Konten dari Pengguna

Strata Keilmuan dan Kesalahan Bernalar: Refleksi Intelektual

Rival Laosa
Political Science Muhammadiyah University of Jakarta
8 Desember 2024 14:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rival Laosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Photo : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Photo : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi intelektual, diskusi tentang strata dalam keilmuan dan kesalahan bernalar merupakan dua tema yang saling melengkapi dalam membangun kerangka berpikir kritis. Strata keilmuan menawarkan pandangan tentang tingkatan pengetahuan manusia, sedangkan kesalahan bernalar mengingatkan akan jebakan logika yang dapat mengganggu proses berpikir. Bagi Intelek sebagai bagian dari komunitas intelektual, pemahaman terhadap kedua topik ini penting untuk mengembangkan tradisi diskusi yang ilmiah, kritis, dan reflektif.
ADVERTISEMENT
Berbicara dalam keilmuan, ada hal pula yang perlu dipahami seperti strata dalam keilmuan itu sendiri. Jika berbicara Strata keilmuan mengacu pada tingkatan atau hirarki pengetahuan, yang membantu manusia mengorganisasi dan memahami dunia. Dalam filsafat, pengetahuan sering dikelompokkan berdasarkan sumbernya, seperti pengetahuan indrawi (empiris), Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung, pengamatan, atau eksperimen. Ini adalah dasar dari sains modern. Kemudian rasional (logis), pengetahuan yang dikembangkan melalui proses berpikir, deduksi, atau logika. Contohnya adalah matematika dan filsafat analitik dan serta intuitif (transcendental) yaitu pengetahuan yang sering dianggap lebih tinggi, diperoleh melalui intuisi, spiritualitas, atau wahyu. Dalam tradisi keagamaan, ini sering dianggap sebagai tingkat tertinggi.
Pembagian ini memberikan panduan bagaimana setiap disiplin ilmu dapat saling melengkapi. Selain itu, keilmuan juga dapat dikelompokkan berdasarkan objek kajian (dasar, terapan, filosofis). Ya sebagaimana Pengetahuan Dasar (Basic Sciences) yang berfokus pada dasar-dasar alam semesta, seperti fisika, kimia, dan biologi. Kemudian, Pengetahuan Terapan (Applied Sciences) yang memanfaatkan dasar-dasar ilmu untuk menyelesaikan masalah praktis, seperti teknik, kedokteran, dan teknologi. Serta Pengetahuan Filosofis atau Meta-Ilmiah yang mengkaji prinsip-prinsip dasar keilmuan itu sendiri, seperti filsafat ilmu dan etika.
ADVERTISEMENT
Jika berdasarkan kompleksitas (mikro, meso, makro), dan tujuan (deskriptif, preskriptif, transformasional). Dimana Level Mikro, Studi tentang unsur-unsur terkecil, seperti partikel subatomik atau molekul dalam sains, dan individu dalam ilmu sosial. kemudian Level Meso, Studi tentang sistem yang lebih besar, seperti ekosistem, organisasi, atau masyarakat. Serta, Level Makro Studi tentang fenomena besar seperti kosmos (dalam astronomi) atau peradaban (dalam sejarah dan filsafat).
Kemudian dari strata diatas, jika kita gunakan dalam kehidupan maka jelas memerlukan tujuan, mka coba kita bagi berdasarkan Tujuan. Dalam permbagian pertama, Pengetahuan Deskriptif dimana Hanya untuk memahami dan menjelaskan fenomena (misalnya, sains murni). Kemudian, Pengetahuan Preskriptif yang bertujuan untuk memberikan panduan atau solusi (misalnya, hukum, etika). Serta, Pengetahuan Transformasional yang bertujuan untuk mengubah individu atau masyarakat (misalnya, filsafat eksistensialisme, atau teologi pembebasan).
ADVERTISEMENT
Jika dalam berbagai forum diskusi, pemahaman tentang strata keilmuan membuka peluang untuk mengintegrasikan berbagai perspektif disiplin ilmu. Misalnya, kajian perubahan iklim dapat melibatkan level empiris (data suhu global), level rasional (model prediktif), dan level etis (tanggung jawab manusia). Pemahaman ini juga mencegah kesalahan seperti false dichotomy, yang sering memisahkan sains dan humaniora secara tegas.
Salah satu tantangan dalam suatu keilmuan, yaitu penalaran yang tidak sesuai dalam penggunaan keilmuan itu sendiri, y ajika kita berbicara kesalahan bernalar, atau fallacy, adalah jebakan logika yang sering terjadi dalam proses berpikir. Kesalahan ini dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu formal dan informal. Kesalahan formal terjadi karena cacat dalam struktur argumen, seperti Non-Sequitur, di mana kesimpulan tidak mengikuti premis, atau Affirming the Consequent, di mana hubungan sebab-akibat diputarbalikkan. Sementara itu, kesalahan informal terjadi pada isi atau konteks argumen, seperti Ad Hominem, yang menyerang pribadi lawan, atau Strawman Argument, yang memelintir posisi lawan.
