Konten dari Pengguna

Sengketa Tanah di Indonesia: Menyelesaikan Konflik Melalui Mediasi dan Litigasi

risya agustin
Saya adalah mahasiswi jurusan Ilmu Hukum di Universitas Pamulang (Unpam) yang berdedikasi dan berkomitmen untuk memahami kompleksitas hukum di Indonesia.
16 Oktober 2024 16:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari risya agustin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah kamu berkonflik dengan lahan yang kamu miliki, atau apakah kamu sedang berada dalam konflik tentang kepemilikan itu? Melalui diskusi ini, diharap dapat membantu kamu untuk menyelesaikannya.
ADVERTISEMENT
doc.pribadi
zoom-in-whitePerbesar
doc.pribadi

Sengketa tanah di Indonesia merupakan isu kompleks yang seringkali membawa sengketa kepemilikan. Sengketa dapat diselesaikan melalui proses litigasi atau non-litigasi melalui mediasi yang didampingi dengan Badan Pertanahan Nasional. Sertifikat atau bukti kepemilikan berfungsi membantu memberikan kepastian hukum agar masyarakat dapat memecahkan konflik tanah. Untuk lebih mengetahui jangan lupa baca artikel lebih lanjut.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki kompleks dalam pengaturan tanah, yang telah diatur dalam UU Pokok Agraria No 1960. Tanah memiliki peran yang sangat beragam dan penting dalam berbagai aspek ekonomi, sosial, dan politik. Akan tetapi, konflik kepemilikan dan pemanfaatan sering terjadi antara perusahaan maupun individu.
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi atau melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Sebagai contoh untuk menyelesaikan kasus sengketa hak atas tanah mengenai klaim kepemilikian antara pihak-pihak, salah satunya ialah Seorang yang bersengketa mengenai sebidang tanah seluas 2 hektar di Bogor. Tuan A memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2010. Di sisi lain, Tuan B mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya berdasarkan akta jual beli yang terjadi pada tahun 2005, namun akta tersebut belum diurus menjadi sertifikat di BPN.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menunjukkan bahwa sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dokumen lain seperti akta jual beli. Oleh karena itu, sertifikat tanah dari BPN adalah bukti legal yang kuat dalam sengketa tanah yang melibatkan klaim kepemilikan.

Namun apakah bisa penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur Non-Litigasi atau Mediasi dan Konsiliasi? tentu, dapat dilakukan dengan mediator dipilih secara bersama dan harus netral, misalnya dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau pihak ketiga. Musyawarah desa juga menjadi pilihan untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan posisi kedua belah pihak harus sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi atau konsiliasi tanpa paksaan, dijalankan secara sukarela, tanpa tekanan dari pihak lain dan jika tercapai kesepakatan, hasilnya dituangkan dalam perjanjian tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak serta mediator, sehingga mengikat secara hukum. Penyelesaian sengketa ini lebih efisien dan
ADVERTISEMENT
sering dipilih karena hemat waktu, biaya, dan menjaga hubungan antara pihak-pihak yang terlibat.
Diharapkan, dengan memperkuat kerangka hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa, keadilan dan kepastian hukum dalam pertanahan dapat terwujud untuk semua lapisan masyarakat.
Penting bagi kita semua untuk berperan aktif dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan, agar sumber daya tanah di Indonesia dapat dikelola secara adil dan bijaksana demi masa depan yang lebih baik.