanya oposisi terpatahkan.
ADVERTISEMENT
Walaupun pada satu sisi saya mematahkan argumen penulis, di sisi lain, saya sependapat dengan penulis tentang hilangnya peran ideologi partai dalam menentukan perilaku mereka. Sebabnya, koalisi yang terbentuk dewasa ini –baik koalisi pendukung pemerintah atau koalisi oposisi membuang faktor ideologis.
Saya kasih contoh, misalnya, partai pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin merupakan koalisi gado-gado. Partai dengan corak ideologi yang saling menegasikan bekerjasama mendukung pemerintahan mereka. Dalam konteks keagamaan, misalnya, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) merupakan partai islam sedangkan PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) merupakan partai sekular.
Meskipun penulis buku ini mengkategorikan koalisi yang mengabaikan corak ideologis sebagai salah satu ciri politik kartel, namun ciri lain tidak bisa diabaikan. Seperti yang sudah saya sebut bahwa adanya oposisi pemerintahan saat ini mematahkan argumen politik kartel. Dengan demikian, karena ini merupakan ciri yang kumulatif, kita tidak bisa menyimpulkan pengabaian corak ideologis dalam pembentukan koalisi adalah indikasi masih “hidupnya” politik kartel.
ADVERTISEMENT
Rino Irlandi, peminat kajian hukum tata negara dan kepemiluan.