ADVERTISEMENT
Selain fallacy, bias kognitif seperti Confirmation Bias (hanya mencari bukti yang mendukung keyakinan) dan Availability Heuristic (menganggap hal yang mudah diingat lebih mungkin terjadi) sering kali mengganggu diskusi ilmiah. Dengan menyadari jenis-jenis kesalahan ini, pemikir dapat meningkatkan kualitas argumen dan menghindari manipulasi retorika.
Diskusi ilmiah yang baik memerlukan pemahaman tentang strata keilmuan dan logika kritis. Seorang generasi muda atau pemuda bahkan mahasiswa dapat diajak untuk mengidentifikasi argumen berdasarkan tingkatan ilmu, kemudian mengevaluasi validitasnya dengan prinsip-prinsip logika. Misalnya, dalam kajian teknologi, pendekatan empiris dapat digunakan untuk mengukur dampak teknologi, pendekatan rasional untuk membuat prediksi, dan pendekatan etis untuk menilai implikasi moralnya.
Diskusi juga dapat memperkaya pola pikir kita dengan mengenali keragaman perspektif. Hal ini menghindarkan mereka dari kesalahan seperti False Dichotomy (menganggap hanya ada dua pilihan), dan memungkinkan munculnya solusi holistik yang lebih relevan terhadap masalah kompleks.
ADVERTISEMENT
Dalam Strata keilmuan ini juga mengajarkan pentingnya kerendahan hati intelektual. Tidak ada satu bidang ilmu yang mampu menjawab seluruh persoalan manusia. Para kaum inteletualis perlu menyadari bahwa integrasi antar disiplin, termasuk filsafat, seni, dan spiritualitas, dapat memperkaya wawasan. Diskusi yang menghormati keragaman perspektif ini menjadi landasan bagi pembentukan budaya ilmiah yang inklusif.
Strata keilmuan dan kesalahan bernalar adalah dua konsep fundamental yang saling melengkapi dalam membangun tradisi berpikir kritis. Dengan memahami hierarki pengetahuan, pemikir dapat mengorganisasi argumen secara lebih sistematis. Sementara itu, kesadaran terhadap kesalahan bernalar membantu mereka menghindari jebakan logika yang dapat merusak kualitas diskusi. Mengintegrasikan kedua konsep ini di forum Diskusi tidak hanya relevan untuk diskusi ilmiah, tetapi juga untuk membangun budaya intelektual yang lebih reflektif dan progresif.
ADVERTISEMENT
Sumber Photo : Pixabay.com
Untuk menunjang pembahasan diatas dengan ini saya memberikan daftar putaka ataupun referensi dalam esai ini. Yaitu, Aristoteles dalam “Organon” (350 SM) memberikan dasar penting bagi logika formal, terutama dalam pembahasan tentang silogisme dan struktur argumen valid. Kontribusi ini diperkuat oleh Francis Bacon dalam “Novum Organum” (1620), yang menekankan metode induksi untuk membedakan fakta dari asumsi. Pemikiran tentang falsifikasi sebagai inti metode ilmiah dikembangkan oleh Karl Popper dalam “The Logic of Scientific Discovery” (1959). Selanjutnya, Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolutions” (1962) memperkenalkan konsep paradigma dan revolusi ilmiah yang relevan untuk memahami strata keilmuan. Dalam konteks bias kognitif, Daniel Kahneman melalui karyanya “Thinking, Fast and Slow” (2011) menjelaskan mekanisme berpikir cepat dan lambat serta bagaimana bias memengaruhi pengambilan keputusan. Bertrand Russell dalam “A History of Western Philosophy” (1945) menawarkan pandangan mendalam tentang perkembangan pengetahuan dalam tradisi Barat, sedangkan Edward de Bono melalui “New Think: The Use of Lateral Thinking in the Generation of New Ideas” (1967) membahas pentingnya berpikir lateral untuk menghindari jebakan logika tradisional. Karya Jonathan Baron dalam “Thinking and Deciding” (2008) mengeksplorasi teori pengambilan keputusan dan logika, sementara Paul R. Thagard dalam “Mind: Introduction to Cognitive Science” (1996) menghubungkan logika dengan bias dalam ilmu kognitif. Ibn Khaldun dalam “Muqaddimah” (1377) membahas hierarki ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan peradaban, sedangkan Immanuel Kant dalam “Critique of Pure Reason” (1781) mengeksplorasi batas-batas pengetahuan manusia. Sebagai tambahan, Plato melalui “Republic” (375 SM) menjelaskan pentingnya pendidikan filosofis dan stratifikasi pengetahuan. Artikel daring seperti “Fallacies” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy serta “Scientific Method” di Encyclopedia Britannica menjadi sumber referensi yang relevan untuk memperkuat argumen. Harvard Business Review juga menawarkan wawasan tambahan tentang bias kognitif dalam artikel “Cognitive Biases and Decision Making.”
ADVERTISEMENT