Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membatalkan Presidential Threshold
22 Desember 2021 13:13 WIB
Tulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam itu (11/12) sebuah pesan di WA Grup masuk. Di sebuah grup yang biasa menjadi tempat kami mendiskusikan problematika politik dan ketatanegaraan. Pesan yang masuk terlihat agak panjang. Sangat berbeda dari biasanya. Pelan-pelan aku membaca pesan itu yang ternyata isinya adalah sebuah salinan berita dari situs media berita ternama. Berita ini memuat kabar tentang digugatnya presidential threshold ke MK oleh dua orang senator. Kedua senator ini menggandeng Refly Harun, seorang pakar hukum tata negara sebagai kuasa hukumnya.
Tak berselang lama, respon dari teman-teman satu grup saling bersahutan menganggapi pesan itu. Ada yang bernada optimis, namun tak sedikit pula yang bernada pesimis. Mereka yang pesimis melandasi argumen mereka pada putusan-putusan MK sebelumnya; bahwa 13 kali aturan presidential threshold digugat ke MK, 13 kali pula MK menolaknya. Amar putusan MK selalu menyatakan aturan presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Aku pikir-pikir logis juga argumen teman-teman yang pesimis ini. Buat apa memperjuangkan sesuatu yang jelas-jelas sudah ditolak berkali-kali. Jelas gugatan yang ke-14 kalinya ini adalah sebuah kesia-siaan. Namun, aku adalah bagian dari orang-orang yang optimis terhadap gugatan kali ini. Menurutku, selalu terbuka ruang bagi hakim-hakim MK untuk berubah pikiran, selagi para pemohon bisa membuktikan dalil inkonstitusional aturan presidential threshold.
Urgensi Pemilu
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Prinsip kedaulatan rakyat ini merupakan ciri utama dari konsep demokrasi, sehingga pasal ini secara eksplisit mengindikasikan bahwa negara kita adalah negara demokrasi.
Demokrasi menurut para ahli berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di negara demokrasi, rakyat diletakkan bukan sebagai subjek yang didekte oleh penguasa, melainkan bersama-sama penguasa turut serta dalam proses pemerintahan. Bahkan, di negara demokrasi, rakyat biasa dari berbagai latar belakang dapat menjadi penguasa itu sendiri.
Penjelmaan rakyat biasa menjadi penguasa dilakukan melalui prosedur pemilihan umum (pemilu). Pemilu menjadi pintu bagi rakyat untuk menjadi penguasa, sehingga kedaulatan rakyat yang merupakan ciri utama dari demokrasi bisa terlaksana dengan baik. Karena itu, demokrasi dan pemilu ibarat dua sisi mata uang koin. Keduanya sama sekali tidak bisa dipisahkan.
Negara yang tidak melaksanakan pemilu tidak bisa dikatakan sebagai negara demokrasi. Sependek pengetahuanku, para ahli demokrasi mengamini pernyataanku ini. Misalnya, Samuel Huntington (1991) menyebut pemilu sebagai bentuk operasional dari demokrasi. Sementara itu, Robert Dahl (2002) menyebut pemilu sebagai syarat berjalannya demokrasi.
Karena itu, negara kita juga mengadopsi prosedur pemilihan umum sebagai sarana regenerasi kepemimpinan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Rekayasa Oligarki
Urgensi pemilu di negara demokrasi tersebut membuat semua negara demokrasi menjalankan prosedur pemilu. Tidak ada negara demokrasi yang tidak menjalankan pemilu. Namun, kendati pemilu sudah diselenggarakan, kenyataannya tidak semua pemilu di negara demokrasi dijalankan secara demokratis. Sebagian dari mereka menjalankan pemilu untuk menjaga kepentingan elite dan oligarki. Pemilu ada, tapi aturannya direkayasa sehingga berjalan tidak adil.
Sebagai contoh, pada zaman Orde Baru negara kita melaksanakan pemilu. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR secara langsung dan presiden secara tidak langsung. Melalui peraturan perundang-undangan, penguasa orde baru melakukan rekayasa terhadap mekanisme pengisian jabatan presiden dan wakil rakyat agar kekuatan oligarki selalu tampil sebagai pemenang. Hasilnya, 32 tahun kekuatan oligarki ini memimpin bangsa kita.
Pada masa reformasi, ada rekayasa serupa tapi tak sama. Oligarki masih berupaya merekayasa aturan pemilu agar kekuatan kelompok mereka selalu tampil sebagai pemenang. Mereka menginstall aturan presidential threshold ke dalam regulasi pemilu presiden. Menurut aturan presidential threshold ini, yang bisa mengajukan pasangan capres-cawapres hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki paling sedikit 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu periode sebelumnya.
Padahal, kalau kita membaca aturan konstitusi mengenai pemilihan presiden secara seksama, semua parpol peserta pemilu berhak mengajukan pasangan capres-cawapres. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Berdasarkan aturan konstitusi tersebut, tidak ada klausul bahwa pasangan capres-cawapres harus diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki jumlah kursi atau jumlah suara tertentu. Pasal 6A ayat (2) ini hanya menyatakan pasangan capres-cawapres "diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum". Artinya, menurut aturan konstitusi ini, semua parpol berhak mengusulkan pasangan capres-cawapres, tanpa memperdulikan jumlah kursi yang mereka miliki atau suara yang mereka raih pada pemilu periode sebelumnya.
Secara konsep, pembentuk undang-undang pemilu juga gagal paham terhadap esensi dan maksud presidential threshold. Menurut J. Mark Payne dalam buku Democracies im Development: Politics and Reform in Latin America, presidential threshold adalah syarat bagi seorang capres untuk terpilih menjadi presiden. Misalnya di Brazil pasangan capres-cawapres harus mengantongi suara 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.
Sehingga, menurut pengertian J. Mark Payne itu, presidential threshold seharusnya dipahami sebagai syarat bagi pasangan capres-cawapres untuk terpilih menjadi presiden dan wapres, bukan syarat bagi parpol untuk mengajukan pencalonan presiden dan wapres sebagaimana yang dipahami pembentuk undang-undang ketika menginstall presidential threshold ke dalam regulasi pemilu presiden yang berlaku saat ini.
Berharap Pada MK
Secara struktural, MK menjadi bagian dari cabang kekuasaan kehakiman yang bersifat independen, mendiri dan bebas dari pengaruh cabang kekuasaan manapun. Keterpisahan ini membuat hakim-hakim MK bebas dalam memutuskan suatu perkara konstitusional.
Namun, kendati secara struktural MK bebas dari pengaruh cabang kekuasaan manapun, hakim-hakim MK tetap memiliki nilai-nilai yang dipegang yang mempengaruhi mereka dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, kita berharap hakim-hakim MK yang saat ini sedang menjabat memegang teguh nilai-nilai demokrasi dan konstitusionalisme.
Dua nilai ini saya harapkan bisa menjadi dasar pemikiran hakim-hakim MK ketika memutus uji materil atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menjadi dasar hukum bagi pemberlakuan presidential threshold. Sehingga, ujung-ujungnya saya berharap MK membatalkan pemberlakuan presidential threshold. Amar putusan yang saya harapkan: menyatakan aturan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
ADVERTISEMENT