Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Orang Tua Konservatif dan Otoriter Itu Konyol
27 Februari 2023 15:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Riyadh Arasyi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Slogan yang menyebut orang tua selalu benar itu adalah kebodohan yang tidak bisa ditoleransi dari kacamata apa pun. Karena, prinsip seperti itu hanya akan membuat orang tua mengintervensi anaknya secara berlebihan. Dan, dampak yang lebih mengerikan adalah berpotensi membuat seorang anak kehilangan jati diri.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, pada abad ke-21 ini, di mana zaman telah berkembang pesat, doktrin konservatif justru masih eksis di kepala para orang tua, terutama generasi baby boomers dan gen X. Terlebih, kita juga hidup dalam negara dengan kultur yang cenderung religius sehingga implikasinya akan membuat sikap orang tua menjadi otoriter.
Memang betul, anak merupakan tanggung jawab orang tua, hal itu tidak bisa disangkal. Tetapi, bertanggung jawab bukan berarti harus berevolusi menjadi dewa yang selalu benar, kemudian membentuk anak seperti kerbau yang bisa digiring ke mana saja. Orang tua harus paham bahwa anak bukanlah investasi yang menggiurkan.
Ketika anak telah sampai pada taraf kedewasaan, yang mana mereka mampu berpikir mandiri, seharusnya orang tua lepas tangan saja. Mengarahkan pada hal baik itu wajar, tapi tidak harus mengintervensi kehidupan pribadi. Karena, mau bagaimana mana pun anak adalah tubuh dan jiwa yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Pilihan agama, misalnya. Seharusnya, ketika seorang anak telah dewasa, pilihan agama mutlak ada di tangan dirinya, bukan orang tuanya. Akan tetapi, tidak sedikit orang tua yang justru memaksa keyakinannya secara keras.
Urusan agama itu individual, alias hanya relasi antara seorang manusia dengan Tuhan. Agama juga merupakan keyakinan pribadi. Jadi, kalau seorang anak memiliki keyakinan dan pengalaman spiritual yang berbeda dengan orang tuanya, ya tidak harus dipaksakan. Toh pada intinya semua agama mengajarkan perilaku yang adiluhung.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, masih cukup banyak orang tua yang menjadikan pernikahan anak seperti perlombaan. Membandingkan anaknya dengan orang sebayanya yang sudah menikah tentu saja bodoh. Dan, beberapa orang tua juga menjadikan pernikahan anak sebagai ajang gengsi dan seremonial, dibandingkan dengan ritual sakral.
Padahal, menikah itu adalah suatu prinsip, bukan sekadar relasi. Jadi, terserah anaknya mau menikah atau tidak, mau punya anak atau tidak, atau bahkan tidak menikah sama sekali. Orang tua tidak boleh mengintervensi berlebihan karena parameter kebahagiaan manusia itu berbeda. Tak selalu soal pernikahan.
Orang tua konservatif biasanya selalu saja mengglorifikasi kehidupannya di masa lampau secara berlebihan. Mereka kerap membandingkan dirinya dengan generasi terkini yang jelas-jelas hidup di zaman yang berbeda, lalu kemudian merendahkannya.
ADVERTISEMENT
Membandingkan dua kehidupan yang berbeda zaman tentu saja merupakan hal konyol karena mutlak tidak bisa dikomparasikan. Bagaimana tidak, segala konsensus, moralitas, pengetahuan, teknologi, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya pun niscaya akan bergeser dari waktu ke waktu. Maka dari itu, konstruksi pikiran manusianya juga akan berbeda.
Pikiran konservatif mereka agaknya lahir akibat ketidakmampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman yang terlalu pesat. Lalu, apakah anak harus berusaha memahami orang tua? Tidak, justru sebaliknya, orang tua lah yang harus memahami sebab mereka menumpang hidup di zaman anaknya. Karena, zaman hanya akan maju, tidak mungkin bergerak mundur.
Namun, ketika kita berusaha melawan atau menunjukkan ketidaksetujuan, orang tua lazimnya akan menyerang menggunakan kartu AS, yaitu mengancam dengan dosa. Sepertinya, tidak ada argumen lain yang lebih masuk akal ketika logika orang tua konservatif berhasil dipatahkan oleh anaknya.
ADVERTISEMENT
Saya pikir, anak hanya perlu hormat kepada orang tua, tapi tidak mesti selalu patuh. Persetan dengan dosa. Toh, orang tua juga sangat mungkin untuk berbuat salah. Masa kalau orang tua salah harus tetap kita patuhi? Tentu tidak. Orang tua bukan dewa yang selalu benar, dan anak bukan kerbau dicongok yang bisa selalu nurut.