Konten dari Pengguna

Bersama Anakku Melintasi Masa Pendudukan Jepang 1944 di Hari Minggu

Risang Tunggul Manik
Keluarga besar SMA Islam Kepanjen, Guru Sejarah di SMAN 1 Ngantang dan anggota MGMP & AGSI
17 Desember 2024 16:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Risang Tunggul Manik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saatnya seorang bapak mengajarkan anaknya belajar memahami sejarah bangsanya.
Sumber dari dokumen pribadi tanggal 15 Desember 2024
zoom-in-whitePerbesar
Sumber dari dokumen pribadi tanggal 15 Desember 2024
Car Free Day di Jalan Ijen Malang
ADVERTISEMENT
Hari Minggu adalah hari libur yang ditunggu bagi seorang bapak yang rindu anaknya karena bekerja seminggu penuh dan anak pun ikut senang karena akan diajak kemanakah aku? Bagi aku seorang guru sejarah adalah wajar sekiranya anakku belajar sejarah bangsa Indonesia secara sederhana. Menurutku biarlah anak membebaskan diri untuk belajar sejarah dengan cara bersenang-senang tanpa dipaksa, apalagi anakku masih berusia 2 tahun berjalan hehehe…
Tepat hari Minggu kemarin tanggal 15 Desember 2024 kami sekeluarga bersama berangkat pagi menuju ke Jalan ijen Malang mengikuti acara Car Free Day. Acara yang dilaksanakan tiap akhir pekan ini menyedot antusiasme banyak warga Malang Jawa Timur untuk jalan sehat berolahraga menikmati udara pagi. Walaupun kondisi mendung dengan suasana rintik-rintih hujan tapi tidak menyurutkan semangat keluarga kami untuk berolahraga pagi. Perlintasan jalan yang satu menuju ke sudut jalan di utara Ijen hingga kembali lagi di jalan yang awal kami datangi.
ADVERTISEMENT
Salah satu tempat yang menjadi pusat keramaian adalah Museum Brawijaya yang sudah berdiri kokoh sejak tahun 1968 di Kota Malang. Keramaian suasana di sekitar museum tersebut juga bersamaan acara even lari yaitu “Dulur Baladhika Mari Berlari” yang mengitari jalan di kawasan Ijen dengan kategori 5K, 10K dan 21K.
Di Luar Rencana Awal
Dari semua acara dan hiruk pikuk keramaian pedagang bertenda di sekitaran museum, mata dan keinginanku hanya berarah pada bangunan dan isi museum Brawijaya. Sejak kapan terakhir aku datang masuk ke museum? Entahlah, mungkin semenjak masa kuliah karena selama berkeluarga rasa-rasanya hampir belum pernah ke sana. Iya, aku menyebutnya sebuah nostalgia.
Di saat keluargaku yang lain berbelanja makanan ringan yang memanjakan mata. Maka aku mengajak putraku yang nomor 2 untuk ikut masuk ke dalam museum. Cukup membayar 10.000 rupiah bagi orang dewasa, ku ajak anakku berkeliling melihat koleksi musem Brawijaya. Kami awali menuju ruang di bagian selatan pintu utama. Suasana dan ruangannya tidak pernah berubah namun tidak banyak yang kuingat saat terakhir berkunjung ke sana. Anakku cukup antusias juga melihat koleksi senjata masa perang dan sedikit kumotivasi untuk foto bersama koleksi tersebut. Anakku juga melihat etalase keris dan etalase peninggalan perang yang kusimpulkan semua koleksi di era revolusi. Masuk ke dalam disuguhi foto-foto penumpasan pemberontakan seperti PRRI/Permesta dan PKI di Blitar Selatan.
ADVERTISEMENT
Antara Antusias dan Rasa Takut
Lucunya semakin kuajak masuk ke dalam anakku agak takut juga, dia berjalan memegang celana dan kaosku di belakangku. Pelan-pelan kami berjalan sambil ku kuatkan dia dengan berkata “ jangan takut”, hehehe… Apakah anakku yang masih berusia 2 tahun tersebut melihat sesuatu selain kami. Entahlah. Namun ada teori yang menyatakan bahwa benda yang pernah dipakai oleh manusia menyimpan memori dari manusia yang pernah menggunakannya. Foto-foto sejarah hasil jepretan kala itu juga menangkap guratan entah itu semangat, kekecewaan atau pengampunan dari tokoh-tokoh yang di foto. Ada banyak juga foto para tokoh pemberontakan seperti PRRI dan PKI yang tertangkap. Sekali lagi aku tidak memaksa anakku karena anakku segera ingin keluar dari ruangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Gerbong Maut, Peninggalan Ikonik Museum
Setelah keluar dari ruangan, kami belok kiri menuju ke taman masuk di pelataran terbuka belakang musem. Di sana ada taman dengan kafe kopi yang bisa jadi merupakan konsep baru dari museum agar pengunjung yang selesai berkeliling bisa menikmati seduhan panas dinginnya kopi. Di depan café yang dibatasi oleh taman terdapat benda bersejarah yang cukup ikonik di museum Brawijaya yaitu sebuah gerbong kereta yang dikenal dengan nama “gerbong maut”. Gerbong yang digunakan Belanda untuk mengirimkan para tawanan pejuang Indonesia dari Bondowoso menuju ke Surabaya di tahun 1947. Korban pejuang yang terkurung hingga meninggal di dalam gerbong sangatlah banyak, kiranya banyak juga anak kecil lebih tua usianya dibanding anakku bemain naik turun di pelataran gerbong. Tapi tidak untuk anakku, entah mengapa dia langsung menjauh dari tempat tersebut. Kiranya aku ingin mengambil foto di sana, tapi kuturi keinginan anakku dan kita menuju ke ruang berikutnya.
