Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cerita Wartawan yang Jarang Turun ke Lapangan
11 November 2018 22:59 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Rizki Baiquni Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wartawan itu banyak macamnya. Ada yang tiap hari standby di instansi yang itu-itu aja, ada yang khusus ngintilin tokoh tertentu, ada yang floating digeser ke sana ke mari. Dan saya jelas bukan wartawan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Maka, saat kabar Uji Kompetensi Wartawan mengemuka, rasa cemas itu muncul. Apalagi saat diminta menyiapkan kontak 20 narasumber. Rasanya bakal sulit lulus tipe wartawan seperti saya ini.
“Kampret,” batin saya dalam hati.
Bagi yang belum tahu, saya ini tipe wartawan yang setiap harinya datang ke kantor. Kalau rekan-rekan di news atau desk lain dapat penugasan ke lapangan, berjumpa dengan banyak orang, saya tidak.
Tugas saya menatap layar seluas 14 inch, menyaksikan riuhnya dunia melalui internet. Bila disederhanakan, saya bertugas untuk melakukan monitoring, riset, dan data.
Lantas apa saya masih bisa disebut wartawan? Ya bisa dong.
Di era yang penuh sesak dengan orang di media sosial, yang namanya informasi itu meluber. Setiap orang adalah ‘pewarta’ lantaran mampu menyuplai informasi. Tak jarang suplaian informasi itu menarik, meski tercecer. Di sanalah saya memungutnya.
Mulai dari menangani viralnya pria yang naik ke pelaminan dengan tiga wanita di Cirebon, Gedung DPRD Kabupaten Madiun yang disebut mirip simbol Freemason, ular piton yang menelan manusia di Mamuju, heboh kerajaan ubur-ubur di Serang, serta banyak lagi informasi menarik lainnya.
ADVERTISEMENT
Informasi semacam itu yang barangkali sukar ditemukan wartawan yang tugasnya di lapangan.
Semua informasi itu ya saya peroleh dari internet. Gabung ke puluhan grup Facebook, mengkurasi cuitan Twitter melalui aplikasi Hootsuite, membaca artikel media lain lewat Feedreader, serta lewat cara lainnya (japri aja kalau pengen tahu ya).
Nah melalui cara-cara itu pula saya kenal dengan banyak narasumber. Mereka berasal dari luar daerah, jauh-jauh. Mulai dari orang biasa, akademisi, pengusaha, polisi, hingga para pejabat. Tanpa pernah berjumpa, perkenalan itu terjadi, beritanya pun bisa saya tulis.
Bayangkan saja, nun jauh di Jawa Timur sana, saya bisa kenal dengan Ketua DPRD Madiun Joko Setiono. Di Kalimantan Tengah, saya kenal dengan Wakil Ketua DPRD Kotawaringin Timur Supriadi. Dari Boyolali, bisa saling tukar informasi dengan Sarsito sang Fotografer Gunung Merapi. Bahkan dari Papua, Kombes AM Kamal selalu siap saat saya repotkan.
Dari sekian banyak kasus--kalau bukan disebut berita--yang saya tangani, ada dua kasus yang menarik untuk kembali diingat. Pertama kasus dicabutnya beasiswa mahasiswa IPB karena pindah agama, kedua soal wacana tes psikologi untuk pembuatan SIM.
ADVERTISEMENT
Dua kasus ini menarik lantaran ada goals besar yang ingin diraih. Bukan, ini bukan soal traffic, tapi soal kemanusiaan, keberpihakan dan rasionalitas.
Dalam kasus pencabutan beasiswa mahasiswi IPB misalnya, sejak awal saya teramat yakin bahwa ia adalah korban. Ia tak mungkin nekad menggugat Pemkab Simalungun ke Ombudsman bila mengada-ada. Sialnya, media nasional pada saat itu masih bungkam.
