Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengawasi Pemilihan Hakim Agung
16 Agustus 2021 14:26 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rino Irlandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2021 ini, Komisi Yudisial (KY) melaksanakan seleksi pemilihan calon hakim agung. Proses seleksi telah berlangsung untuk mengisi 13 kursi kosong di Mahkamah Agung. Ketiga belas kursi kosong tersebut adalah dua hakim agung untuk Kamar Perdata, delapan hakim agung untuk Kamar Pidana, satu hakim agung untuk Kamar Militer, dan dua hakim agung untuk Kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus pajak.
ADVERTISEMENT
Dalam proses seleksi kali ini, publik harusnya menjadi garda terdepan dalam upaya mengawasi keseluruhan proses seleksi. Dari tahap awal hingga terpilih dan dilantiknya hakim agung. Sebab, dengan adanya pengawasan yang ketat dari publik, diharapkan proses seleksi akan berjalan penuh integritas sehingga melahirkan hakim agung yang jujur, profesional, bertanggung jawab dan memegang teguh prinsip independensi.
Kecolongan
Hingga kini, proses seleksi calon hakim agung sudah memasuki babak akhir. Wawancara yang menjadi tahapan terakhir proses seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial sudah terlaksana dari tanggal 3-7 Agustus 2021 kemarin. Artinya, calon yang lulus seleksi di Komisi Yudisial nantinya tinggal diputuskan sebelum akhirnya nama mereka disodorkan kepada DPR untuk dimintai persetujuan.
Berdasarkan keputusan rapat pleno Komisi Yudisial yang berlangsung pada 29 Juli 2021 telah diputuskan dan ditetapkan sebanyak 24 calon hakim agung yang lolos ke tahap wawancara. Namun, dari 24 nama yang lolos ini, nampaknya Komisi Yudisial kurang teliti dalam melihat rekam jejak dan kepribadian calon hakim agung.
ADVERTISEMENT
Pada saat sesi seleksi kesehatan dan kepribadian, harusnya Komisi Yudisial menelusuri secara mendalam kepribadian dan rekam jejak para calon hakim agung. Sehingga, dapat diklasifikasikan mana calon hakim agung yang memenuhi syarat kepribadian dan mana yang tidak memenuhi syarat.
Syarat kepribadian yang dimaksud adalah apa yang telah digariskan oleh Pasal 6A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang menyatakan: "seorang hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum."
Bila seorang calon hakim agung tidak memenuhi syarat kepribadian yang diatur dalam pasal tersebut, maka seharusnya Komisi Yudisial tidak meloloskan namanya dari tahapan seleksi kesehatan dan kepribadian ke tahapan seleksi wawancara.
ADVERTISEMENT
Nahasnya, di sinilah letak teledoran, kurang teliti dan kurang hati-hatinya Komisi Yudisial. Berdasarkan temuan dari Koalisi Pemantau Peradilan tempo hari, sebanyak tujuh calon atau tiga puluh persen dari seluruh calon hakim agung yang lolos ke tahap seleksi wawancara ternyata "cacat" integritas. Kepribadian yang seharusnya wajib dimiliki oleh seorang hakim agung.
Oleh karena itu, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung bahwa seorang hakim agung harus memiliki "integritas", maka seharusnya ketujuh nama yang "cacat" integritas tersebut digugurkan demi hukum dalam proses seleksi kesehatan dan kepribadian. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan dan itu sama artinya dengan Komisi Yudisial telah melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Terbuka Kesempatan
Kendati sudah meloloskan ketujuh nama calon hakim agung yang terindikasi "cacat" integritas dari seleksi kesehatan dan kepribadian, masih ada kesempatan bagi Komisi Yudisial untuk membenahi dan mengoreksi keputusannya.
Sebelum akhirnya calon hakim agung terpilih dan diresmikan oleh Presiden, masih ada fase penetapan calon hakim agung yang lolos seleksi wawancara dan permintaan persetujuan dari DPR. Maka, nama-nama yang terindikasi "cacat" integritas sebaiknya digugurkan pada masa penetapan calon hakim agung yang lolos seleksi wawancara.
Sebab, konstitusi yang harus ditaati dan dipatuhi oleh siapa pun, berdasarkan Pasal 24B ayat (1) sudah menugaskan Komisi Yudisial untuk menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Bila Komisi Yudisial berani meloloskan calon yang "cacat" integritas, tentu kehormatan dan kelurahan martabat sang hakim akan ikut "cacat" pula. Sehingga, secara langsung membuat Komisi Yudisial melawan perintah yang telah digariskan dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, secara teori, "cacat" integritas merupakan barang "haram" bagi seorang hakim agung apalagi masih berstatus sebagai "calon" hakim agung. Di mana integritas merupakan mahkota berharga bagi sang hakim. Tanpanya, marwah peradilan dan keagungan yang disematkan kepadanya lenyap seketika.
Rino Irlandi, peminat kajian hukum tata negara, tinggal di sumsel.