Konten dari Pengguna

Celoteh soal Manhattan

Rivan Dwiastono
Multimedia Journalist
16 Agustus 2018 18:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rivan Dwiastono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Celoteh soal Manhattan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
I forget the name, but those were my last meals in New York. Kentang goreng diguyur saus keju cheddar dan hotdog. Siang itu, saya baru keluar dari Metropolitan Museum of Art (sering disingkat MET).
ADVERTISEMENT
Entah berapa puluh kali teman-teman saya menganjurkan saya untuk bertandang ke museum seni itu. Saya bukan penggila museum, tapi tidak anti museum. Saya bukannya tidak suka seni lukis dan kriya, hanya saja saya merasa lebih hidup ketika dikelilingi tembok-tembok tinggi dengan layar LED berpendar dan ribuan orang berlalu lalang di Manhattan.
Wow, terdengar keren ya? “Saya merasa lebih hidup di tengah Manhattan.” Tapi itu lah kenyataannya. Rasa cinta saya terhadap Manhattan sepadan dengan yang saya rasakan terhadap Jogja. Ada nuansa khas—yang terasa familiar—yang menyerap ke setiap pori tubuh saya, dan seketika membuat saya terikat secara batin dengan kedua kota tersebut.
Celoteh soal Manhattan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Di Manhattan, saya menemukan energi luar biasa dari setiap orang yang hadir di dalamnya. Positif, negatif. Wajah-wajah dengan rupa, warna, dan raut yang kaya kerap menarik perhatian saya. Saya juga berbeda, tapi saya merasa menyatu dengan sekitar. Semuanya setara.
ADVERTISEMENT
Di Manhattan, saya melihat musisi favorit saya berdendang, menari, dan bermain peran. Broadway mewujudkan mimpi saya melihat Ms. Bareilles secara langsung. Hal yang membuat hidup saya lengkap dan lebih bahagia.
Di Manhattan, saya mengantre dan melahap gyro di tengah udara yang (menurut saya masih) dingin di bulan April. Halal Guys yang kerap kali disambangi di sebrang Hotel Hilton Midtown di 6th Ave dan W 53rd St jadi andalan.
Celoteh soal Manhattan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Di Manhattan, kaki saya pegal bukan kepalang karena berjalan puluhan (jika bukan ratusan) blok, karena saya ingin menikmati pemandangan kota dan malas naik subway. Tapi saya senang.
New York punya mantra ajaib yang berhasil membuat saya takluk pada pesonanya.
---
Photos above are mine.
ADVERTISEMENT