ADVERTISEMENT
Bayi dan Anakku yang dipisahkan Waktu dari Tahun 1944 dan 2024
Baiklah, saatnya kita keluar menuju ke ruang satunya di sisi utara pintu masuk. Saat masuk dan menuruni tangga anakku sempat tidak mau, tapi aku paksa sambil bilang “yuk, kita cari tempat foto”, sedikit kupaksa sambil berbicara dalam hati rugi kalau tidak masuk apalagi harga tiketnya cukup untuk membeli jajanan pasar 2 porsi hehehe…
Ruangan di sebelah utara menyuguhkan peninggalan masa Jepang hingga Revolusi fisik. Ada peninggalan Jenderal Sudirman seperti kursi dan tempat tidur saat bergerilya, ada sejarah TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), ada juga sejarah peninggalan Jepang seperti tentara PETA.
Hampir mirip di ruangan sebelumnya, anakku cukup ragu untuk masuk menjelajahi ke dalam. Pelan-pelan berjalan sambil membiarkan anakku memegang bagian belakang kaos dan celanaku, sambil kepalanya sesekali bersembunyi di belakang tubuhku dan melihat ke depan. Ok, mungkin dia melihat yang aku nggak bisa lihat hehehe….
ADVERTISEMENT
Namun agaknya setelah berputar kembali ke pintu keluar, sejenak anakku tertarik pada salah satu gambar foto yang dipajang di etalase museum. Dia menunjuk gambar tersebut dan bilang e..e…e…. Aku pun menyahut, “iya, ini gambar adik kecil digendong ibunya”. Setelah kulihat ternyata bukan. Bayi itu digendong prajurit perempuan semasa Pendudukan Jepang. Dari sekian peninggalan yang dipajang, kiranya anakku paling antusias dengan gambar foto bayi tersebut. Mungkin ia melihat adanya kemiripan dirinya dengan foto bayi tersebut.
Gambar tersebut diambil dari lembaran koran Zaman Pendudukan Jepang yang bernama Djawa Baroe. Berikut petikan berita mengenai foto prajurit perempuan dan bayi itu (penulis rubah ejaan lama menjadi ejaan baru):
HARI BERTERIMA KASIH dan berjanji!
Di Jawa yang menyambut Hari peringatan Sukarela untuk pertama kalinya pada tg. 3 Oktober, dimana-mana daerah telah dilangsungkan berbagai keramaian dengan besar-besaran untuk memperingati hari itu, dimana Seinendan, Keibodan, murid-murid sekolah dan penduduk umum semuanya turut serta dengan Tentara Peta sebagai pusatnya.
ADVERTISEMENT
Telah dikobar-kobarkan kemauan tentang pembelaan serta semangat perjuangan untuk menghancurleburkan Amerika/Inggris. Di pihak lain dimana-mana diadakan usaha untuk menghibur, menimbulkan semangat opsir dan prajurit Peta, mengadakan pertemuan penghiburan dengan mengundang keluarga-keluarga prajurit atau mengunjungi rumah tangga keluarga prajurit untuk memberi pertolongan dalam urusan rumah tangga, dsb.
Umum telah menyumbangkan keikhlasannya yang sungguh indah untuk menyatakan terima kasihnya kepada prajurit pembelaan.
Gambar 1) Pelajar wanita memberi pertolongan kepada anak bayi dengan mendatangi rumah tangga keluarga prajurit.
Kesimpulan
Kucari tahun terbitnya koran Djawa Baroe di lebaran koran tersebut namun tidak ketemu, jika koran tersebut bercerita di tanggal 3 Oktober berarti bisa jadi koran tersebut terbit keesokan harinya yaitu tanggal 4 Oktober.
Kenapa aku menyimpulkan peristiwa yang terjadi di koran tersebut tahun 1944? Koran tersebut bercerita tentang kegiatan yang dilakukan oleh Seinendan, Keibodan dan Peta yang merupakan prajurit Indonesia bentukan Jepang. Dari berbagai sumber sejarah bahwa prajurit tersebut dibentuk oleh Jepang pada tahun 1943. Namun ada apa dengan tanggal 3 Oktober sehingga diperingati sebagai Hari Sukarela/ Hari Berterima Kasih? Ternyata ada sejarahnya dibalik itu yaitu peringatan dibentuknya Peta yaitu Pembela Tanah Air pada tanggal 3 Oktober 1943.
ADVERTISEMENT
Tepat koran tersebut bercerita 1 tahun setelah terbentuknya Peta. Bisa jadi peringatan Hari Sukarela tahun 1944 tersebut diperingati sekali saja dan untuk selamanya karena tahun berikunya 1945, Jepang menyerah kalah pada Sekutu tanggal 15 Agustus dan bangsa Indonesia merdeka di tanggal 17 Agustus.
Jepang adalah bangsa yang lihai membuat propaganda, berita ini sungguh menarik hati para pemuda untuk ikut Peta. Jangankan di masa lalu, gambar foto di tahun 1944 sungguh menarik hati anakku yang berusia 2 tahun untuk memandang dan melihat betapa lucu foto bayi tersebut. Tidak bisa dipungkiri, dalam menghadapi Sekutu, Jepang membutuhkan tenaga pemuda Indonesia sebanyak-banyaknya untuk masuk ikut Peta.
Hari itu dan hari seterusnya adalah hari belajar sejarah bagi kami berdua. Kiranya anakku kelak bisa membaca artikel ini sambil mengingat bahwa bapakmu pernah mengajakmu ke museum belajar sejarah besar bangsa kita. Peluk cium untuk anakku semua dari bapakmu ini.
ADVERTISEMENT