Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dinasti Politik Sejak Dini oleh Pemangku Kekuasaan atau si yang Paling Berkuasa?
30 Juni 2024 10:38 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Rizki Alif Al-Hikam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembagian buku bergambar Jan Ethes oleh Gibran Rakabuming Raka di Surabaya pada 6 Juni 2024 kerap memunculkan kontroversi dan diperbincangkan oleh netizen. Tindakan tersebut telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari pegiat media sosial Jhon Sitorus yang menilai tindakan tersebut sebagai upaya mewariskan dinasti politik sejak dini. Kritikan ini bukan tanpa dasar, mengingat konteks politik Indonesia yang kerap kali dirundung oleh praktik-praktik nepotisme dan dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Tindakan Gibran membagikan buku bergambar anaknya, Jan Ethes, kepada siswa SDN Margorejo VI, Surabaya, memunculkan beberapa masalah yang perlu segera ditanggapi oleh masyarakat dan pemangku kepentingan. Tindakan ini kuat diduga sebagai upaya simbolis untuk mewariskan pengaruh politik kepada generasi berikutnya. Tampaknya, Gibran ingin membentuk citra positif tentang keluarganya di mata anak-anak sekolah dasar, yang merupakan generasi penerus bangsa.
Aksi Gibran ini jelas bikin kita khawatir soal masa depan demokrasi di negeri kita tercinta. Dinasti politik itu ancaman nyata untuk demokrasi, karena cenderung mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi (memilih yang terbaik berdasarkan kemampuan) dan transparansi (keterbukaan informasi).
Kalau praktik begini terus dibiarkan, peluang orang-orang berbakat dari berbagai latar belakang untuk terjun ke dunia politik bakal makin sempit. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, seharusnya setiap warga negara punya kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik, tanpa harus bergantung pada koneksi keluarga atau dinasti tertentu.
ADVERTISEMENT
Langkah Gibran ini juga bisa dianggap sebagai bentuk politisasi terhadap anak-anak. Dengan menampilkan gambar Jan Ethes pada buku-buku yang dibagikan kepada siswa SD, bisa jadi ini upaya untuk membentuk persepsi politik di benak mereka sejak usia dini. Hal semacam ini sangat tidak etis dan tidak bermoral.
Anak-anak seharusnya dilindungi dari kepentingan politik orang dewasa. Pendidikan dasar seharusnya menjadi tempat bagi mereka untuk belajar dan berkembang, tanpa adanya intervensi politik yang dapat memengaruhi cara berpikir mereka. Membawa unsur-unsur politik ke dalam lingkungan belajar anak-anak sama saja dengan mengeksploitasi kepolosan dan ketidaktahuan mereka demi kepentingan tertentu.
Anak-anak berhak mendapatkan pendidikan yang bebas dari muatan politik. Mereka harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang dengan aman tanpa harus disuguhi narasi-narasi politik yang sebenarnya belum layak untuk mereka terima.
ADVERTISEMENT
Tindakan Gibran juga mengindikasikan kurangnya kepekaan beliau terhadap etika dalam berpolitik. Dalam demokrasi yang sudah matang, seorang pemimpin harus mampu memisahkan kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Penggunaan citra keluarga dalam konteks politik, terlebih melibatkan anak-anak, mencerminkan komitmen yang rendah terhadap prinsip-prinsip etika politik yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap pejabat publik.
Media massa, sebagai pilar keempat demokrasi, juga harus berperan lebih aktif dalam mengungkap dan mengkritisi praktik-praktik semacam ini. Kita tidak bisa membiarkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu mengganggu proses demokrasi yang sehat. Pejabat publik harus diingatkan bahwa mereka memikul amanah rakyat dan harus bertindak demi kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan sendiri atau keluarga.
Penggunaan simbol-simbol keluarga dalam ranah politik bisa menjadi indikasi awal dari upaya membentuk dinasti politik yang harus kita awasi. Tindakan Gibran merupakan peringatan bahwa demokrasi kita terancam oleh praktik dinasti politik. Jika dibiarkan, kita bisa kehilangan esensi demokrasi. Para pemimpin harus menjalankan kekuasaan dengan integritas, bukan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu atau bahkan keluarganya.
ADVERTISEMENT