Berdasarkan jejak digital yang saya selidiki, kasus ini sebenarnya sudah mengemuka di media lokal beberapa tahun lalu, tapi menguap. Maka, yang pertama harus dilakukan adalah mencari keberadaan si mahasiswi tersebut. Ia adalah Arnita Rodelina Turnip, saya pun berhasil menemuinya,
“Goalsnya lo mesti bikin kasus ini tuntas, Kun,” kata Wisnu, Asisten Redaktur kumparan yang masih jomblo.
Ya saya jelas bersemangat. Usai berhari-hari telpon sana-sini, nulis sedetail mungkin, bikin TOR untuk kontributor di Medan, goals itu benar-benar tercapai. Arnita bisa benar-benar mendapatkan beasiswanya dan kuliah lagi di IPB.
ADVERTISEMENT
Terhitung dari berita pertama yang saya tulis pada 30 Juli 2018, Pemkab Simalungun akhirnya mengembalikan beasiswa Arnita pada 2 Agustus 2018. Butuh waktu tiga hari. Kasus yang saya tangani itu bisa kamu baca dengan mengikuti topik Beasiswa Pindah Agama .
Sekitar satu bulan sebelum kasus Arnita mencuat, 19 Juni 2018, adanya goals terhadap pemberitaan juga pernah terjadi. Kala itu tentang wacana pemberlakuan tes psikologi terhadap pemohon SIM (Surat Izin Mengemudi).
Dari sudut pandang saya, wacana itu memang aneh. Psike (jiwa), seperti apa yang saya pelajari saat kuliah, tak pernah statis. Nah ini Polda Metro hendak menciptakan kebijakan yang men-statiskan apa yang tak pernah statis. Oleh sebab itu, tak rasional.
Dari redaksi, goals-nya adalah membatalkan kebijakan tersebut. Seperti biasa, saya telepon sana-sini, tanpa ke lapangan. Saat itu saya meminta pandangan Psikolog Reza Indragiri. Seorang psikolog yang selalu saya repotkan dan tak pernah saya temui. Nah ia rupanya juga tak sepakat dengan kebijakan tersebut.
Bermodal cangkem tak akan cukup untuk itu. Maka, di sini data perlu dilibatkan.Ya seharian itu saya membaca dokumen regulasi kepemilikan kendaraan di negara lain. Ada yang dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Malaysia, hingga Pakistan. Data kecelakaan dari BPS juga saya libatkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemanis, saya tambahkan kesaksian dari warga negara asing. Bradley Schaeffer dari AS, Divina Eggimann dari Swiss, serta sejumlah kesaksian dari warga negara lainnya. Mereka bersaksi--meski tak bertemu saya--bahwa di negaranya tak ada tes psikologi semacam itu.
Hingga pada 22 Juni 2018, siang hari, Reza tiba-tiba chat saya. Dia menyebut Polda Metro membatalkan wacana tersebut. “Resminya silakan tanya Polri, Mas,” kata dia. Eh sorenya yang di lapangan benar-benar mengabarkan bahwa wacana itu ditunda. Saya jelas benar-benar gembira. Kasusnya dapat kamu baca di sini ya.
Serunya kalau lagi baca dokumen-dokumen begitu, sambil ngolah data, berasa lagi jadi detektif. Rasa bangganya itu loh saat selesai menuntaskan sebuah kasus.
Nah begitulah kira-kira kerjaan saya selama ini. Paling sering saya ‘dikerjai’ Wakil Pemimpin Redaksi kumparan, Rachmadin Ismail, untuk menguji cangkem tokoh dengan data.
ADVERTISEMENT
Yang paling epik, saya diminta dua hari menghitung jumlah pelanggar kendaraan di stasiun Pasar Minggu. Belum lagi memindai hampir 200 video azab di YouTube. Sisanya yah paling bantu-bantu bikin report traffic pekanan.
Rupanya, meski tak lebih dari 20 kali saya turun ke lapangan dalam setahun ini, saya tetap bisa belajar banyak hal. Setelah dilihat-lihat, kontak narasumber yang saya miliki ternyata ada banyak banget.
Dan yeay, terakhir saya cuma mau bilang kalau saya sudah jadi wartawan yang kaffah. Sudah tersertifikasi. Gini-gini lulus loh Uji Kompetensi Wartawan.