Konten dari Pengguna

Tren Franchise Es Teh di Mataram: Risiko Kesehatan dan Pola Konsumsi Masyarakat

riry rahmiati
Mahasiswi Sosiologi Universitas Mataram
21 Oktober 2024 15:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari riry rahmiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi beberapa franchise es teh di Kota Mataram.
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi beberapa franchise es teh di Kota Mataram.
ADVERTISEMENT
Di kota Mataram, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak franchise minuman es teh yang hadir di berbagai tempat. Tren ini merupakan bagian dari peningkatan konsumsi minuman manis di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Berdasarkan penelitian terbaru, terjadi kenaikan sebesar 25% dalam konsumsi minuman manis selama lima tahun terakhir di wilayah Kota Mataram ini. Kehadiran berbagai brand es teh dengan beragam varian rasa dan topping menarik tidak hanya memperluas pilihan konsumsi masyarakat, namun juga mempengaruhi gaya hidup mereka, terutama karena kemudahan akses yang ditawarkan, misalnya melalui aplikasi pemesanan online. Hal ini memperkuat pola konsumsi yang cepat dan instan di kalangan generasi muda, sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa studi tentang budaya konsumerisme baru (Warde, 2020).
ADVERTISEMENT
Jika dianalisis dari sudut pandang sosiologi, tren ini dapat dipahami menggunakan Teori Konsumerisme dari Jean Baudrillard. Baudrillard berpendapat bahwa konsumsi dalam masyarakat modern bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga tentang aspek simbolis, di mana barang yang dikonsumsi mencerminkan identitas dan status sosial. Dalam hal ini, franchise es teh di Mataram tidak hanya menawarkan minuman, tetapi juga mengedepankan simbol gaya hidup modern yang cepat, instan, dan terkoneksi dengan teknologi digital melalui aplikasi pemesanan online. Bagi banyak orang, terutama generasi muda, mengonsumsi es teh tidak hanya untuk memuaskan rasa haus, tetapi juga untuk mengekspresikan identitas dan afiliasi sosial tertentu. Hal ini berkaitan dengan fetisisme komoditas, di mana barang-barang konsumsi mendapatkan makna yang lebih besar daripada fungsi dasarnya (Baudrillard, 1998).
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang sosiologi kesehatan, tren ini menandakan adanya perubahan dalam pola makan masyarakat. Berdasarkan sebuah studi tentang pola konsumsi gula, ditemukan bahwa masyarakat Indonesia secara umum sudah melebihi rekomendasi batas konsumsi gula harian yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 25 gram per hari. Rata-rata konsumsi gula dari satu porsi es teh saja bisa mencapai 35 gram, yang tentunya berdampak pada risiko penyakit kronis seperti diabetes tipe 2. Hal ini menjadi salah satu tantangan besar bagi kesehatan publik di Indonesia, di mana peningkatan konsumsi minuman manis diprediksi akan memicu peningkatan kejadian penyakit-penyakit terkait gula (Coggon, 2021).
Data dari Dinas Kesehatan Mataram menunjukkan bahwa prevalensi diabetes dan obesitas meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan kenaikan sekitar 15% dalam tiga tahun. Angka ini dikaitkan dengan perubahan pola konsumsi, terutama tingginya konsumsi minuman manis di kalangan anak muda. Sebuah studi internasional menunjukkan bahwa mengonsumsi minuman yang mengandung gula secara berlebihan dapat meningkatkan risiko sindrom metabolik hingga hampir 50%. Risiko ini kemudian dapat menyebabkan kondisi kesehatan yang lebih serius, seperti penyakit jantung dan stroke (Harvard School of Public Health, 2020).
ADVERTISEMENT
Selain itu, maraknya franchise es teh ini juga memiliki dampak ekonomi. Meskipun bisnis minuman ini membuka peluang usaha dan lapangan kerja baru, terutama bagi masyarakat yang ingin memulai bisnis kecil, ada kekhawatiran dari sisi kesehatan masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa akses mudah terhadap minuman manis dapat memperparah masalah kesehatan dalam jangka panjang, yang pada akhirnya akan meningkatkan beban biaya kesehatan di Indonesia. Proyeksi menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang berkaitan dengan penyakit-penyakit gaya hidup ini diperkirakan akan naik secara signifikan pada dekade mendatang, jika tren konsumsi tidak berubah (World Bank, 2021).
Fenomena ini mencerminkan bagaimana kapitalisme mengkomodifikasi hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari, termasuk pola makan, seperti yang dijelaskan dalam Teori Konsumerisme. Para ahli kesehatan global menggarisbawahi perlunya regulasi yang lebih ketat terhadap kandungan gula dalam produk minuman serta peningkatan kesadaran publik tentang bahaya dari konsumsi berlebihan. Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara tren konsumsi ini dan upaya menjaga kesehatan masyarakat (Global Health Policy Center, 2022).
ADVERTISEMENT
Penggunaan teori Baudrillard membantu memahami bahwa meskipun konsumen sadar akan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi gula berlebih, perilaku konsumsi mereka didorong oleh aspek simbolis yang lebih dalam terkait dengan gaya hidup modern. Hal ini menjelaskan mengapa perubahan dalam kesadaran kesehatan saja mungkin tidak cukup tanpa adanya perubahan budaya konsumsi yang lebih mendasar.